- Pendapat Imam Ahmad:
عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ شَرْطِ ضَمَانِ مَا لَا يَجِبُ ضَمَانُهُ، هَلْ يُصَيِّرُهُ الشَّرْطُ مَضْمُوْنًا؟ فَقَالَ: اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ. وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الضَّمَانِ بِشَرْطِهِ وَوُجُوْبِهِ بِشَرْطِهِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ.
“Dari Ahmad, ia (Ahmad) ditanya tentang syarat menjamin sesuatu yang tidak wajib menjaminnya, apakah syarat tersebut menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib dijamin? Ahmad menjawab, ‘Umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.’ Jawaban ini menunjukkan bahwa tidak wajib menjamin karena ada syarat yang tidak mewajibkannya, dan wajib menjamin karena ada syarat yang mewajibkannya; karena Rasulullah Saw bersabda: ‘umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.’”
(Ibn Qudamah, al-Mughni [8/115]).
- Pendapat Abu Yusuf:
ذَهَبَ اَبُوْ يُوْسُفَ وَمُحَمَّدٌ بْنُ الْحَسَنِ إِلَى أَنَّ الْمُضَارِبَ يَضْمَنُ مَالَ الْمُضَارَبَةِ فِي حَال فَسَادِهَا وَلَوْ لَمْ يَتَعَدَّ عَلى الْمَالِ اَوْ يُفَرِّطْ فِيْهِ.
“Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa pengelola (mudharib) bertanggung jawab terhadap modal mudharabah apabila mudharabah tersebut fasid (rusak), meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas atau melakukan kelalaian atas modal.”
(Ahmad Hafizh Musa Musa, al-Dhaman fi `Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islami wa Tathbiqathuhu al-Mu`ashirah [Yordania: Universitas Yordania. 2005; h. 145; Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin (8/316), dan al-Kasani, Bada`i al-Shana`i (6/108).
- Pendapat Imam al-Syaukani tentang mudharib dan pemegang amanah yang lain:
وَلاَ يُضَمَّنُوْنَ إِلاَّ لِجِنَايَةٍ أَوْ تَفْرِيْطٍ، وَإِذَا ضَمِنُوْا ضُمِّنُوْا، لِأَنَّهُمْ قَدْ اخْتَارُوْا ذَالِكَ لِأَنْفُسِهِمْ وَالتَّرَاضِي هُوَ الْمَنَاطُ فِيْ تَحْلِيْلِ أَمْوَالِ اْلعِبَادِ.
“Mereka (mudharib dan pemegang amanah yang lain) tidak boleh diminta bertanggung jawab untuk menanggung risiko kecuali (risiko itu terjadi) akibat pelanggaran atau kelalaian; (namun) jika mereka menanggung risiko (atas kemauan sendiri), mereka wajib menanggung risiko, hal itu karena mereka dengan suka rela telah memilih pilihan (menanggung risiko) tersebut. Dan kerelaan (untuk menanggung risiko) menjadi sebab menghalalkan harta hamba.”
(As-Sail al-Jarrar al -Mutadaffiq ‘ala Hada'iq al-Azhar, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1405 H, 3/217)
- Ibnu Taimiyah menjelaskan:
فَأَمَّا اشْتِرَاطُ عَوْدِ مِثْلِ رَأْسِ الْمَالِ (أَيْ فِي الْمُضَارَبَةِ) فَهُوَ مِثْلُ اشْتِرَاطِ عَوْدِ الشَّجَرِ وَالْأَرْضِ (أَيْ لِصَاحِبِهِمَا فِي الْمُزَارَعَةِ وَالْمُسَاقَاةِ).
“Adapun mensyaratkan kembalinya modal (dalam akad mudharabah), maka hal itu sama dengan mensyaratkan kembalinya pohon dan tanah (kepada pemiliknya dalam akad muzara’ah dan musaqah)”
(Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 30/105)
- Pendapat Nazih Hammad:
لَقَدْ ظَهَرَ لِيْ بَعْدَ عَرْضِ خِلَافِ الْفُقَهَاءِ وَأَدِلَّتِهِمْ فِي مَسْأَلَةِ تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ رَأْسَ مَالِ الْمُضَارَبَةِ بِالشَّرْطِ (فِي حَالَاتِ التَّلَفِ وَالنُّقْصَانِ وَالْخَسَارَةِ وَغَيْرِهَا)، ثُمَّ مَنَاقَشَتِهَا بِمَوْضُوْعِيَّةٍ وَأَمَانَةٍ عِلْمِيَّةٍ، بَعِيْدَةٍ عَنِ التَّعَصُّبِ الْمَذْهَبِيِّ أَوِ اتِّبَاعِ الْهَوَاءِ، رَجْحَانُ الْقَوْلِ بِصِحَّةِ تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ ذَلِكَ بِالشَّرطِ، نَظَراً لِوُجُوْدِ كَثِيْرٍ مِنَ الْاِعْتِرَاضَاتِ الْوَجِيْهَةِ عَلَى أَدِلَّةِ الْمَانِعِيْنَ، وَاعْتِبَارًا لِقُوَّةِ حُجَجِ وَبَرَاهِيْنِ الْمُجِيْزِيْنَ، وَسَلَامَتِهَا مِنَ الْإِيْرَادَاتِ الْمَقْبُوْلَةِ عَلَيْهَا، حَيْثُ ثَبَتَ لَنَا أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ مَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ ذَلِكَ الْاِشْتِرَاطِ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِصِحَّتِهِ لَا يَقْتَضِي مُخَالَفَةً لِقَاعِدَةٍ مِنْ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهَا، وَلَا وُقُوْعًا فِيْ مَحْظُوْرٍ، مِنْ رِبَا أَوْ قِمَارٍ أَوْ بَيْعِ غَرَرٍ، وَلَا جَلْبًا لِمَفْسَدَةٍ رَاجِحَةٍ. وَهُوَ بِلَا رَيْبٍ خَيْرٌ وَأَوْلَى مِنَ التَّشْدِيْدِ بِالْمَنْعِ ثُمَ اللُّجُوْءِ إِلَى تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ عَنْ طَرِيْقِ الْحِيَلِ... وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.
“Sudah jelas bagiku --setelah memaparkan perbedaan pendapat ulama berikut dalil-dalil yang digunakannya tentang hukum mensyaratkan pengelola (mudharib) agar menjamin pengembalian pokok modal mudharabah dalam seluruh kondisi, baik karena rusak, berkurang, rugi atau karena hal lain, kemudian mengujinya secara objektif, berdasarkan kejujuran ilmiah, jauh dari sikap fanatik madzhab atau mengikuti hawa nafsu-- bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan sahnya syarat agar pengelola (mudharib) menjamin modal; hal itu karena memperhatikan banyaknya bantahan yang bermutu terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh ulama yang melarangnya; kuatnya argumen dan alasan yang disampaikan ulama yang membolehkannya, dan argumen-argumen tersebut terbebas dari kritikan-kritikan yang dapat diterima. Atas dasar demikian, bagi kami telah terbukti tidak terdapat dalil syar`i yang melarang adanya syarat penjaminan modal; pendapat yang membolehkannya ini tidak melanggar ketentuan syariah (dalam mudharabah) yang disepakati, juga tidak menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dilarang seperti riba, judi, atau jual-beli gharar, serta tidak mendatangkan kesulitan yang nyata (mafsadah rajihah). Tidak diragukan bahwa (pendapat yang membolehkan syarat menjamin modal) ini merupakan pendapat yang lebih baik dan lebih utama dari pada pendapat yang bersifat ketat (tasyaddud) melarangnya, kemudian mencari-cari celah untuk (membolehkan) pengelola agar menjamin modal dengan berbagai cara hilah … Allah Maha Mengetahui.”
(Dr. Nazih Hammad, Fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mashrafiyah al-Mu’ashirah: Qira`ah Jadidah. Damaskus: Dar al-Qalam. 2007, h. 284-285)
- Pendapat Syeikh Yusuf al-Syubaili:
فَاِذَا احْتَاجَتْ مُؤَسَّسَةٌ لِلسُّيُوْلَةِ فَإِنَّهَا تَبِيْعُ أَوْراَقاً كَصُكُوْكٍ إِسْلَامِيَّةٍ أَوْ أَسْهُمٍ بِثَمَنٍ نَقْدِيٍّ، وَتَنْقُلُ مِلْكِيَّتَهاَ تَامَّةً، بِمَا لَهَا ومَا عَلَيْهَا مِنْ حُقوْقٍ، بِمَا فِى ذلِكَ قَبْضُ الاَرْبَاحِ وَحُضُوْرُ الْجَمْعِيَّاتِ العُمُوْمِيَّةِ فِى الاَسْهُمِ وَالتَّصْوِيْتُ والْمُشَارَكَةُ فِى زِيَادَةِ رَأسِ الْمَالِ، وَتَعْدِيْلُ عَقْدِ التَّأسِيْسِ وَالنِّظَامِ الأَسَاسِيِّ لِلشِّرْكَةِ مُصْدِرَةِ الأَسْهُمِ، وَكَافَّةُ التَّصَرُّفَاتِ القَانُوْنِيَّةِ النَّاشِئَةِ عَنْ مِلْكِيَّةِ هَذِهِ الاَوْرَاقِ. وَيَقْتَرِنُ عَقْدُ البَيْعِ بِوَعْدٍ مِنْ قِبَلِ الْمُشْتَرِيْ بِبَيْعِ هَذِهِ الاَوْرَاقِ لِلْمَالِكِ الاَوَّلِ البَائِعِ خِلَالَ فَتْرَةٍ مُحَدَّدَةٍ.
“Jika lembaga keuangan perlu likuiditas, maka lembaga tersebut dapat menjual surat berharga seperti sukuk atau saham secara tunai. Dengan jual beli ini, maka kepemilikan surat berharga tersebut berpindah (ke tangan pembeli) secara penuh berikut berbagai akibat hukumnya, seperti mendapatkan keuntungan, menanggung risiko kerugian, hak menghadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), hak suara, hak dalam penambahan modal, pengubahan akta (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) perusahaan penerbit saham, serta seluruh hak dan perbuatan hukum lain yang melekat pada surat berharga tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. Transaksi jual ini disertai dengan janji dari pembeli untuk menjual kembali surat berharga tersebut kepada penjual pertama selama periode tertentu.”
(Dr. Yusuf bin Abdullah asy-Syubaili’, Adawat Idarat al-Makhathir al-Suyulah wa Bada’il Ittifaqiyati I`adati al-Syira’ fi al-Mu`assasati al-Maliyah al-Islamiyah, h.15)
- Substansi Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh; Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 105/DSN-MUI/X/2016 tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar; dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 94/DSN-MUI/IV/2014 tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS) Berdasarkan Prinsip Syariah.
- Surat dari Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia kepada DSN-MUI No. 18/162/DEKS/Srt/B tanggal 08 Desember 2016 Perihal Permohonan Pernyataan Kesesuaian Syariah; dan No. 19/4/DEKS/Srt/B tanggal 10 Januari 2017 Perihal Permohonan Fatwa PLJPS;
- Pembahasan dalam Focus Group Discussion antara Bank Indonesia dengan BPH DSN-MUI pada tanggal 6-7 Desember 2016 di Jakarta; 4-6 Januari 2017 di Bogor; dan 31 Januari 2017 di Jakarta;
- Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Jum'at, tanggal 17 Februari 2017 di Jakarta;