Surat Al-Furqan Ayat 27

وَيَوْمَ يَعَضُّ الظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيْهِ يَقُولُ يَا لَيْتَنِي اتَّخَذْتُ مَعَ الرَّسُولِ سَبِيلًا



Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: "Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul".

Ingin rezeki berlimpah dengan berkah? Ketahui rahasianya dengan Klik disini!

(Dan ingatlah hari ketika itu orang yang zalim) orang musyrik, yaitu Uqbah bin Mu'ith yang pernah membaca dua kalimat syahadat, kemudian ia menjadi murtad demi mengambil hati Ubay bin Khalaf (menggigit dua tangannya) karena menyesal dan kecewa, di hari kiamat (seraya berkata, "Aduhai!) huruf Ya menunjukkan makna penyesalan (Kiranya dahulu aku mengambil bersama Rasul) yakni Nabi Muhammad (jalan) petunjuk.

Pada hari kiamat, orang yang menzalimi dirinya dengan kekafiran dan melanggar para rasul menggigit kedua tangannya dengan penuh penyesalan. Dengan berangan-angan mereka berkata, "Aduhai kiranya dulu aku mengikuti para rasul sehingga aku menelusuri jalan menuju surga dan menjauhi jalan menuju neraka."

Anda harus untuk dapat menambahkan tafsir

Admin

Submit : 2015-04-01 02:13:32
Link sumber: http://tafsir.web.id/

Disebutkan dalam Ad Durrul Mantsur juz 5 hal. 68, bahwa Ibnu Mardawaih dan Abu Nu’aim dalam Ad Dalaa’il meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari jalan Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, bahwa Abu Mu’aith biasa duduk bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di Mekah dan tidak menyakitinya. Ia adalah orang yang santun. Oleh karenanya sebagian orang-orang Quraisy apabila duduk bersamanya menyakitinya. Abu Mu’aith memiliki seorang teman yang sedang berada di Syam, lalu orang-orang Quraisy mengatakan, “Abu Mu’aith telah pindah agama,” lalu kawannya datang pada malam hari dari Syam dan bertanya kepada istrinya, “Sudah sampai di mana Muhammad berbuat?” Istrinya berkata, “Perkaranya sudah lebih parah.” Ia bertanya lagi, “Apa yang dilakukan kawanku Abu Mu’aith?” Istrinya menjawab, “Ia telah pindah agama.” Maka semalaman Ia (kawan Abu Mu’aith) merasa gelisah. Ketika tiba pagi harinya, Abu Mu’aith datang lalu mengucapkan salam kepadanya, tetapi salamnya tidak dijawab, maka Abu Mu’aith berkata, “Mengapa engkau tidak menjawab salamku?” Ia menjawab, “Bagaimana aku akan menjawab salammu padahal engkau telah pindah agama?” Ia berkata, “Apakah orang-orang Quraisy berkata seperti itu?” Ia menjawab, “Ya.” Ia bertanya, ”Kalau begitu perbuatan apa yang dapat mengobati dada mereka?” Ia menjawab, “Engkau datangi dia (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) lalu engkau ludahi wajahnya dan engkau caci-maki dengan cacian yang yang terburuk yang engkau ketahui.” Maka Abu Mu’aith melakukannya, namun Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak bersikap apa-apa selain mengusap mukanya dari air liur, lalu Beliau menoleh kepadanya sambil berkata, “Jika aku mendapati kamu berada di luar pegunungan Mekah, aku akan memenggal lehermu dengan cara ditahan.” Ketika tiba perang Badar dan kawan-kawannya berangkat, maka ia (Abu Mu’aith) enggan untuk berangkat, lalu kawan-kawannya berkata, “Keluarlah bersama kami.” Ia berkata, “Sungguhnya orang ini (Yakni Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam) telah berjanji kepadaku jika mendapatiku berada di luar pegunungan Mekah akan memenggal leherku dengan cara ditahan.” Mereka berkata, “Engkau akan memperoleh unta merah, (tenang saja) dia tidak akan mendapatkan kamu jika kekalahan menimpanya.” Maka ia keluar bersama mereka, dan ketika Allah mengalahkan kaum musyrik dan untanya jatuh ke tanah lumpur di beberapa jalan (di gunung), maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menangkapnya dalam 70 orang Quraisy, lalu Abu Mu’aith datang kepada Beliau dan bersabda, “Engkau akan bunuh aku di tengah-tengah mereka ini?” Beliau menjawab, “Ya, karena engkau telah meludahi wajahku.” Maka Allah menurunkan ayat tentang Abu Mu’aith, “Wa yauma ya’addhuzh zhaalimu ‘alaa yadaihi…dst. sampai ayat, “Wa kaanasy syaithaanu lil insaani khadzuulaa.” Syaikh Muqbil berkata, “Kami masih tidak berani menghukumi (kedudukan haditsnya) karena As Suyuthiy rahimahullah agak mudah (menshahihkan).”

Menggigit tangan (jari) maksudnya menyesali perbuatannya, berupa syirk, kufur dan mendustakan para rasul.

Dengan beriman kepadanya, membenarkannya dan mengikutinya.