Fatwa DSN MUI

Pembiayaan yang Disertai Rahn (al-Tamwil al-Mautsuq bi al-Rahn)

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 92/DSN-MUI/IV/2014
Tentang
Pembiayaan yang Disertai Rahn (al-Tamwil al-Mautsuq bi al-Rahn)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa fatwa-fatwa DSN-MUI terkait rahn dipandang belum mengakomodasi pengembangan  usaha berbasis rahn;
  2. bahwa Lembaga Keuangan Syariah memerlukan fatwa terkait pengembangan usaha berbasis rahn;
  3. bahwa atas dasar pertimbangan huruf a dan huruf b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang pembiayaan yang disertai rahn (al-tamwil al-mautsuq bi al-rahn)  untuk dijadikan pedoman;
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. Al-Baqarah [2]: 283:

      وَإِن كُنتُمْ عَلَىٰ سَفَرٍۢ وَلَمْ تَجِدُوا۟ كَاتِبًۭا فَرِهَٰنٌۭ مَّقْبُوضَةٌۭ ۖ …

      "Dan apabila kalian dalam perjalanan sedang kalian tidak memperoleh seorang juru tulis maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang ..."

    2. QS. al-Ma`idah [5]: 1:

      يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ …

      "Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu ..."

    3. QS al-Isra` [17] : 34:

      ... وَأَوْفُوا۟ بِٱلْعَهْدِ ۖ إِنَّ ٱلْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔولًۭا

      "… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggungjawaban."

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari dan Muslim dari 'Aisyah RA, ia berkata:

      أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ .

      "Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan berutang dari seorang Yahudi, dan Nabi menggadaikan sebuah baju besi kepadanya."

    2. Hadis Nabi riwayat al-Syafi'i, al-Daraquthni dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

      لاَ يَغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ .

      "Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya."

    3. Hadis Nabi riwayat Jama'ah, kecuali Muslim dan al-Nasa`i, Nabi SAW bersabda:

      الظَّهْرُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُوْنًا، وَعَلَى الَّذِيْ يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَة .

      "Tunggangan (kendaraan) yang digadaikan boleh dinaiki dengan menanggung biayanya dan binatang ternak yang digadaikan dapat diperah susunya dengan menanggung biayanya. Orang yang menggunakan kendaraan dan memerah susu tersebut wajib menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan."

  3. Ijma': Para ulama sepakat membolehkan akad Rahn (al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 1985, V: 181).
  4. Kaidah fikih:

    الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan :
  1. Pendapat Ulama tentang Rahn, antara lain:
    1. Pendapat Ibnu Qudamah:

      وَأَمَّا الإِجْمَاعُ فَأَجْمَعَ اْلمُسْلِمُوْنَ عَلىَ جَوَازِ الرَّهْنِ فِي اْلجُمْلَةِ (المغني لابن قدامة، ج 4 ، ص 367)

      "Mengenai dalil ijma' umat Islam sepakat (ijma') bahwa secara garis besar akad rahn (gadai/penjaminan utang) diperbolehkan."

    2. Pendapat al-Khathib al-Syirbini:

      لِلرَّاهِنِ كُلُّ انْتِفَاعٍ بِالرَّهْنِ لاَ يَتَرَتَّبُ عَلَيْهِ نَقْصُ اْلمَرْهُوْنِ (مغني المحتاج للشِّرْبِينيّ ، ج 2 ص 131)

      "Pemberi gadai boleh memanfaatkan barang gadai secara penuh dengan syarat tidak mengakibatkan berkurangnya (nilai) barang gadai tersebut."

    3. Pendapat mayoritas ulama:

      وَالْجُمْهُوْرُ عَلَى أَنْ لَيْسَ لِلْمُرْتَهِنِ أَنْ يَنْتَفِعَ بِشَيٍءِ مِنَ الرَّهْنِ (بداية المجتهد ونهاية المقتصد لابن رشد الحفيد، ج 2 ص 223)

      "Mayoritas ulama (selain Ahmad, pen) berpendapat bahwa penerima gadai tidak boleh memanfaatkan barang gadai sama sekali."

  2. Ketentuan al-Ma'ayir al-Syar'iyyah No: 39 (2-3-3):

    لاَ يَجُوْزُ اشْتِرَاطُ الرَّهْنِ فِيْ عُقُوْدِ الأَمَانَةِ كَالْوَكَالَةِ وَالْإِيْدَاعِ وَالْمُشَارَكَةِ وَالْمُضَارَبَةِ وَالْعَيْنِ لَدَي الْمُسْتَأْجِرِ. فَإِنْ كَانَ لِلْإِسْتِيْفَاءِ مِنْهُ فِيْ حَالَاتِ التَّعَدِّي أَوِ التَّقْصِيْرِ أَوْ الْمُخَالَفَةِ لِلشُّرُوْطِ جَازَ .

    "Tidak boleh mensyaratkan adanya jaminan dalam bentuk barang (akad al-rahn) terhadap akad yang bersifat amanat, antara lain akad wakalah, akad wadi'ah, akad musyarakah, akad mudharabah, dan obyek ijarah di tangan musta`jir.
    Apabila rahn dimaksudkan untuk dijadikan sumber pembayaran (hak Pemberi Amanah) ketika Pemegang Amanah melampaui batas, lalai dan/atau menyalahi syarat-syarat, maka akad rahn diperbolehkan."

  3. Fatwa-fatwa DSN-MUI:
    1. Fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn;
    2. Fatwa DSN-MUI Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily;
    3. Fatwa DSN-MUI Nomor: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang  Ganti Rugi (Ta'widh);
  4. Surat dari Pegadaian Syariah Nomor: 240/S-001202/2013 tentang Fatwa Rahn untuk Pengembangan Produk Pegadaian Syariah tertanggal 10 Oktober 2013;
  5. Hasil pembahasan Focus Group Discussion (FGD) antara Tim Pegadaian Syariah dan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) di Hotel Acacia Jakarta tanggal 07-08 Pebruari 2014;
  6. Pendapat Peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia pada hari Rabu, tanggal 02 April 2014.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN YANG DISERTAI RAHN (AL-TAMWIL AL-MAUTSUQ BI AL-RAHN)
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Akad Rahn adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn; fatwa DSN-MUI Nomor: 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas; dan fatwa DSN-MUI Nomor: 68/DSN-MUI/III/2008 tentang Rahn Tasjily;
  2. Akad Jual-beli (al-bai') adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah; fatwa DSN-MUI Nomor: 05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Salam; dan fatwa DSN-MUI Nomor: 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual-Beli Istishna';
  3. Akad Qardh adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang al-Qardh;
  4. Akad Ijarah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
  5. Akad Musyarakah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah;
  6. Akad Mudharabah adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh);
  7. Ta'widh adalah sebagaimana dalam fatwa DSN-MUI Nomor: 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang  Ganti Rugi (Ta'widh);
  8. Akad amanah adalah akad-akad yang tidak melahirkan kewajiban untuk bertanggungjawab terhadap harta pihak lain ketika harta tersebut rusak, hilang, atau berkurang (kualitas dan kuantitasnya);
Kedua : Ketentuan Hukum

Semua bentuk pembiayaan/penyaluran dana Lembaga Keuangan Syariah (LKS) boleh dijamin dengan agunan (Rahn)  sesuai ketentuan dalam fatwa ini.

Ketiga : Ketentuan terkait Barang Jaminan (Marhun)
  1. Barang jaminan(marhun) harus berupa harta (mal) berharga baik benda bergerak maupun tidak bergerak yang boleh dan dapat diperjual-belikan, termasuk aset keuangan berupa sukuk, efek syariah atau surat berharga syariah lainnya;
  2. Dalam hal barang jaminan (marhun) merupakan musya' (bagian dari kepemilikan bersama/part of undivided ownership), maka musya' yang digadaikan harus sesuai dengan porsi kepemilikannya;
  3. Barang jaminan(marhun) boleh diasuransikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau kesepakatan.
Keempat : Ketentuan terkait Utang (Marhun bih/Dain)
  1. Utang boleh dalam bentuk uang dan/atau barang;
  2. Utang harus bersifat mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan (fatwa DSN-MUI Nomor: 11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah (Ketentuan Kedua, 4.c)
  3. Utang harus jelas jumlah (kuantitas) dan/atau kualitasnya serta jangka waktunya;
  4. Utang tidak boleh bertambah karena perpanjangan jangka waktu pembayaran;
  5. Apabila jangka waktu pembayaran utang/pengembalian modal diperpanjang, Lembaga Keuangan Syariah boleh:
    1. mengenakan ta'widh dan ta'zir dalam hal Rahin melanggar perjanjian atau terlambat menunaikan kewajibannya;
    2. mengenakan pembebanan biaya riildalam hal jangka waktu pembayaran utang diperpanjang.
Kelima : Ketentuan terkait Akad
  1. Pada prinsipnya, akad rahn dibolehkan hanya atas utang-piutang (al-dain) yang antara lain timbul karena akad qardh, jual-beli (al-bai') yang tidak tunai, atau akad sewa-menyewa (ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai; 
  2. Pada prinsipnya dalam akad amanah tidak dibolehkan adanya barang jaminan (marhun); namun agar pemegang amanah tidak melakukan penyimpangan perilaku (moral hazard), Lembaga Keuangan Syariah boleh meminta barang jaminan (marhun) dari pemegang amanah (al-Amin, antara lain syarik, mudharib, dan musta`jir) atau pihak ketiga.
  3. Barang jaminan (marhun) dalam akad amanah hanya dapat dieksekusi apabila pemegang amanah (al-Amin, antara lain syarik, mudharib, dan musta`jir) melakukan perbuatan moral hazard, yaitu:
    1. Ta`addi (Ifrath), yaitu melakukan sesuatu yang tidak boleh/tidak semestinya dilakukan;
    2. Taqshir (tafrith), yaitu tidak melakukan sesuatu yang  boleh/semestinya dilakukan; atau
    3. Mukhalafat al-syuruth, yaitu  melanggar ketentuan-ketentuan (yang tidak bertentangan dengan syariah) yang disepakati pihak-pihak yang berakad;
Keenam : Ketentuan terkait Pendapatan Murtahin
  1. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad jual-beli (al-bai’) yang pembayarannya tidak tunai, maka pendapatan Murtahin hanya berasal dari keuntungan (al-ribh) jual-beli;
  2. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena akad sewa-menyewa (ijarah) yang pembayaran ujrahnya tidak tunai, maka  pendapatan Murtahin hanya berasal dari ujrah;
  3. Dalam hal rahn (dain/marhun bih) terjadi karena peminjaman uang (akad qardh), maka  pendapatan Murtahin hanya berasal dari mu’nah (jasa pemeliharaan/penjagaan) atas marhun  yang besarnya harus ditetapkan pada saat akad sebagaimana ujrah dalam akad ijarah;
  4. Dalam hal rahn dilakukan pada akad amanah, maka pendapatan/penghasilan Murtahin (Syarik/Shahibul Mal) hanya berasal dari bagi hasil atas usaha yang dilakukan oleh Pemegang Amanah (Syarik-Pengelola/Mudharib).
Ketujuh : Ketentuan terkait Penyelesaian Akad Rahn
  1. Akad Rahn berakhir apabila Rahin melunasi utangnya atau menyelesaikan kewajibannya dan Murtahin mengembalikan Marhun kepada Rahin;
  2. Dalam hal Rahin tidak melunasi utangnya atau tidak menyelesaikan kewajibannya pada waktu yang telah disepakati, maka Murtahin wajib mengingatkan/memberitahukan tentang kewajibannya; 
  3. Setelah dilakukan pemberitahuan/peringatan, dengan memperhatikan asas keadilan dan kemanfaatan pihak-pihak, Murtahinboleh melakukan hal-hal berikut:
    1. Menjual paksa barang jaminan (marhun) sebagaimana diatur dalam substansi  fatwa DSN-MUI Nomor:  25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (ketentuan ketiga angka 5); atau
    2. Meminta Rahin agar menyerahkan marhun untuk melunasi utangnya sesuai kesepakatan dalam akad, di mana  penentuan harganya mengacu/berpatokan pada harga pasar yang berlaku pada saat itu. Dalam hal terdapat selisih antara harga (tsaman) jual marhun dengan utang (dain) atau modal (ra’sul mal), berlaku substansi  fatwa DSN-MUI Nomor:  25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn (ketentuan ketiga angka 5).
Kedelapan : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Kesembilan : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Jumadil Tsani 1435 H

02 April 2014 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
Prof. Dr. H.M. Din Syamsuddin, MA.
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/