Fatwa DSN MUI

Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 79/DSN-MUI/III/2011
Tentang
Qardh dengan Menggunakan Dana Nasabah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka merespon kebutuhan nasabah, lembaga keuangan syariah (LKS), terutama perbankan syariah, memerlukan produk yang menggunakan akad qardh sebagai sarana atau kelengkapan terhadap transaksi lain, seperti produk Rahn, produk Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, produk  Syariah Charge Card, produk Pengalihan Utang, produk Kartu Kredit Syariah, produk Anjak Piutang Syariah, dan lain-lain;
  2. bahwa akad qardh yang menjadi sarana atau kelengkapan dalam produk-produk tersebut sebagaimana dimaksud dalam huruf a sering kali perlu menggunakan dana nasabah, dan qardh dengan menggunakan dana nasabah ini masih belum ada fatwanya, sedangkan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 19 DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh adalah qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial semata;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dikemukakan dalam huruf a dan b di atas, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang qardh dengan menggunakan dana nasabah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Nisa' [4]: 29:

      يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ...

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …"

    2. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

      يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"

    3. QS. al-Ma'idah [5]: 2:

      ... وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

      "… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

    4. QS. al-Baqarah [2]: 283:

      ... فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ ...

      "… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …"

  2. Hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Riwayat Thabrani dalam Ausath dari Ibnu Abbas, Nabi bersabda:

      كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).

      "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung risikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya." (HR. Thabrani dalam al-Ausath dari Ibnu Abbas)

    2. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib:

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ: اَلْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ، وَالْمُقَارَضَةُ، وَخَلْطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ (رواه ابن ماجه عن صهيب)

      "Nabi bersabda, 'Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual." (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib)

    3. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya:

      أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (أخرجه ابن ماجه عن عبادة بن الصامت في سننه /الكتاب: الأحكام، الباب: من بنى في حقه مايضر بجاره، رقم الحديث: 2331، ورواه أحمد عن ابن عباس، ومالك عن يحي)

      "Rasulullah s.a.w. menetapkan: Tidak boleh membahaya-kan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)."

    4. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

  3. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Oleh karena itu, hal tersebut dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Dimasyq: Dar al-Fikr, 2004, cet. IV, edisi revisi, 5/3925).
  4. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.
  5. Kaidah fikih:
    1. Kaidah fikih:

      المَشَقَّةُ تَجْلِبٌ التَّيْسِيْرَ (السيوطي، الأشباه والنظائر، القاهرة: دار السلام، 2004، ط 2، تحقيق وتعليق: محمد محمد تامر و حافظ عاشور حافظ، ج 1، ص 194)

      "Kesulitan mendatangkan kemudahan." (al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha'ir, j. 1, h. 194)

    2. Kaidah fikih:

      الحاَجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ، عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً (السيوطي، الأشباه والنظائر، القاهرة: دار السلام، 2004، ط 2، تحقيق وتعليق: محمد محمد تامر و حافظ عاشور حافظ، ج 1، ص 218)

      "Hajah (kebutuhan mendesak), baik bersifat khusus maupun umum, menempati posisi darurat (kebutuhan sangat mendesak)" (al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha'ir, j. 1, h. 218)

    3. Kaidah fikih:

      لِلْوَسَائِلِ أَحْكَامُ الْمَقَاصِدِ

      "Wasilah (sarana) memiliki hukum tujuan." ('Izz al-Din 'Abd al-'Aziz bin 'Abd al-Salam, al-Qawa'id al-Kubra al-Mausum bi-Qawa'id al-Ahkam fi Ishlah al-Anam, Dimasyq: Dar al-Qalam, 2000, juz 1, h. 74)

    4. Kaidah fikih:

      إِنَّ مَا كَانَ وَسِيْلَةً وَذَرِيْعَةً إِلَى شَيْءٍ أَخَذَ حُكْمَهُ مِنْ حَيْثُ اْلإِيْجَابُ أَوِ النَّدْبُ أَوِ اْلإِبَاحَةُ أَو الْكَرَاهَةُ أَوِ التَّحْرِيْمُ

      "Sesuatu yang menjadi wasilah dan dzari'ah (sarana) terhadap sesuatu mengambil (mempunyai) status hukum sesuatu tersebut, baik wajib, nadb (anjuran), mubah, makruh maupun haram." (Dr. Muhammad Sa'd bin Ahmad bin Mas'ud al-Yubi, Maqashid al-Syari'ah wa 'Alaqatuha bi al-Adillah al-Syar'iyyah, KSA: Dar Ibn al-Jauzi, 1429 H.; h. 435)

    5. Kaidah fikih:

      يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ ضِمْنًا وَتَبَعًا مَا لاَ يُغْتَفَرُ قَصْدًا (السيوطي، الأشباه والنظائر، القاهرة: دار السلام، 2004، ط 2، تحقيق وتعليق: محمد محمد تامر و حافظ عاشور حافظ، ج 1، ص 276، وابن نجيم، الأشباه والنظائر، دمشق: دار الفكر، 1983، ط 1، تحقيق: محمد مطيع الحافظ، ص 135)

      "Sesuatu yang tidak boleh dilakukan sebagai tujuan boleh dilakukan sebagai pendukung (bagian dari yang lain) dan ikutan (pelengkap)." (al-Suyuthi, al-Asybah wa al-Nazha'ir, j. 1, h. 276; Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha'ir, h. 135)

    6. Kaidah fikih:

      يُغْتَفَرُ فِي الشَّيْءِ إِذَا كَانَ َتاَبِعًا مَا لاَ يُغْتَفَرُ إِذَا كَانَ مَقْصُوْدًا (الزركشي، المنثور في القواعد، الكويت: وزارة الشئون الأوقاف والشئون الإسلامية، 3/376)

      "Sesuatu yang tidak boleh dilakukan ketika menjadi tujuan boleh dilakukan ketika menjadi ikutan (pelengkap)." (al-Zarkasyi, al-Mantsur fi al-Qawa'id, j. 3, h. 376)

    7. Kaidah fikih:

      يُغْتَفَرُ فِي الضِّمْنِيِّ مَا لاَ يُغْتَفَرُ فِي الْمُسْتَقِلِّ (الرملي، فتاوى الرملي في فروع الفقه الشافعي، مطبوع مع الفتاوى الكبرى للهيتمي، 2/115)

      "Sesuatu yang tidak boleh dilakukan ketika berdiri sendiri boleh dilakukan ketika menjadi pendukung (bagian dari yang lain)." (ak-Ramli, Fatawa al-Ramli, j. 2, h. 115)

    8. Kaidah fikih:

      الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

      "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan :
  1. Wahbah al-Zuhaili menyatakan:

    الْمَعْقُوْدُ عَلَيْهِ أَوِ الْمَقْصُوْدُ مِنَ الْعَقْدِ (أي المُضَارَبَةِ) هُوَ الرِّبْحُ (ص 3937) ... فَإِذَا كَانَتِ الْمُضَارَبَةُ مُطْلَقَةً فَلِلْمُضارِبِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَالِ الْمُضَارَبَةِ مَا بَدَا لَهُ مِنْ أَنْوَاعِ التِّجَارَاتِ، فِيْ سَائِرِ اْلأَمْكِنَةِ، مَعَ سَائِرِ النَّاسِ، لإِطْلاَقِ الْعَقْدِ ... لأَ نَّ الْمَقْصُوْدَ مِنَ الْمُضَارَبَةِ هُوَ تَحْصِيْلُ الرّبْحِ (ص 3945-3946).

    Ma'qud 'alaih (obyek akad) atau tujuan akad mudharabah adalah al-ribh (keuntungan)... Jika mudharabah tersebut adalah mudharabah muthlaqah, maka terhadap dana mudharabah itu mudharib boleh melakukan berbagai macam kegiatan perniagaan yang dipandang layak, di tempat mana pun dan dengan siapa pun, karena akadnya bersifat mutlak; sebab tujuan mudharabah adalah menciptakan keuntungan (Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dimasyq: Dar al-Fikr, 2004, cet. IV, edisi revisi, 5/3937 & 3945-3946)

  2. Muhmmad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid mengatakan:

    وَتَحْقِيْقُ الرِّبْحِ هُوَ غَايَةُ الْمُضَارَبَةِ وَمَقْصُوْدُهَا، وَهُوَ يُمْكِنُ أَنْ يَتَحَقَّقَ فِي التِّجَارَةِ وَفِيْ غَيْرِهَا مِنَ اْلأَنْشِطَةِ اْلاِقْتِصَادِيَّةِ.

    "Mewujudkan keuntungan adalah tujuan utama dan maksud dari mudharabah; dan hal itu dapat tercapai (terwujud) dalam perniagaan dan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya." (Muhmmad 'Abd al-Mun'im Abu Zaid, Nahwa Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah, al-Qahirah: Maktabah al-Ma'had al-'Alamai li-al-Fikr al-Islami, 2000, h. 24)

  3. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Selasa, tanggal 03 Rabi'ul Akhir 1432 H/08 Maret 2011.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG QARDH DENGAN MENGGUNAKAN DANA NASABAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Qardh adalah suatu akad penyaluran dana oleh LKS kepada nasabah sebagai utang piutang dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana tersebut kepada LKS pada waktu yang telah disepakati;
  2. Dana Nasabah adalah dana yang diserahkan oleh nasabah kepada LKS dalam produk giro, tabungan atau deposito dengan menggunakan akad wadi’ah atau mudharabah sebagaimana dimaksud dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 01/DSN-MUI/IV/2000 tentang Giro, fatwa DSN-MUI Nomor: 02/DSN-MUI/IV/2000 tentang Tabungan dan fatwa DSN-MUI Nomor: 03/DSN-MUI/IV/2000 tentang Deposito.
Kedua : Ketentuan Penyaluran Dana Qardh dengan Dana Nasabah
  1. Akad Qardh dalam Lembaga Keuangan Syariah terdiri atas dua macam:
    1. Akad Qardh yang berdiri sendiri untuk tujuan sosial semata sebagaimana dimaksud dalam Fatwa DSN-MUI Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh, bukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan;
    2. Akad Qardh yang dilakukan sebagai sarana atau kelengkapan bagi transaksi lain yang menggunakan akad-akad mu’awadhah (pertukaran dan dapat bersifat komersial) dalam produk yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan.
  2. Akad atau produk yang menggunakan akad qardh sebagai sarana atau kelengkapan bagi akad mu’awadhahsebagaimana dimaksud pada angka 1.b di atas, termaktub antara lain dalam:
    1. Fatwa DSN-MUI Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas;
    2. Fatwa DSN-MUI Nomor: 29/DSN-MUI/VI/2002 tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah;
    3. Fatwa DSN-MUI Nomor 31 tentang Pengalihan Utang;
    4. Fatwa DSN MUI  Nomor: 42/DSN-MUI/V/2004 tentang Syariah Charge Card;
    5. Fatwa DSN MUI Nomor: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card;
    6. Fatwa DSN MUI Nomor: 67/DSN-MUI/III/2008 tentang Anjak Piutang Syariah.
  3. Akad Qardh sebagaimana dimaksud dalam angka 1.a tidak boleh menggunakan dana nasabah.
  4. Akad Qardh sebagaimana dimaksud dalam angka 1.b boleh menggunakan dana nasabah.
  5. Keuntungan atau pendapatan dari akad atau produk yang menggunakan mu’awadhah yang dilengkapi dengan akad qardh sebagaimana dimaksud dalam angka 2 harus dibagikan kepada nasabah penyimpan dana sesuai akad yang dilakukan.
Ketiga : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 03 Rabi’ul Akhir1432 H

08 Maret 2011 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/