Mengingat |
: |
- Firman Allah SWT:
- QS. al-Ma`idah [5]: 1:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَوْفُوا۟ بِٱلْعُقُودِ ۚ …
"Hai orang yang beriman. Penuhilah akad-akad itu ..."
- QS. al-Isra` [17]: 34:
... وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلًا ...
"... Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya ..."
- Hadis Rasulullah SAW tentang larangan bai’ al-‘inah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّيْنَارِ وَالدِّرْهَمِ، وَتَبَايَعُوْا بِالْعِيْنَةِ، وَاتَّبَعُوْا أَذْنَابَ البَقَرِ، وَتَرَكُوْا الْجِهَادَ فِيْ سَبِيْلِ اللهِ، أَنْزَلَ اللهُ بِهِمْ بَلَاءً، فَلَا يَرْفَعُهُ حَتَّى يُرَاجِعُوْا دِيْنَهُمْ.
"Dari Ibnu Umar RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Apabila manusia kikir dengan dinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah, mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad fi sabilillah, maka Allah SWT akan menurunkan musibah kepada mereka dan tidak akan mengangkatnya kembali kecuali mereka kembali (komitmen) kepada agama mereka." (Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Ibnu Umar (Musnad Imam Ahmad, Kitab ; al Muktsirin min ash Shahabah, Bab ; Musnad Abdullah ibnu Umar al Khaththab RA, No. 4593. Hadis ini shahih dan perawinya tsiqah (Nashb ar Rayah 4/24)
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ رضي الله تعالى عنه أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ، إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ. (سبل السلام للصنعاني 2/84)
Dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzanni, bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram." (H.R. At-Tirmidzi dan beliau menilainya shahih)
عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. رواه مسلم.
Dari ‘Ubadah bin al-Shamit RA. Dia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya'ir dengan sya'ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai." (H.R. Muslim)
عَنْ ابْنِ عُمَرَ ، قَالَ: كُنْتُ أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ، وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ، آخُذُ هَذِهِ مِنْ هَذِهِ وَأُعْطِي هَذِهِ مِنْ هَذِهِ فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ فِي بَيْتِ حَفْصَةَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، رُوَيْدَكَ أَسْأَلُكَ إِنِّي أَبِيعُ الْإِبِلَ بِالْبَقِيعِ فَأَبِيعُ بِالدَّنَانِيرِ وَآخُذُ الدَّرَاهِمَ ، وَأَبِيعُ بِالدَّرَاهِمِ وَآخُذُ الدَّنَانِيرَ ، آخُذُ هَذِهِ مِنْ هَذِهِ وَأُعْطِي هَذِهِ مِنْ هَذِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «لَا بَأْسَ أَنْ تَأْخُذَهَا بِسِعْرِ يَوْمِهَا مَا لَمْ تَفْتَرِقَا وَبَيْنَكُمَا شَيْءٌ» (رواه أبو داود)
Dari Ibn Umar RA: "Dulu aku menjual unta di Baqi’. Aku menjualnya dengan dinar dan menerima pembayarannya dengan dirham. Aku (juga) menjualnya dengan dirham dan menerima (pembayarannya) dengan dinar. Aku mengambil ini untuk itu, dan memberi itu untuk ini (maksudnya: dinar dan dirham). Lalu aku mendatangi Rasulullah SAW. Saat itu beliau sedang di rumah Hafshah. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah. Sebentar, aku ingin bertanya kepadamu, aku menjual unta di Baqi’. Aku menjualnya dengan dinar dan menerima (pembayarannya) dengan dirham. Aku (juga) menjualnya dengan dinar dan menerima (pembayarannya) dengan dinar. Aku mengambil ini untuk itu, dan memberi itu untuk ini." Rasulullah SAW menjawab, "Tidak ada masalah jika kamu menerimanya dengan harga di hari itu dan kalian berdua tidak berpisah sementara masih ada sesuatu (yang belum dibayar)." (H.R. Abu Dawud)
- Ijma’ ulama tentang larangan bai’ al-dain bi al-dain:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّ بَيْعَ الدَّيْنِ بِالدَّيْنِ لَا يَجُوْزُ
"Para ulama telah konsensus bahwa bai’ ad-dain bi ad-dain itu tidak dibolehkan." (Ibnu al-Mundzir an-Naisaburi, al-Ijma’, Maktabah al-Shafa, 1999, Kairo, hal. 73).
- Kaidah fikih:
الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَّدُلَّ دَلِيلٌ عَلَى تَحْرِيمِهَا
"Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya." (Yusuf al-Qardhawi, al-Qawa’id al-Hakimah li Fiqh al-Muamalat, Kairo, Dar al-Syuruq, 2010, hlm. 15)
|
Memperhatikan |
: |
- Penjelasan para fuqaha mengenai keharaman bai’ al-‘inah:
- Pendapat madzhab Hanafi. Di antaranya penjelasan al-Marghinani:
يَقُوْلُ الْمَرْغِيْنَانِيّ مِنَ الْحَنَفِيَّة : وَمَنْ اشْتَرَى جَارِيَةً بِأَلفِ دِرْهَمٍ حَالَّةً أَوْ نَسِيْئَةً فَقَبَضَهَا ثُمَّ بَاعَهَا مِنَ البَائِعِ بِخَمْسِ مِائَةٍ قَبْلَ أَنْ يُّنَقَّدَ الثَّمَنُ الأَوَّلُ لَا يَجُوْزُ البَيْعُ
"Al-Marghinani dari madzhab Hanafi berkata: "Siapa yang membeli seorang budak perempuan seharga 1000 dirham, baik tunai ataupun tidak tunai; setelah menerimanya (qabdh), kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual (pertama) seharga 500 sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai, maka akad jual beli (yang kedua) tidak boleh." (al-Marghinani, Fath al Qadir, 5/207)
- Penjelasan Madzhab Maliki. Di antaranya penjelasan al-Dardiri:
يَقُوْلُ الدَّرْدِيْرِيّ مِنَ الْمَالِكِيَّة : وَهُوَ بَيْعٌ ظَاهِرُهُ الجَوَازُ لَكِنَّهُ يُؤَدِّى إِلَى مَمْنُوْعٍ فَيُمْنَعُ وَلَوْ لَمْ يَقْصُدْ فِيْهِ إِلَى التَّوَصُّلِ إِلَى الْمَمْنُوْعِ سَدًّا لِلذَّرِيْعَةِ الَّتِيْ هِيَ مِنْ قَوَاعِدِ المذْهَبِ، وَالْحَاصِلُ أَنَّ مَا أَدَّى إِلَى الوَاجِبِ وَاجِبٌ وَمَاأَدَّى إِلَى الحَرَامِ حَرَامٌ، فَيُمْنَعُ مِنَ الْبُيُوْعِ مَا أَدَّى لِمَمْنُوْعٍ يَكْثُرُ قَصْدُهُ لِلْمُتَبَايِعَيْنِ وَلَوْ لَمْ يَقْصُدْ بِالْفِعْلِ، كَبَيْعٍ أَدَّى إِلَى سَلَفٍ بِمَنْفَعَةٍ كَبَيْعِهِ سِلْعَةً بِعَشْرَةٍ لِأَجَلٍ ثُمَّ يَشْتَرِيْهَا بِخَمْسَةٍ نَقْدًا، فَقَدْ أَدَّى الأَمْرُ إِلَى رُجُوْعِ السِّلْعَةِ وَقَدْ دَفَعَ قَلِيْلاً عَادَ إلَيْهِ كَثِيْرًا.
"Al-Dardiri dari madzhab Maliki berkata, "(Bai’ al-‘Inah) itu zahirnya boleh, tetapi menyebabkan kepada hal yang dilarang, maka jual beli ini dilarang, walaupun pelaku akad tidak bertujuan untuk melakukan hal terlarang, sesuai dengan prinsip sadd adz-dzari’ah yang merupakan salah satu kaidah madzhab (Maliki). Kesimpulannya, setiap hal yang menyebabkan kepada yang wajib, adalah wajib, dan sebaliknya, setiap hal yang menyebabkan kepada yang haram adalah haram. (Karena itu) bentuk-bentuk jual beli yang menyebabkan kepada praktik terlarang yang pada umumnya menjadi tujuan dua pihak yang berakad --walaupun kenyataannya tidak dimaksudkan demikian—adalah dilarang. Seperti jual beli yang mengakibatkan pinjaman berbunga (manfaat), contohnya, seseorang menjual barang seharga 10 dengan tidak tunai, kemudian ia membelinya kembali seharga 5 secara tunai; transaksi ini menyebabkan barang kembali kepada pemilik pertama, dan ia telah membayar (mengeluarkan) uang dalam jumlah sedikit, namun ia memperoleh kembali uang dalam jumlah yang lebih besar." (Abu al-Abbas Muhammad ash-Shawi, asy Syarh ash-Shagir ma’a Hasyiyati ash-Shawi, 3/116)
- Penjelasan Madzhab Hanbali. Di antaranya penjelasan al-Khiraqi:
يَقُوْلُ الْخِرَقِيّ مِنَ الْحَنَابِلَة : وَمَنْ بَاعَ سِلْعَةً بِنَسِيْئَةٍ لَمْ يَجُزْ لَهُ أَنْ يَّشْتَرِيَهَا بِأَقَلَّ مِمَّا بَاعَاهَا بِهِ.
"Al-Khiraqi dari madzhab Hanbali berkata, "Siapa yang menjual komoditi secara tidak tunai, maka ia tidak boleh membelinya kembali (dari pembeli pertama) dengan harga lebih kecil dari harga jual." (Ibnu Quddamah, al-Mughni, 4/259)
- Fatwa-fatwa kontemporer yang menegaskan bahwa pengalihan utang pembiayaan dengan akad murabahah itu termasuk bai’ al-‘inah. Di antaranya:
- Standar syariah AAOIFI:
يَجِبُ عَلَى الْمُؤَسَّسَةِ أَنْ تَتَأَكَّدَ أَنَّ الَّذِيْ يَبِيْعُ إِلَيْهَا السِّلْعَةَ طَرْفٌ ثَالِثٌ غَيْرُ الْعَمِيْلِ أَوْ وَكِيْلِهِ، فَلَا يَصِحُّ مَثَلاً أَنْ يَّكُوْنَ الْعَمِيْلُ الآمِرُ بِالشِّرَاءِ هُوَ نَفْسُهُ أَوْ وَكِيْلُهُ الْمَالِكَ الأَصْلِيَّ لِلسِّلْعَةِ أَوْ أَنْ تَكُوْنَ الْجِهَةُ الْبَائِعَةُ لِلسِّلْعَةِ مَمْلُوْكَةً لِلْعَمِيْلِ، فَإِنْ وَقَعَ مِثْلُ ذَلِكَ الْبَيْعِ ثُمَّ تَبَيَّنَ الْأَمْرُ كَانَتِ الْعَمَلِيَّةُ بَاطِلَةً.
"Lembaga keuangan syariah harus memastikan bahwa pihak yang menjual barang kepadanya adalah pihak ketiga; bukan nasabah atau wakilnya. Oleh karena itu, jika nasabah atau wakilnya adalah pemilik barang tersebut atau entitas penjual barang tersebut itu dimiliki nasabah, maka transaksinya batal (tidak sah)." (Hai`ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah al-Islamiyah, al-Ma’ayir al-Syar’iyyah, AAOIFI, Bahrain, tahun 2010, hal. 92)
- Fatwa Dallah Baraka:
لَا يَجُوْزُ لِلْبَنْكِ شِرَاءُ السِّلْعَةِ مِنْ الْوَاعِدِ بِالشِّرَاءِ نَفْسِهِ - ثُمَّ فِيْ نَفْسِ الْوَقْتِ - بَيْعُهَا إِلَيْهِ مُرَابَحَةً بِالْأَجَلِ بِثَمَنٍ أَكْبَرَ، لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ بُيُوْعِ الْعِيْنَةِ الْمُحَرَّمَةِ شَرْعًا.
"Bank tidak boleh membeli barang dari nasabah calon pembeli, dengan kesepakatan bahwa bank akan menjualnya kembali kepada nasabah tersebut dengan akad murabahah secara tidak tunai dan dengan harga lebih tinggi, karena praktik ini termasuk bai’ al-‘inah yang diharamkan oleh syara’." (DR ‘Izzudin Muhammad Khaujah, editor : Dr. Abdu Sattar Abu Gudah, al-Dalil al-Syar’i li al-Murabahah, Majmu’ah Dallah al-Barakah – al-Amanah al-‘Ammah – li al-Hai`ah al-Syar’iyah al-Muwahhadah, cet. I, tahun 1998, hal 18)
- Fatwa-fatwa kontemporer yang menegaskan bahwa pengalihan utang pembiayaan dengan akad hawalah bil ujrahdibolehkan. Di antaranya:
إِطَّلَعَتِ الْهَيْئَةُ عَلىَ اسْتِفْسَارِ الشَّرِكَةِ الإِسْلَامِيَّةِ لِلتَّأْمِيْنِ بِشَأْنِ مَشْرُوْعِيَّةِ نَقْلِ الْمُرَابَحَةِ مِنْ عَمِيْلٍ إِلَى آخَر بِرَصِيْدِهَا الْمُتَبَقِّى، وَرَأَتِ الْهَيْئَةُ أَنْ ذَلِكَ مِنْ قَبِيْلِ حِوَالَةِ الدَّيْنِ وَلَا تُسَمَّى نَقْلًا لِلْمُرَابَحَةِ لِأَنَّ الْمُرَابَحَةَ تَمَّتْ بَيْنَ الشِّرْكَةِ وَالْعَمِيْلِ الْأَوَّلِ وَانْتَهَتْ، وَلَا يُمْكِنُ نَقلُ الْعَقْدِ، وَإِنَّمَا يُمْكِنُ نَقْلُ الْإِلْتِزَامِ النَّاشِئِ عَنِ الْمُرَابَحَةِ بِوَاسِطَةِ عَقْدِ الْحِوَالَةِ.
"Dewan pengawas syariah telah menelaah pertanyaan yang diajukan oleh perusahaan asuransi syariah tentang hukum mengalihkan akad murabahah dari satu nasabah ke pihak lain dengan sisa cicilannya. Menurut Dewan pengawas syariah, pengalihan tersebut termasuk hawalah dan bukan termasuk pengalihan murabahah, karena akad murabahah antara perusahaan dengan nasabah yang pertama sudah berakhir, dan akadnya tidak bisa dialihkan, tetapi yang mungkin adalah mengalihkan kewajiban (iltizam) yang ditimbulkan akad murabahah dengan akad hawalah." (DR ‘Izzudin Muhammad Khaujah, editor : Dr. Abdu Sattar Abu Gudah, al-Dalil al-Syar’i li al-Murabahah, Majmu’ah Dallah al-Barakah –al-Amanah al-‘Ammah– li al-Hai`ah al-Syar’iyah al-Muwahhadah, cet. I, tahun 1998, hal. 18)
- Fatwa-fatwa kontemporer tentang larangan jual beli piutang dengan harga berbentuk uang tanpa taqabudh dan tamatsul. Di antaranya:
- Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI
لَا يَجُوْزُ بَيْعُ الدَّيْنِ الْمُؤَجَّلِ مِنْ غَيْرِ الْمَدِيْنِ بِنَقْدٍ مُعَجَّلٍ مِنْ جِنْسِهِ أَوْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ لِإْفَضَائِهِ إِلَى الرِّبَا، كَمَا لَا يَجُوْزُ بَيْعُهُ بِنَقْدٍ مُؤَجَّلٍ مِنْ جِنْسِهِ أَوْ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ لِأَنَّهُ مِنْ بَيْعِ الْكَالِئِ بِالْكَالِئِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ شَرْعًا، وَلَا فَرْقَ فِيْ ذَلِكَ بَيْنَ كَوْنِ الدَّيْنِ نَاشِئًا عَنْ قَرْضٍ أَوْ بَيْعٍ آجِلٍ.
"Tidak boleh menjual piutang yang belum jatuh tempo kepada selain debitur dengan uang yang dibayar tunai, baik mata uang sejenis atau berbeda jenis, karena menyebabkan terjadinya riba. Begitu pula tidak boleh menjual piutang dengan uang yang dibayar tidak tunai, baik dengan mata uang sejenis atau berbeda jenis, karena termasuk bai’ al-kali` bi al-kali` yang diharamkan menurut syariah. Larangan tersebut berlaku pada piutang yang timbul dari akad qardh atau jual beli tangguh (tidak tunai)." (Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI no. 101 [11/4] tentang bai' al-dain)
- Keputusan Nadwah al-Baraka :
وَمِنَ الصُّوَرِ الْمَمْنُوْعَةِ عِنْدَ جُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ وَمِنْهُمُ الشَّافِعِيَّةُ بَيْعُ الدَّيْنِ لِغَيْرِ الْمَدِيْنِ بِنَقْدٍ يَدْفَعُهُ الْمُشْتَرِى أَقَلَّ مِنْ قِيْمَةِ الدَّيْنِ لِأَنَّ ذَلِكَ مِنْ الرِّبَا لِوُقُوْعِ الْمُبَادَلَةِ بَيْنَ النَّقْدَيْنِ من جِنْسٍ وَاحِدٍ دُوْنَ مُرَاعَاةِ التَّمَاثُلِ وَالتَّقَابُضِ وَلَا فَرْقَ فِيْ هَذِهِ الصُّوْرَةِ الْمَمْنُوْعَةِ بَيْنَ أَنْ تَكُوْنَ الْمَدْيُوْنِيَّةُ نَاشِئَةً عَنْ قَرْضٍ أَوْ بَيْعٍ آجِلٍ.
"Di antara bentuk-bentuk (transaksi, pen.) yang dilarang adalah menjual piutang kepada selain debitur dengan harga (pembayaran) berupa uang yang dibayar tunai dan lebih kecil dari pokok utang. Transaksi ini merupakan salah satu bentuk riba karena terjadi pertukaran dua mata uang sejenis (transaksi sharf) yang tidak memenuhi unsur tamatsul (saling sama) dan taqabudh (saling tunai). Bentuk transaksi yang dilarang ini berlaku pada piutang yang ditimbulkan dari akad qardh ataupun jual beli tidak tunai." (Qararat wa Taushiyat Nadawat al-Barakah’, Al-Amanah al-‘Ammah li al-Hai`at al-Syar’iyyah, Majmu’ah Dallah al-Barakah, Jeddah, cet. VII, Tahun 2006)
- Standar syariah AAOIFI tentang kebolehan tawarruq jika ada hajah syar’iyah.
التَّوَرُّقُ لَيْسَ صِيْغَةً مِنْ صِيَغِ الإِسْتِثْمَارِ أَوِ التَّمْوِيْلِ، وَإِنَّمَا أُجِيْزَ لِلْحَاجَةِ بِشُرُوْطِهَا، وَلَا يَجُوْزُ عَلَى الْمُؤَسَّسَاتِ أَنْ تُقْدِمَ عَلَى التَّوَرُّقِ لِتَوْفِيْرِ السُّيُوْلَةِ لِعَمَلِيَّتِهَا بَدَلاً مِنْ بَذْلِ الْجُهْدِ لِتَلَقِّى الأَمْوَالِ عَنْ طُرُقِ الْمُضَارَبَةِ أَوِ الْوَكَالَةِ بِاْلإِسْتِثْمَارِ أَوْ إِصْدَارِ الصُّكُوْكِ الإِسْتِثْمَارِيَّةِ أَوْ الصَّنَادِيْقِ الْإِسْتِثْمَارِيَّةِ وَغَيْرِهَا. وَيَنْبَغِى حَصْرُ اسْتِخْدَامَاتِهَا لَهُ لِتَفَادِى العَجْزِ أَوِ النَّقْصِ فِيْ السُّيُوْلَةِ لِتَلْبِيَةِ الْحَاجَةِ وَتَجَنُّبِ خَسَارَةِ عُمَلَائِهَا وَتَعَثُّرِ عَمَلِيَّاتِهَا. تُجَنِّبُ الْمُؤَسَّسَاتُ التَّوْكِيْلَ عِنْدَ بَيْعِ السِّلْعَةِ مَحَلِّ التَّوَرُّقِ وَلَوْ كَانَ التَّوْكِيْلُ لِغَيْرِ مَنْ بَاعَ إِلَيْهَا السِّلْعَةَ وَالْقِيَامِ بِذَلِكَ مِنْ خِلَالِ أَجْهِزَتِهَا الذَّاتِيَةِ وَلَا مَانِعَ مِنَ الإِسْتِفَادَةِ مِنَ خَدَمَاتِ السَّمَاسِرَةِ.
"Tawarruq bukan merupakan produk investasi atau pembiayaan. Tawarruq hanya dibolehkan jika ada hajat (kebutuhan). LKS tidak boleh memanfaatkan tawarruq untuk memenuhi keperluan dana (likuiditas) sebagai alternatif dari upaya penghimpunan dana melalui produk mudharabah, wakalah bil istitsmar, penerbitan shukuk, dan lain-lain. LKS hanya boleh menggunakan tawarruq jika ada hajat (kebutuhan) yaitu menutupi kekurangan likuiditas dan meminimalisir risiko likuiditas lembaga-lembaga keuangan syariah. Jika LKS menggunakan tawarruq, maka LKS tidak boleh mewakilkan kepada pihak lain untuk menjual barang tersebut, tetapi harus menjual langsung, walaupun dengan memanfaatkan pialang/mediator." (Hai`ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah al-Islamiyah, al-Ma’ayir al-Syar’iyyah, AAOIFI, Bahrain, tahun 2010, hal. 413)
- Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI tentang kebolehan jual beli piutang dengan harga berbentuk barang.
مِنْ صُوَرِ بَيْعِ الدَّيْنِ الْجَائِزَةِ : بَيْعُ الدَّيْنِ بِسِلْعَةٍ مُعَيَّنَةٍ .
"Diantara bentuk-bentuk bai’ al-dain yang dibolehkan adalah menjual piutang dengan komoditas tertentu." (Keputusan Lembaga Fikih Islam OKI no. 158 [17/7] tentang bai’ al-dain)
- Surat-surat dan fatwa-fatwa terkait, yaitu:
- Surat Bank BNI Syariah Nomor BNIsy/DIR/766, tanggal 19 November 2012;
- Surat Bank CIMB Niaga Syariah Nomor 114/UUS/IX/2012, tanggal 04 Oktober 2012;
- Rekomendasi Ijtima' Sanawi (Annual Meeting) Dewan Pengawas Syariah VIII, Tahun 2012 tanggal 02 - 05 Desember 2012;
- Pembahasan Working Group Perbankan Syariah (WGPS) tentang Pengalihan Piutang Pembiayaan Antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Bandung tanggal 07 - 09 Februari 2013;
- Pembahasan Working Group Perbankan Syariah (WGPS) bersama Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) tentang Pengalihan Piutang Pembiayaan Antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Anyer Banten tanggal 20 - 22 Juni 2013;
- Pembahasan final dan rekomendasi WGPS tentang Pengalihan Piutang Pembiayaan Antar Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Bandung tanggal 27 - 29 September 2013;
- Fatwa DSN-MUI No: 58/DSN-MUI/V/2007 tentang Hawalah bil Ujrah;
- Fatwa DSN-MUI No: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik;
- Fatwa DSN-MUl No: 73/DSN-MUI/XI/2008 tentang Musyarakah Mutanaqisah;
- Fatwa DSN-MUl No: 40/DSN-MUI/X/2003 tentang Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah Di Bidang Pasar Modal;
- Fatwa DSN-MUl No: DSN 80/DSN-MUI/III/2011 tentang Penerapan Prinsip Syariah dalam Mekanisme Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek;
- Fatwa DSN-MUl No: 20/DSN-MUI/IV/2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi Untuk Reksa Dana Syari'ah;
- Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Rabu, tanggal 04 Desember 2013.
|