Fatwa DSN MUI

Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015
Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa jaminan sosial kesehatan yang diselenggarakan oleh Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan bermanfaat bagi masyarakat;
  2. bahwa penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan selama ini tidak sesuai syariah karena mengandung unsur riba dan gharar sebagaimana keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia ke-5 Tahun 2015 di Tegal, Jawa Tengah;
  3. bahwa masyarakat memerlukan penyelenggaraan jaminan sosial kesehatan yang sesuai dengan syariah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu ditetapkan fatwa Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan yang sesuai dengan Syariah Islam untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. al-Nisa` [4]: 58:

      إِنَّ اللَّهَ يَأمُرُكُم أَن تُؤَدُّوا الأَمٰنٰتِ إِلىٰ أَهلِها ...

      "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya. …"

    2. QS. al-Ma`idah [5]: 1:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا أَوفوا بِالعُقودِ ...

      "Hai orang-orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu …"

    3. QS al-Isra` [17]: 34:

      ... وَأَوفوا بِالعَهدِ إِنَّ العَهدَ كانَ مَسـٔولًا

      "… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban."

    4. QS. al-Nisa` [4]: 29:

      ٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍۢ مِّنكُمْ ۚ ...

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perniagaan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kalian. ..."

    5. QS. al-Hasyr [59]: 18:

      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلْتَنظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ ...

      "Wahai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan) ..."

    6. QS. al-Ma`idah [5]: 1:

      لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ

      "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa."

    7. QS. Al-Nisa` [4]: 36-37:

      وَٱعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا۟ بِهِۦ شَيْـًٔا وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَٰنًا وَبِذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينِ وَٱلْجَارِ ذِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْجَارِ ٱلْجُنُبِ وَٱلصَّاحِبِ بِٱلْجَنۢبِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ مَن كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا (36) ٱلَّذِينَ يَبْخَلُونَ وَيَأْمُرُونَ ٱلنَّاسَ بِٱلْبُخْلِ وَيَكْتُمُونَ مَآ ءَاتَىٰهُمُ ٱللَّهُ مِن فَضْلِهِۦ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَٰفِرِينَ عَذَابًا مُّهِينًا (37)

      "Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri. (36) (Yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir siksa yang menghinakan. (37)"

    8. QS. Al-Mumtahanah [60]: 8:

      لَّا يَنْهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِينَ لَمْ يُقَٰتِلُوكُمْ فِى ٱلدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَٰرِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوٓا۟ إِلَيْهِمْ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

      "Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu kalian dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil."

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis Nabi SAW riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin al-Shamit RA, riwayat Ahmad dari Ibnu ‘Abbas RA, riwayat Malik dari bapaknya Yahya al-Mazini RA, dan riwayat al-Hakim dan al-Daraquthni dari Abu Sa’id al-Khudriy RA:

      لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.

      "Tidak boleh membahayakan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)."

    2. Hadis Nabi SAW riwayat al-Hakim dan al-Baihaqi dari Ibnu Abbas RA:

      اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ: شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ، وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ، وَغِنَاءَكَ قَبْلَ فَقْرِكَ، وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغْلِكَ، وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ.

      "Ambillah kesempatan dalam lima kondisi sebelum datang kondisi lainnya: mudamu sebelum tuamu, sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu luangmu sebelum sibukmu, dan hidupmu sebelum matimu."

    3. Hadis Nabi SAW riwayat Ibn Hibban dari bapaknya Ja’far bin Amr RA, riwayat al-Tirmidzi dan al-Baihaqi dari Anas bin Malik RA:

      قَالَ رَجُلٌ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أُرْسِلُ نَاقَتِي وَأَتَوَكَّلُ؟ قَالَ: اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ.

      "Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW terkait untanya, apakah saya (boleh) membiarkan (tidak mengikat) unta saya kemudian bertawakkal (kepada Allah)?. Rasulullah SAW bersabda: “Ikatlah untamu dan bertawakallah (kepada Allah)."

    4. Hadis Nabi SAW riwayat al-Tirmidzi dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, dan riwayat al-Hakim dari kakeknya Katsir bin Abdillah bin amr bin ‘Auf RA:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang diberlakukan diantara mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    5. Hadis Nabi SAW riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah RA dan Abu Sa’id al-Khudri RA:

      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

    6. Hadis Nabi SAW riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar RA, riwayat al-Thabarani dari Jabir RA, dan riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah RA:

      أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.

      "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."

    7. Hadis Nabi SAW riwayat jama’ah (al-Bukhari, Muslim, Abu Daud, al-Nasa`i, Malik, dan al-Darimi yang semuanya menerima dari Abu Hurairah RA, riwayat al-Tirmizi, Ibn Majah, dan Ahmad yang ketiganya dari Abu Hurairah RA dan Ibn ‘Umar RA):

      مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ …

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman.…"

    8. Hadis Nabi SAW riwayat al-Nasa`i, Abu Dawud, Ibn Majah, Ahmad, Ibnu Hibban, al-Thabarani, dan al-Hakim yang semuanya dari al-Syarid (ayah ‘Amr bin al-Syarid) RA:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ ...

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."

    9. Hadis Nabi SAW riwayat al-Bukhari dari al-Nu’man bin Basyir RA:

      تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.

      "Engkau melihat orang-orang yang beriman di dalam saling cinta kasih dan belas kasih seperti satu tubuh. Apabila kepala mengeluh (pusing) maka seluruh tubuh tidak bisa tidur dan demam."

    10. Hadis Nabi SAW riwayat Muslim, al-Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Sa’id al-Khudhri RA:

      مَنْ كَانَ مَعَهُ فَضْلُ ظَهْرٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا ظَهْرَ لَهُ وَمَنْ كَانَ لَهُ فَضْلٌ مِنْ زَادٍ فَلْيَعُدْ بِهِ عَلَى مَنْ لَا زَادَ لَهُ .

      "Barangsiapa yang mempunyai kelebihan kendaraan -yakni lebih dari apa yang diperlukannya sendiri, hendaklah bersedekah dengan kelebihannya itu kepada orang yang tidak mempunyai kendaraan dan barangsiapa yang mempunyai kelebihan bekal makanan, maka hendaklah bersedekah kepada orang yang tidak mempunyai bekal makanan apa-apa."

    11. Hadis Nabi SAW riwayat al-Bukhari dan Abu Daud dari Abu Hurairah RA:

      مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا.

      "Siapa saja meninggalkan harta maka itu bagi ahli warisnya. Dan siapa saja meninggalkan tanggungan keluarga, maka itu tanggungjawabku (sebagai pemimpin)."

    12. Hadis Nabi SAW riwayat al-Bukhari dari Abu Hurairah RA:

      أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ فَمَنْ تُوُفِّيَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ قَضَاؤُهُ وَمَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ.

      "Saya (Rasulullah SAW) lebih berhak atas umat Islam daripada diri mereka sendiri, siapa saja orang mukmin yang wafat kemudian meninggalkan hutang, maka saya (sebagai pemimpin) harus membayarnya. Dan siapa saja (orang mukmin yang wafat) kemudian meninggalkan harta, maka itu bagi ahli warisnya."

    13. Hadis Nabi SAW riwayat al-Thabarani dari Salman RA:

      أَمَرَنَا نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نَفْدِيَ سَبَايَا الْمُسْلِمِيْنَ، ونُعْطِيَ سَائِلَهُمْ، ثُمَّ قَالَ:"مَنْ تَرَكَ مَالا فَلِوَرَثَتِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا فَعَلَيَّ، وَعَلَى الْوُلاةِ مِنْ بَعْدِي، مِنْ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِينَ.

      "Rasulullah SAW menyuruh kami untuk menebus kaum muslimin yang menjadi tawanan dan memberikan permintaan mereka. Kemudian Beliau bersabda: ”Siapa saja yang meninggalkan harta maka itu bagi ahli warisnya, dan siapa saja yang meninggalkan hutang, maka itu menjadi tanggungjawabku dan tanggung jawab pemerintah sesudahku untuk mengalokasikannya dari perbendaharaan Negara."

  3. Kaidah fikih:
    1. Kaidah fikih:

      الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ الْإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ.

      "Pada dasarnya, segala bentuk muamalat diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya atau meniadakan kebolehannya."

    2. Kaidah fikih:

      الضَّرَرُ يُزَالُ .

      "Segala mudharat (bahaya) harus dihilangkan."

    3. Kaidah fikih:

      الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكاَنِ.

      "Bahaya (dharar) harus dicegah sebisa mungkin."

    4. Kaidah fikih:

      تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

      "Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mengikuti kepada kemashlahatan (masyarakat)."

    5. Kaidah fikih:

      أَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهُِ .

      "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."

Memperhatikan :
  1. Pendapat Ibn Qudamah, dalam kitab Al-Mughni, al-Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997, j.VII, h. 205-206:

    وَيَجُوْزُ التَّوْكِيْلُ بِجُعْلٍ وَبِغَيْرِ جُعْلٍ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَألِهِ وَسَلَّمَ وَكَّلَ أُنَيْسًا فِيْ إِقَامَةِ الْحَدِّ، وَعُرْوَةَ فِيْ شِرَاءِ شَاةٍ، وَعَمْرًا وَأبَا رَافِعٍ فِيْ قَبُوْلِ النِّكَاحِ بِغَيْر جُعْلٍ؛ وَكَانَ يَبْعَثُ عُمَّالَهُ لِقَبْضِ الصَّدَقَاتِ، وَيَجْعَلُ لَهُمْ عُمَالَةً.

    "Akad taukil (wakalah) boleh dilakukan dengan imbalan maupun tanpa imbalan. Hal itu karena Nabi SAW pernah mewakilkan kepada Unais untuk melaksanakan hukuman, kepada 'Urwah untuk membeli kambing, kepada ‘Amr dan Abu Rafi dalam menerima pernikahan, tanpa imbalan; beliau pun pernah mengutus para pegawainya untuk menerima sedekah (zakat) dan memberikan imbalan kepada mereka."

  2. Keputusan Lembaga-Lembaga Fikih Internasional tentang at-ta’min ash-shihhi al-hukumi:
    1. Keputusan al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami li Rabithah al-‘Alam al-Islami tahun 1398 H, Hai’ah Kibar al-Ulama bi al-Mamlakah al-‘Arabiyah as-Su’udiyah No. 51 tahun 1397 H, Majma’ al-Fiqh al-Islami al-Dauli li al-Ta’awun al-Islami No. 2/9:

      أَنَّ الْعَقْدَ الَّذِيْ يَحْتَرِمُ أُصُوْلَ التَّعَامُلِ اْلإِسْلاَمِيِّ هُوَ عَقْدُ التَّأْمِيْنِ التَّعَاوُنِيِّ الْقَائِمِ عَلَى أَسَاسِ التَّبَرُّعِ وَالتَّعَاوُنِ.

      "Bahwa akad yang sesuai dengan Islam adalah akad asuransi yang didasarkan pada akad tabarru’ dan ta’awun."

    2. Rekomendasi seminar at-Tasyri’ al-Islami tahun 1972 di Libya::

      يَجِبُ تَعْمِيْمُ الضَّمَانِ اْلاِجْتِمَاعِيِّ حَتَّى تَطْمَئِنَّ كُلُّ أُسْرَةٍ إِلَى مَوْرِدٍ يَكْفُلُ رِزْقَهَا عِنْدَ وَفَاةِ عَائِلِهَا أَوْ عَجْزِهِ، أَوْ غَيْرِ ذلِكَ مِنْ أَسْبَابِ انْقِطَاعِ الرِّزْقِ لِسَدِّ حَاجَةِ الْمُحْتَاجِيْنَ. وَجَوَازُ التَّأْمِيْنِ الصِّحِّيِّ يَسْتَنِدُ إِلَى مَصْلَحَةِ الرَّعِيَّةِ الْمَنُوْطِ بِالرَّاعِيْ تَحْقِيْقُهَا فِيْ تَصَرُّفَاتِهِ، وِلاَ نِزَاعَ فِيْ أَنَّ نِظَامَ التَّأْمِيْنِ الصِّحِّيِّ وَسَائِرَ أَنْوَاعِ التَّأْمِيْنَاتِ اْلاِجْتِمَاعِيَّةِ فِيْهِ مَصْلَحَةٌ لِلرَّعِيَّةِ، وَبِخَاصَّةٍ بِالنِّسْبَةِ لِلدُّوَلِ الْفَقِيْرَةِ الَّتِيِ لاَ تَكْفِيْ مَوَارِدُهَا لِتَقْدِيْمِ الْخَدَمَاتِ الصِّحِّيَّةِ وَنَحْوِهَا بِالْمَجَانِ.

      "Jaminan sosial harus diperluas supaya setiap keluarga merasa terjamin karena ada yang menjamin pendapatannya saat keluarga meninggal, pensiunnya atau sebab – sebab pendapatan terputus lainnya. Asuransi kesehatan dibolehkan berdasarkan maslahat yang harus ditunaikan oleh negara. Begitu pula asuransi sosial sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya bagi negara-negara miskin yang tidak bisa memberikan layanan kesehatan kepada masyarakat secara cuma-cuma."

  3. Keputusan dan Rekomendasi Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia V yang diselenggarakan di Pondok Pesantren at-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah pada tanggal 19-22 Sya’ban 1436 H/ 7-10 Juni 2015 M;
  4. Hasil Pertemuan antara BPJS Kesehatan, MUI, Pemerintah, DJSN, dan OJK Sehubungan dengan Putusan dan Rekomendasi Ijtima` Ulama Komisi Fatwa MUI se Indonesia tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional oleh BPJS Kesehatan, tertanggal 04 Agustus 2015;
  5. Pendapat Peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Selasa tanggal 10 Rabi` al-Awwal1437 H./ 22 Desember 2015 M.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak;
  2. Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan adalah cara penyelenggaraan perlindungan sosial di bidang kesehatan untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak di bidang kesehatan;
  3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial  (BPJS) adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial;
  4. BPJS-Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang kesehatan;
  5. Peserta-Individu adalah setiap orang yang membayar iuran, baik membayar sendiri, dibayarkan sebagian atau seluruhnya oleh pemberi kerja, ataupun dibayarkan oleh Negara, guna mengikuti program jaminan sosial kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  6. Peserta-Kolektif adalah keseluruhan Peserta Individu yang terhimpun dalam kumpulan peserta jaminan sosial kesehatan;
  7. Pemberi Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan usaha, atau badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya;
  8. Pekerja adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lain;
  9. Dana Jaminan Sosial (DJS) adalah dana amanat milik  Peserta-Kolektif yang merupakan himpunan iuran beserta hasil pengembangannya dan/atau berasal dari sumber lainnya yang dikelola oleh BPJS Kesehatan untuk pembayaran manfaat bagi peserta-Individu dan biaya operasional penyelenggaraan program Jaminan Sosial Kesehatan;
  10. Iuran adalah sejumlah uang yang dibayar secara teratur oleh Peserta, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah;
  11. Bantuan Iuran adalah iuran yang dibayar oleh Pemerintah bagi fakir miskin dan orang tidak mampu sebagai Peserta program Jaminan Sosial;
  12. Manfaat adalah faedah jaminan sosial yang menjadi hak peserta dan/atau anggota keluarganya;
  13. Fasilitas Kesehatan (Faskes) adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan Pemerintah atau masyarakat;
  14. Pemerintah adalah Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan; 
  15. Prinsip syariah adalah ketentuan-ketentuan atau aturan yang terdapat dalam fatwa DSN-MUI; 
  16. Akad hibah  adalah pemberian sejumlah dana dari Peserta-Individu kepada Peserta-Kolektif, dari Pemerintah kepada Penerima Bantuan Iuran (PBI), dan/atau dari Pemerintah kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
  17. Akad qardh adalah pinjaman dari BPJS Kesehatan kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan atau pinjaman dari pemerintah kepada Peserta Kolektif untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Dana Jaminan Sosial Kesehatan apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
  18. Akad mu'awadhatadalah akad usaha antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dengan Pihak ketiga untuk mengembangkan Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
  19. Akad Ijarah adalah akad antara BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta Kolektif dengan Faskes untuk melakukan pelayanan kesehatan; 
  20. Akad Wakalah atau Wakalah bi al-Ujrah adalah akad antara Peserta-Kolektif dengan BPJS Kesehatan untuk kegiatan administrasi dan kegiatan lainnya sesuai dengan prinsip-prinsip syariah; 
  21. Akad Kafalah adalah akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta Kolektif untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif; 
  22. Zhulm adalah sesuatu yang mengandung unsur ketidakadilan, ketidakseimbangan, dan merugikan pihak lain; dan,
  23. Lalai adalah meninggalkan perbuatan yang harusnya dilakukan (ifrath/ta'addi), atau melakukan perbuatan yang seharusnya tidak dilakukan (tafrith/taqshir).
Kedua : Ketentuan Hukum

Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan boleh dilakukan dengan mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan Akad dan Personalia Hukum
  1. Akad antara Peserta-Individu dengan Peserta-Kolektif yang diwakili BPJS Kesehatan adalah akad hibah dalam rangka saling menolong sesama peserta (ta'awun);
  2. Akad antara Pemerintah dengan Peserta-Individu sebagai Penerima Bantuan Iuran (PBI) adalah akad hibah, yang diserahterimakan kepada BPJS Kesehatan sebagai wakil dari Peserta-Kolektif;
  3. Akad antara Peserta-Kolektif dengan BPJS Kesehatan adalah akad wakalah atau akad wakalah bil ujrah;
  4. Akad wakalah atau wakalah bil ujrah sebagaimana dimaksud pada angka 3 dapat mencakup pemberian kuasa untuk:
    1. Kegiatan administrasi;
    2. Pengelolaan portofolio risiko;
    3. Investasi/Pengembangan  DJS;
    4. Pembayaran klaim (dari BPJS ke Faskes); dan,
    5. Pemasaran (Promosi)/sosialisasi;
  5. Akad antara BPJS Kesehatan dengan pihak lain dalam rangka pengembangan Dana Jaminan Sosial Kesehatan adalah akad mu'awadhat, baik dalam bentuk jual-beli, ijarah, maupun akad yang berbasis bagi hasil;
  6. Akad antara Pemerintah dengan BPJS Kesehatan sebagai wakil Perserta Kolektif adalah akad hibah untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif; atau akad qard apabila pemerintah belum memiliki anggaran khusus;
  7. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad qardh untuk menanggulangi Dana Jaminan Sosial Kesehatan yang bernilai negatif;
  8. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Peserta-Kolektif adalah akad kafalah atau akad qardh untuk menanggulangi kesulitan likuiditas asset Dana Jaminan Sosial Kesehatan;
  9. Akad antara Pemerintah dengan BPJS Kesehatan sebagai wakil peserta-kolektif adalah akad kafalah atau qardh dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan, atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan;
  10. Akad antara BPJS Kesehatan dengan Faskes adalah akad ijarah.
Keempat : Ketentuan terkait Iuran dan Layanan
  1. BPJS Kesehatan harus memberikan kemudahan bagi semua peserta BPJS di seluruh wilayah Indonesia untuk mendapatkan pelayanan yang baik sesuai dengan hak mereka;
  2. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib memberikan informasi yang jelas kepada Peserta Individu terkait jumlah iuran dan manfaat atau cakupan layanan fasilitas kesehatan yang ditanggung (jenis layanan, tingkat layanan, tenaga medis, penunjang diagnostik, obat, bentuk-bentuk terapi, dan biaya-biaya layanan kesehatan lainnya);
  3. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib bertanggungjawab untuk mengupayakan agar besaran pembayaran imbalan dan membayarnya kepada fasilitas layanan kesehatan (Faskes) melalui sistem yang adil dan transparan;
  4. BPJS Kesehatan wajib menunaikan kewajibannya dengan baik kepada Faskes sesuai perjanjian;
  5. Faskes wajib memberikan layanan kesehatan kepada Peserta-Individu sesuai prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku; wajib menolong pasien dan dilarang menolak dan/atau mengabaikannya;
  6. Faskes/Rumah Sakit wajib memberikan imbal jasa yang berasal dari BPJS Kesehatan kepada para dokter dan paramedik serta semua unsur di dalam Faskes sesuai dengan prinsip keadilan dan prinsip-prinsip syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kelima : Ketentuan terkait Dana Jaminan Sosial Bernilai Negatif
  1. Pemerintah wajib menghibahkan dana untuk menutupi negatif DJS;
  2. Dalam hal Pemerintah belum memiliki alokasi anggaran untuk menanggulangi DJS bernilai negatif, pemerintah dapat menalanginya dengan akad qardh; dan
  3. Dalam hal pemerintah belum menghibahkan dana untuk mencukupi DJS yang bernilai negatif, maka BPJS Kesehatan wajib memberikan dana talangan kepada DJS dengan menggunakan akad qardh atau kafalah.
Keenam : Ketentuan terkait Kesulitan Likuiditas Aset Dana Jaminan Sosial
  1. BPJS Kesehatan dapat memberikan talangan berdasarkan akad kafalah atau qardh kepada aset DJS untuk menanggulangi kesulitan likuiditas;
  2. Dalam hal BPJS Kesehatan tidak dapat memberikan talangan, atau dapat memberikan talangan namun tidak mencukupi untuk menanggulangi kesulitan likuiditas aset Dana Jaminan Kesehatan, pemerintah dapat memberikan talangan berdasarkan akad kafalah atau qardh.
Ketujuh : Ketentuan terkait Penempatan dan Pengembangan DJS
  1. BPJS Kesehatan wajib memiliki rekening penampungan DJS pada bank syariah;
  2. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif wajib melakukan pengelolaan portofolio DJS sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
  3. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif tidak boleh mengembangkan DJS pada kegiatan usaha dan/atau transaksi keuangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah; dan,
  4. BPJS Kesehatan sebagai wakil Peserta-Kolektif dalam upaya mengembangkan DJS harus menggunakan akad-akad yang sesuai prinsip-prinsip syariah.
Kedelapan : Ketentuan terkait Sanksi
  1. BPJS Kesehatan boleh mengenakan sanksi (ta'zir) kepada Pemberi Kerja  atau Peserta-Individu dengan ketentuan berikut:
    1. Apabila Pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena lalai,  maka boleh dikenakan sanksi (ta'zir);
    2. Apabila pemberi Kerja atau Peserta-Individu terlambat membayar iuran karena sebab yang benar menurut syariah dan hukum (misal karena kendala teknis operasional, kesulitan keuangan yang sangat atau karena ketidaktahuan), maka BPJS Kesehatan tidak boleh mengenakan sanksi;
    3. Tingkatan berat atau ringannya sanksi (ta'zir) dapat diberlakukan sepadan dengan jenis dan tingkatan pelanggarannya; dan
    4. Dana sanksi (ta'zir) wajib diakumulasikan ke dalam Dana Jaminan Sosial;
  2. BPJS Kesehatan boleh dikenakan sanksi (ta'zir) karena terlambat dalam pembayaran  imbalan kepada Faskes sesuai nilai syariah serta peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  3. Dana sanksi (ta'zir) sebagaimana pada angka 2 di atas wajib dipergunakan untuk Dana Sosial;
Kesembilan : Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kesepuluh : Ketentuan Penutup

Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diubah serta disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.


Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 10 Rabi' al-Awwal 1437 H

22 Desember 2015 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
DR. KH. Ma'ruf Amin
Sekretaris
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/