Fatwa DSN MUI

Keperantaraan (Wasathah) dalam Bisnis Properti

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 93/DSN-MUI/IV/2014
Tentang
Keperantaraan (Wasathah) dalam Bisnis Properti

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa keperantaraan/keagenan dalam bisnis properti semakin berkembang sehingga diperlukan kejelasan hukumnya dari segi syariah; 
  2. bahwa Lembaga Keuangan Syariah meminta fatwa tentang hukum keperantaraan/keagenan dalam bisnis properti;
  3. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a dan huruf b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang keperantaraan (wasathah) dalam bisnis properti untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. al-Ma`idah [5]: 1:

      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ …

      "Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu ..."

    2. QS al-Isra` [17] : 34:

      ... وَأَوْفُوا۟ بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولًۭا

      "… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban."

    3. QS. Al-Baqarah [2]: 283:

      ... فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُم بَعْضًۭا فَلْيُؤَدِّ ٱلَّذِى ٱؤْتُمِنَ أَمَٰنَتَهُۥ وَلْيَتَّقِ ٱللَّهَ رَبَّهُۥ ۗ …

      "… Maka, jika sebagian kalian mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …"

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, kitab: Ahkam, bab: ma dzukira 'an Rasulillah, No: 1272:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    2. Hadis riwayat Imam al-Bukhari:

      قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلاَ يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ . قَالَ ، فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ : مَا قَوْلُهُ لاَ يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ . قَالَ : لاَ يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا ،
      قَالَ ابْنُ حَجَرٍ: فَإِنَّ مَفْهُوْمَهُ أَنَّهُ يَجُوْزُ أَنْ يَكُوْنَ سِمْسَارًا فِي بَيْعِ الْحَاضِرِ لِلْحَاضِرِ .
      ( صحيح البخاري، ج 2، ص 757 ، وفتح الباري لابن حجر العسقلاني، ج 4، ص 452)

      "Rasulullah s.a.w. bersabda, "Janganlah melakukan talaqi al-rukban, (yaitu pihak yang mengetahui harga pasar [al-hadhir] mencegat di tengah perjalanan [menuju pasar] untuk membeli barang milik calon penjual yang berasal dari pedalaman [yang tidak mengetahui harga yang berlaku di pasar pada saat itu atas barang yang akan dijualnya]), dan jangan pula orang kota (hadhir) melakukan penjualan kepada orang pedalaman (bad)."
      Perawi berkata, "Saya bertanya kepada Ibn Abbas, apa yang dimaksud dengan 'orang kota (al-hadhir) tidak melakukan penjualan kepada orang pedalaman (bad)?" Ibn Abas menjawab, "Orang kota tidak boleh menjadi simsar bagi orang pedalaman."
      Ibn Hajar berkata, "Artinya, seseorang boleh menjadi simsar dalam jual-beli yang dilakukan oleh sesama orang kota (simsar boleh dilakukan di antara para pihak yang mengetahui harga wajar [yang berlaku di pasar pada saat itu] atas barang yang akan dijualnya)."

  3. Kaidah fikih:

    الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan :
  1. Pendapat (aqwal) Ulama
    1. Imam al-Bukhari berkata:

      لَمْ يَرَ ابْنُ سِيرِينَ وَعَطَاءٌ وَ إبْرَاهِيْمُ وَالْحَسَنُ بِأَجْرِ السِّمْسَارِ بَأسًا. ( صحيح البخاري، ج 2، ص 794)

      "Ibn Sirin, 'Atha`, Ibrahim, dan al-Hasan tidak mempermasalahkan (melarang) ujrah atas samsarah."

    2. Ibn Abbas berkata:

      لاَ بَأْسَ بِأَنْ يَقُوْلَ : بِعْ هَذَا الثَّوْبَ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ. ( صحيح البخاري، ج 2، ص 794)

      "Tidaklah mengapa seseorang berkata, "Juallah pakaian ini dengan harga sekian. Adapun kelebihan dari harga tersebut untuk kamu. ""

    3. Ibn Sirin berkata:

      إِذَا قَالَ: بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ أَوْ بَيْنِيْ وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ. ( صحيح البخاري، ج 2، ص 794)

      "Jika seseorang berkata, "Juallah benda itu dengan harga sekian, Adapun keuntungan (kelebihan harga jual dari harga yang ditentukan pemilik) untuk kamu, atau untuk saya dan kamu (dibagi sesuai kesepakatan) tidaklah mengapa. ""

    4. Pendapat Ulama lainnya:
      1. Ibrahim, Ibn Sirin, dan 'Atha` membolehkan samsarah/wasathah secara multlak;
      2. Ulama Hanafiah membolehkan samsarah/wasathah dengan syarat ditentukan dengan jelas jangka waktunya;
      3. Ulama Malikiah membolehkan samsarah/wasathah dengan syarat ditentukan dengan jelas jangka waktunya, jenis/bentuk perbuataannya, dan jumlah ujrah yang berhak diterima perantara (sil'ah ma'lumah wa 'ajal ma'lum bi ajr ma'lum);  
      4. Ulama Syafi'iah membolehkan samsarah/wasathah dengan syarat perantara (wasith) melakukan pekerjaan tertentu (tidak boleh tidak melakukan apa-apa);
      5. Imam al-Kasani berpendapat bahwa wasathah dibolehkan dengan syarat terhindar dari gharar fahisy dan jahalah fahisyah; karenanya harus jelas jenis/bentuk pekerjaan, jumlah ujrah, dan jangka waktunya.
  2. Ketentuan al-Ma'ayir al-Syar'iyyahNo. 15 (8:4):

    تُطَبَّقُ الْجُعَالَةُ عَلَى السَّمْسَرَةِ فِي الْحَالَةِ الَّتِى يَكُوْنُ اسْتِحْقَاقُ الْجُعْلِ فِيْهَا مَشْرُوْطًا بِإِبْرَامِ الْعَقْدِ الَّذِيْ جَرَى التَّوَسُّطُ مِنْ أَجْلِهِ.

    "Akad ju'alah (boleh) diterapkan dalam samsarah apabila imbalan samsarah hanya boleh diterima oleh Perantara (Simsar) ketika Simsar berhasil melakukan tugasnya."

  3. Fatwa-fatwa DSN-MUI:
    1. Fatwa DSN-MUI Nomor: 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah;
    2. Fatwa DSN-MUI Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Wakalah bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi Syariah;
    3. Fatwa DSN-MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah;
    4. Fatwa DSN-MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
    5. Fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh);
    6. Fatwa DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju’alah;
  4. Surat dari Capitalinc Surat Finance Ref. No. 905/CF/DIR/IX/13 tertanggal 24 September 2013;
  5. Hasil pembahasan Focus Group Discussion (FGD) antara Tim Capitalinc dan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) di Jakarta tanggal 11 - 12 Oktober 2013 dan tanggal   08 - 09 November 2013;
  6. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia pada hari Rabu, tanggal 2 April 2014.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG KEPERANTARAAN (WASATHAH) DALAM BISNIS PROPERTI
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Akad Wasathah adalah akad keperantaraan (brokerage) yang menimbulkan hak bagi Wasith (perantara) untuk memperoleh pendapatan/imbalan baik berupa keuntungan (al-ribh) atau upah (ujrah) yang diketahui (ma'lum) atas pekerjaan yang dilakukannya;
  2. Akad Bai' al-Samsarah (brokerage) adalah jasa perantara untuk menjual barang, di mana Perantara (Simsar/Broker)  berhak memperoleh  pendapatan atas kelebihan harga jual dari harga yang disepakati sebelumnya;
  3. Akad Wakalah bil ujrah  adalah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 52/DSN-MUI/III/2006 tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada Asuransi dan Reasuransi;
  4. Akad Ju'alah adalah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah;
  5. Akad Jual-beli (al-bai') adalah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah; fatwa DSN-MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Salam; dan fatwa DSN-MUI Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Istishna';
  6. Akad Musyarakah adalah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah;
  7. Taqwim al-'urudh adalah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 89/DSN-MUI/2013 tentang Pembiayaan Ulang (Refinancing) Syariah;
  8. Gharar adalah gharar yang dilarang (yaitu gharar katsir) dalam akad mu'awadhat, merupakan obyek inti akad/ashliyyah (bukan taba'iyyah), dan tidak ada hajah sebagaimana ditentukan dalam Ma'ayir Syar'iyyah Nomor 31 (4).
Kedua : Ketentuan Hukum

Keperantaraan (wasathah) dalam bisnis properti boleh dijalankan dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan terkait Institusi Keperantaraan (Wasathah)
  1. Akad wasathah harus terhindar darigharar fahisy;
  2. Akad wasathah harus jelas obyeknya (jenis pekerjaan yang dikuasakan kepada wasith); baik obyek tersebut termasuk yang mudah dilakukan maupun yang sulit dilakukan;
  3. Akad wasathah harus jelas jangka waktu berlaku atau efektifnya, kecuali akad yang digunakan akad ju'alah atau samsarah (bai' al-samsarah);
  4. Perantara (wasith) harus melakukan pekerjaan tertentu yang menjadi dasar diterimanya upah (ujrah);
  5. Pemilik barang dan perantara memiliki pengetahuan yang cukup (memadai) tentang harga barang yang akan dijual (bai' al-hadhir li hadhir, bukan bai' al-hadhir li bad).
Keempat : Ketentuan terkait Akad Wasathah tanpa Melibatkan LKS

Wasathah tanpa melibatkan LKS boleh menggunakan akad wakalah bil ujrah, akad ju’alah, atau akad samsarah (bai’ al-samsarah) dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Dalam hal wasathah dijalankan dengan akad wakalah bil ujrah berlaku ketentuan akad ijarah; di antaranya harus jelas jangka waktu pelaksanaanya dan jumlah ujrah yang akan diterima perantara (Wasith/wakil). Dalam hal tujuan tidak tercapai, Ajir (perantara) berhak mendapat ujrah yang telah disepakati atau ujrah mitsli (wajar yang sepadan dengan kualitas/kuantitas usaha yang telah dilakukannya);
  2. Dalam hal wasathah (samsarah) dilaksanakan dengan akad ju'alah, berlaku ketentuan fatwa DSN-MUI No. 62/DSN-MUI/XII/2007 tentang Akad Ju'alah;
  3. Dalam hal wasathah dijalankan dengan akad samsarah (bai' al-samsarah), maka jangka waktu pelaksanaan wasathah tidak harus jelas, dan pendapatan  yang diterima Wasith sesuai dengan hasil penjualan; dan jika tidak berhasil melakukan penjualan atau menjual dengan harga yang sama dengan harga yang ditentukan oleh pemiliknya, maka Wasith tidak berhak memperoleh imbalan/keuntungan.
Kelima : Ketentuan terkait Akad Wasathah yang Melibatkan LKS

Wasathah yang melibatkan LKS boleh menggunakan skema akad sebagai berikut:

  1. Akad keperantaraan (akad wakalah bil ujrah, akad ju'alah, atau akad bai' al-samsarah) dan akad bai', serta dapat disertai akad ijarah;  
  2. akad jual-beli (aqd al-bai'), akad ijarah, dan akad keperantaraan (akad wakalah bil ujrah, akad ju'alah, atau akad bai' al-samsarah);
  3. akad keperantaraan (akad wakalah bil ujrah, akad ju'alah, atau akad bai' al-samsarah), akad musyarakah, atau akad mudharabah.
Keenam : Ketentuan terkait Mekanisme Wasathah yang Melibatkan LKS
  1. Mekanisme 1:
    1. Calon Nasabah yang memiliki properti ('urudh) mengajukan pembiayaan kepada LKS;  
    2. LKS melakukan penaksiran terhadap properti (taqwim al-'urudh) milik calon nasabah untuk ditentukan harga (tsaman) yang wajar, dalam rangka pembelian sebagiannya oleh LKS;
    3. LKS membeli (aqd al-bai') sebagian properti milik Nasabah, sehingga terjadi syirkah milik atas properti antara LKS dan Nasabah;
    4. Nasabah boleh menyewa properti sesuai dengan porsi kepemilikan LKS dengan akad ijarah;
    5. Nasabah dan LKS sebagai entitas syirkah melakukan akad wasathah dengan wasith dalam rangka penjualan properti  kepada pihak lain, dengan akad wakalah bil ujrah, akad ju'alah, atau akad bai' al-samsarah.
  2. Mekanisme 2:
    1. Calon Nasabah yang memiliki properti ('urudh) mengajukan pembiayaan kepada LKS; 
    2. LKS melakukan penaksiran terhadap properti (taqwim al-'urudh) milik calon nasabah untuk ditentukan harga (tsaman) yang wajar, dalam rangka pembelian sebagiannya oleh LKS;
    3. LKS dan Wasith membeli (aqd al-bai') properti milik Nasabah, sehingga terjadi syirkah milik atas properti antara LKS dan Wasith;
    4. Wasith boleh menyewa properti sesuai dengan porsi kepemilikan LKS dengan akad ijarah;
    5. LKS melakukan akad wasathah dengan wasith dalam rangka penjualan properti  kepada pihak lain, dengan akad wakalah bil ujrah, akad ju'alah, atau akad bai' al-samsarah.
  3. Mekanisme 3:
    1. Pemilik properti mengajukan permohonan akad wasathah kepada Wasith dalam rangka penjualan properti ('urudh) miliknya;
    2. Wasith mengajukan pembiayaan kepada LKS dalam rangka bisnis keperantaraan (wasathah); 
    3. LKS menyalurkan pembiayaan kepada Wasith dalam rangka bisnis keperantaraan dengan akad musyarakah atau mudharabah;
    4. Wasith (selaku mudharib atau syarik) melakukan kegiatan usaha antara lain dengan membeli ('aqd al-bai') properti dari pemilik sebagaimana dimaksud angka 1 untuk dijual;
    5. Keuntungan usaha Wasith (selaku mudharib atau syarik) dibagi antara Wasith dengan LKS (selaku shahibul mal/syarik) sesuai nisbah yang disepakati pada saat akad.
Ketujuh : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Kedelapan : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Jumadil Tsani 1435 H

02 April 2014 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA.
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/