Fatwa DSN MUI

Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 105/DSN-MUI/X/2016
Tentang
Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memerlukan penjelasan terkait ketentuan hukum penjaminan untuk pengembalian modal dalam akad mudharabah, musyarakah, dan wakalah bil istitsmar;
  2. bahwa ketentuan hukum terkait penjaminan untuk pengembalian modal dalam akad mudharabah, musyarakah, dan wakalah bil istitsmar belum diatur dalam fatwa DSN-MUI;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang penjaminan pengembalian modal pembiayaan mudharabah, musyarakah dan wakalah bil istitsmar untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. An-Nisa` (4): 29:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا لا تَأكُلوا أَموٰلَكُم بَينَكُم بِالبٰطِلِ إِلّا أَن تَكونَ تِجٰرَةً عَن تَراضٍ مِنكُم ...

      “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”

    2. QS. al-Ma`idah (5): 1:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا أَوفوا بِالعُقودِ ...

      “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ...”

  2. Hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi:

    عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ رَجُلًا اشْتَرَى عَبْدًا فَاسْتَغَلَّهُ ، ثُّمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَرَدَّهُ، فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنّهُ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ.

    “Dari Aisyah RA, bahwa seorang laki-laki membeli seorang budak dan sudah memanfaatkannya. Kemudian pembeli tersebut mengembalikannya karena mendapatkan cacat badannya tersebut. Dia mengadu kepada Rasulullah dan dikembalikan kepadanya. Laki-laki penjual mengatakan, "Wahai Rasulullah, ia sudah memanfaatkan budakku." Rasulullah menjawab, "Manfaat (didapatkan oleh seseorang) disebabkan ia menanggung risiko.”

  3. Kaidah fikih:

    أ. الْغُرْمُ بِالْغُنْمِ

    “Risiko berbanding dengan manfaat.”

    ب‌. إِنَّ اشْتِرَاطَ الضَّمَانِ عَلىَ الأَمِيْنِ بَاطِلٌ

    “Mensyaratkan kewajiban memberikan penjaminan oleh Al-Amin (mudharib, mitra, wakil) adalah tidak sah (batal)” (al-Bahr al-Ra`iq, 7/274)

Memperhatikan :
  1. Pendapat ulama bahwa menjamin modal dalam akad mudharabah menyebabkan akad mudharabah menjadi akad fasid. Di antara pendapat tersebut, yaitu:
    1. Pendapat Ibnu Qudamah:

      إِنْ شَرَطَ عَلىَ الْعَامِلِ (فِيْ الْمُضَارَبَةِ) الضَّمَانَ فَالشَّرْطُ فَاسِدٌ لِأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ مَصْلَحَةِ الْعَقْدِ وَلاَ مِنْ مُقْتَضَاه

      “Jika pemilik modal (shahib al-mal) mensyaratkan kepada pengelola (mudharib) agar bertanggung jawab terhadap risiko usaha, maka syarat itu fasid karena hal itu bukan merupakan bagian dari kemaslahatan dan bertentangan dengan karakeristik akad.” (al-Khathib, Al-Mughni, 7/179)

    2. Pendapat Ibnu Qudamah:

      الْقِسْمُ الثَّالِثُ أَيْ مِنَ الشُّرُوْطِ الْفَاسِدَةِ: اِشْتِرَاطُ مَا لَيْسَ مِنْ مَصْلَحَةِ الْعَقْدِ وَلَا مِنْ مُقْتَضَاهُ مِثْلُ أَنْ يَشْتَرِطَ عَلَى الْمُضَارِبِ ضَمَانَ الْمَالِ أَوْ سَهْمًا مِنَ الْمَضِيْعَةِ وَلَاخِلَافَ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ عَلَى فَسَادِ هَذَا الشَّرْطِ.

      “Bagian ketiga (syarat-syarat fasid) adalah mensyaratkan hal-hal yang bukan termasuk kemaslahatan dan karakteristik akad, seperti mensyaratkan kepada mudharib untuk menjamin seluruh atau sebagian modal dari kerugian. Tidak ada perbedaan di kalangan ulama tentang fasadnya syarat ini.”

    3. Pendapat Qadhi Abdul Wahhab:

      ... لِأَنَّ أَصْلَ الْقِرَاضِ مَوْضُوْعٌ عَلَى الْأَمَانَةِ، فَإِذَا شُرِطَ فِيْهَا الضَّمَانُ فَذَلِكَ خِلَافُ مُوْجَبِ أَصْلِهِ. وَالْعَقْدُ إِذَا ضَامَّهُ شَرْطٌ يُخَالِفُ مُوْجَبَ أَصْلِهِ وَجَبَ بُطْلَانُهُ.

      “... karena mudharabah itu dibentuk atas dasar amanah, Oleh karena itu, jika dalam mudharabah disyaratkan adanya dhaman (penjaminan pengembalian modal), maka hal itu bertentangan dengan prinsip dasar. Jika suatu akad mengandung syarat yang bertentangan dengan prinsip dasarnya, maka akad tersebut batal.” (al-Ma’unah ‘ala Mazhab ‘Alim al-Madinah, 2/1122)

    4. Pendapat Qadhi Syuraih Ibnu al-Harits al-Kindi sebagaimana dikutip oleh Ali Ahmad an-Nadawi:

      مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ طَائِعًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَ عَلَيْهِ

      “Siapa saja yang membebankan sesuatu kepada dirinya secara sukarela tanpa paksaan, maka sesuatu itu wajib ia laksanakan.” (al-Qawaid al-Fiqhiyah, Ali Ahmad an-Nadawi, Dar al-Qalam, Dimasyq, 1994, cet. III, hal. 93)

    5. Pendapat ad-Dusuqi:

      مَنِ الْتَزَمَ مَعْرُوْفًا لَزِمَهُ

      “Siapa yang berkomitmen melaksanakan suatu kebaikan, maka ia wajib menunaikannya.” (Hasyiyah ad-Dusuqi ‘ala asy-Syarh al-Kabir, ad-Dusuqi, 4/26)

    6. Pendapat Ibnu ‘Arabi:

      مَنِ الْتَزَمَ شَيْئَا لَزِمَهُ شَرْعًا

      “Siapa yang berkomitmen untuk melaksanakan sesuatu, maka ia – menurut syara’ – wajib menunaikannya.” (Ahkam al-Qur’an, Ibnu ‘Arabi, 4/241).

    7. Pendapat Asy-Syaukani tentang alasan kebolehan menjamin modal atas inisiatif sendiri:

      لِأَنَّهُمْ قَدْ اخْتَارُوْا ذَالِكَ لِأَنْفُسِهِمْ وَالتَّرَاضِي هُوَ الْمَنَاطُ فِيْ تَحْلِيْلِ أَمْوَالِ اْلعِبَادِ

      “Karena mereka (para mudharib) telah memilih hal tersebut (menjamin modal) dengan sukarela, dan kerelaan di antara mereka menjadi alasan penghalalan harta hamba.”(As-Sail al-Jarrar, 3/217)

  2. Pendapat lembaga-lembaga fatwa internasional yang menjelaskan bahwa penjaminan pengembalian modal oleh mudharib menyebabkan akad mudharabah menjadi fasid dan mudharib mendapatkan ribh al-mitsl:
      1. Keputusan Lembaga Fikih Internasional OKI:

        لَا يَجُوْزُ اشْتِرَاطُ ضَمَانِ رَأْسِ الْمَالِ عَلىَ العَامِلِ الْمُضَارِبِ، فَإِنْ وَقَعَ النَّصُّ عَلَى ذَالِكَ صَرَاحَةً أَوْ ضِمْنًا، بَطَلَ شَرْطُ الضَّمَانِ وَاسْتَحَقَّ الْمُضَارِبُ رِبْحَ مُضَارَبَةِ الْمِثْلِ.

        “Tidak boleh mensyaratkan mudharib untuk menjamin modal. Jika dipersyaratkan baik secara tersurat ataupun tersirat, maka syarat untuk menjamin modal adalah batal dan mudharib berhak atas keuntungan wajar (ribh al-mitsl).”( Keputusan Lembaga Fikih Internasional OKI, No. 30 (4/5)

      2. Standar Syariah AAOIFI:

        مُسْتَنَدُ عَدَمِ تَضْمِيْنِ مُدِيْرِ الْإِسْتِثْمَارِ خَسَارَةَ الْمَالِ اتِّفَاقُ الْفُقَهَاءِ أَنَّ الْعَامِلَ لَا يَضْمَنُ إِلَّا فِيْ حَالِ التَّعَدِّى أَوِ التَّقْصِيْرِ لِأَنَّهُ أَخَذَ الْمَالَ بِإِذْنِ صَاحِبِهِ وَيَعْمَلُ فِيْهِ لِمَصْلَحَةِ رَبِّ الْمَالِ فَهُوَ نَائِبٌ عَنْ رَبِّ الْمَالِ فِيْ الْيَدِ وَالتَّصَرُّفِ وَذَالِكَ يَسْتَوْجِبُ أَنْ يَّكُوْنَ هَلَاكُ الْمَالِ أَوْ خَسَارَتُهُ فِي يَدِهِ كَهَلَاكِهِ أَوْ خَسَارَتِهِ فِيْ يَدِ صَاحِبِهِ لِأَنَّهُ قَبَضَهُ بِإِذْنِهِ وَلِأَنَّ الْأَصْلَ بَرَاءَةُ ذِمَّةِ الْمُدِيْرِ مِنَ الضَّمَانِ وَمَنْ كَانَ كَذَالِكَ فَلَا يَسُوْغُ تَضْمِيْنُهُ إِلَّا بِأَمْرِ الشَّارِعِ

        “Dasar hukum ketidakbolehan adanya penjaminan oleh pengelola investasi adalah kesepakatan para ahli fikih yang menyatakan bahwa pengelola tidak bertanggung jawab atas pengembalian modal kecuali pada saat ta’addi atau taqshir. Hal tersebut disebabkan pengelola menerima modal atas izin pemiliknya dan mengelolanya untuk kepentingan pemilik modal. Dengan demikian, pengelola adalah wakil pemilik modal dalam kewenangan dan perbuatan hukum. Hal itu menyebabkan kerusakan atau kerugian modal di tangan pengelola itu sama dengan kerusakan atau kerugian di tangan pemiliknya karena pengelola menerima modal atas izin pemiliknya dan pada dasarnya pengelola terlepas dari dhaman (jaminan pengembalian modal). Oleh karena itu pengelola tidak boleh diminta untuk menjamin modal yang diterimanya kecuali atas perintah syara.” (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyyah, AAOIFI, Standar no. 45 tentang Himayatu Ra’si al-mal, Manama Bahrain, 2015, hal. 45)

    وَمُسْتَنَدُ عَدَمِ جَوَازِ اشْتِرَاطِ تَحَمُّلِ الْمُدِيْرِ ضَمَانَ الْمَالِ، أَنَّ هَذَا الشَّرْطَ يُفَرِّغُ عَقْدَ الْمُضَارَبَةِ أَوْ الْمُشَارَكَةِ أَوْ الْوَكَالَةِ مِنْ مَضْمُوْنِهِ وَيُحَوِّلُهُ إِلَى قَرْضٍ مَضْمُوْنٍ فِيْ ذِمَّةِ الْمُدِيْرِ وَلِأَنَّ هَذِهِ الْعُقُوْدَ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْأَمَانَةِ وَهَذَا الشَّرْطُ يُخَالِفُ مُقْتَضَاهَا فَيُحْكَمُ بِفَسَادِهِ

    “Dasar hukum ketidakbolehan mensyaratkan untuk menjamin pengembalian modal kepada pengelola;adalah karena syarat ini mengeluarkan akad mudharabah,musyarakah atau wakalah dari kerangkanya ; dan mengubahnya menjadi akad pinjaman (qardh) yang dijamin pengelola (untuk mengembalikannya), karena akad-akad ini didasarkan pada amanah, dan syarat ini (menjamin pengembalian modal) bertentangan dengan prinsip akad tersebut, maka akadnya tidak sah”. (al-Ma’ayir asy-sayr’iyyah, AAOIFI, Standar no. 45 tentang Himayatu Ra’si al-mal, Manama Bahrain, 2015, hal. 45)

    1. Standar Syariah AAOIFI:

      لاَ يَجُوْزُ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِيْ عُقُوْدِ الأَمَانَةِ كَالْوَكَالَةِ وَالْإِيْدَاعِ وَالْمُشَارَكَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْعَيْنِ لَدَي الْمُسْتَأْجِرِ. فَإِنْ كَان لِلْإِسْتِيْفَاءِ مِنْهُ فِيْ حَالَاتِ التَّعَدِّي أَوِ التَّقْصِيْرِ أَوْ الْمُخَالَفَةِ لِلشُّرُوْطِ جَازَ .

      “Tidak boleh mensyaratkan adanya jaminan barang (rahn) atas akad yang bersifat amanah, seperti akad wakalah, akad wadi'ah, akad musyarakah, akad mudharabah, dan barang sewa di tangan musta`jir. Jika rahn dijadikan sumber pembayaran (hak pemberi amanah) pada kasus pemegang amanah melampaui batas, lalai dan/atau menyalahi syarat-syarat, maka rahn tersebut diperbolehkan.” (al-Ma'ayir al-Syar'iyyah No: 39 (2-3-3)

  3. Fatwa-fatwa DSN-MUI:
    1. Fatwa DSN-MUI Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang Pembiayaan Yang Disertai Rahn (al-Tamwil al-Mautsuq bi al-Rahn)
    2. Fatwa DSN-MUI Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)
    3. Fatwa DSN-MUI  Nomor 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah
    4. Fatwa DSN-MUI Nomor 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah
    5. Fatwa DSN-MUI Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn
    6. Fatwa DSN-MUI Nomor 74/DSN-MUI/III/2009 tentang Penjaminan syariah
  4. Hasil kajian yang dilakukan Tim DSN-MUI tentang Penjaminan Terhadap Modal dalam Akad Mudharabah, Musyarakah dan Wakalah Bil Istitsmar pada 04-06 Juni 2014 di Jakarta; dan
  5. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Sabtu dan Ahad / 01 – 02 Oktober 2016 M .

MEMUTUSKAN

Menetapkan : PENJAMINAN UNTUK PENGEMBALIAN MODAL DALAM AKAD MUDHARABAH, MUSYARAKAH DAN WAKALAH BIL ISTITSMAR.
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Akad mudharabah adalah kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak kedua ('amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam kontrak, sedangkan kerugian ditanggung oleh shahib al-mal.
  2. Akad musyarakah adalah pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi modal dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati dan kerugian akan ditanggung bersama secara proporsional.
  3. Akad wakalah bil istitsmar adalah pemberian kuasa oleh satu pihak kepada pihak lain untuk menginvestasikan modalnya.
  4. Penjaminan pengembalian modal adalah penjaminan dari mudharib/syarik/wakil bil istitsmar untuk mengembalikan modal secara penuh kepada Shahib al-Mal/Syarik/Muwakkil;
  5. Modal adalah :
    1. Dana (ra`s al-mal) yang diserahkan oleh shahib al-mal kepada mudharib dalam akad mudharabah,
    2. Dana (ra`s al-mal) yang diserahkan oleh salah satu syarik kepada syarik lain dalam akad musyarakah,  atau
    3. Dana yang diserahkan oleh muwakkil (pemberi kuasa) kepada wakil (penerima kuasa) dalam akad wakalah bil istitsmar,
  6. Pemilik modal adalah shahib al-mal dalam akad mudharabah, mitra (syarik) dalam akad musyarakah, atau muwakkil (pemberi kuasa) dalam akad wakalah bil istismar.
  7. Pengelola adalah mudharib dalam akad mudharabah, syarik (mitra) dalam akad musyarakah, atau wakil (penerima kuasa) dalam akad wakalah bil istitsmar.
  8. Ta'addi (ifrath) adalah melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya dilakukan;
  9. Taqshir (tafrith) adalah tidak melakukan sesuatu yang semestinya dilakukan;
  10. Mukhalafat al-syuruthadalah melanggar ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah) yang disepakati pihak-pihak yang berakad.
Kedua : Ketentuan Khusus
  1. Pengelola tidak wajib mengembalikan modal usaha secara penuh pada saat terjadi kerugian, kecuali kerugian karena ta'addi, tafrith atau mukhalafat al-syuruth
  2. Pemilik Modal tidak boleh meminta Pengelola untuk menjamin pengembalian modal.
  3. Pengelola boleh menjamin  pengembalian modal atas kehendaknya sendiri tanpa permintaan dari Pemilik Modal.
  4. Pemilik Modal boleh meminta pihak ketiga untuk menjamin pengembalian modal.
  5. Dalam hal usaha mengalami kerugian sementara pemilik modal berbeda pendapat atas kerugian tersebut, Pengelola wajib membuktikan bahwa kerugian yang dialami bukan karena ta'addi, tafrith atau mukhalafat al-syuruth
  6. Dalam hal pembuktian diterima oleh Pemilik Modal, kerugian tersebut menjadi tanggung jawab Pemilik Modal.
  7. Dalam hal pembuktian tidak diterima oleh Pemilik Modal, perselisihan diselesaikan melalui jalur litigasi atau non-litigasi.  
  8. Sebelum adanya keputusan yang ditetapkan dan mengikat, kerugian menjadi tanggung jawab Pengelola.
Ketiga : Penutup
  1. Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diubah serta disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1437 H

01 Oktober 2016 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
DR. KH. Ma'ruf Amin
Sekretaris
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/