Mengingat |
: |
- Firman Allah SWT, antara lain:
- QS. al-Ma'idah [5]: 1:
يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ ...
"Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"
- QS. al-Qashash [28]: 26:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.
"Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.""
- QS. al-Kahfi [18]: 77:
قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْراً.
Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."
- QS. al-Baqarah [2]: 275:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
"Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."
- QS. al-Nisa' [4]: 29:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
"Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."
- Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, antara lain:
- Hadis Qudsi riwayat Imam al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah dari Abu Hurairah (teks al-Bukhari), Nabi bersabda:
قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيامة: رَجُلٌ أَعْطَى بِى (أي حَلَفَ بِاسْمِى) ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ ولَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ (رواه البخاري)
"Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Ada tiga kelompok yang Aku memusuhi mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu ia meminta pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan ia tidak membayarkan upahnya."
- Hadis Riwayat Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:
أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.
"Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."
- Hadis riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
"Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."
- Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni dari Sa`d Ibn Abi Waqqash (teks Abu Dawud), ia berkata:
كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
"Dulu kami menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."
- Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."
- Ijma' ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
- Kaidah Fikih:
الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ الدَلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
"Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."
|
Memperhatikan |
: |
- Pendapat para ulama; antara lain:
- Al-Syairazi, al-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah h. 394:
يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ ... وَلأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأَعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.
"Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."
- Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII /7:
فَهِيَ (الإِجَارَةُ) بَيْعُ الْمَنَافِعِ، وَالْمَنَافِعُ بِمَنْزِلَةِ اْلأَعْيَانِ.
"Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."
- Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, XV/308; al-Syirbini, Mughni al-Muhtaj, II/332; al-Dimyathi, I'anah al-Thalibin, III/108:
... وَأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَيْهَا [الإِجَارَةِ] دَاعِيَةٌ؛ فَلَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مَرْكُوْبٌ وَمَسْكَنٌ وَخَادِمٌ فَجُوِّزَتْ لَذلِكَ كَمَا جُوِّزَتْ بَيْعُ اْلأَعْيَانِ.
"… Kebutuhan orang mendorong adanya akad ijarah (sewa menyewa), sebab tidak setiap orang memiliki kendaraan, tempat tinggal dan pelayan (pekerja). Oleh karena itu, ijarah dibolehkan sebagaimana dibolehkan juga menjual benda."
- Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII, 113:
وَالْعَيْنُ الْمُسْتَأْجَرَةُ أَمَانَةٌ فِيْ يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ، إِنْ تَلِفَتْ بِغَيْرِ تَفْرِيْطٍ لَمْ يَضْمَنْهَا.
"Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti)."
- Pendapat para ulama tentang kebijakan pemerintah; antara lain:
يَجُوْزُ لِلإِمَامِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ أَمْوَالِ الدَّوْلَةِ فِيْمَا يَرَى فِيْهِ الْمَصْلَحَةَ لَهُمْ؛ وَمِنْ هذِهِ الْمَصَالِحِ بَيْعُهُ لِبَعْضِ أَمْلاَكِ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِيْنَ لِتَوْفِيْرِ الْلأَمْوَالِ الْكَافِيَةِ لِلإِنْفَاقِ عَلَى مَصَالِحِهِمْ وَحَاجَاتِهِمِ الْعَامَّةِ، ِلأَنَّ فِعْلَ اْلإِمَامِ إِذَا كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى الْمَصْلَحَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِاْلأُمُوْرِ الْعَامَّةِ لَمْ يَنْفُذْ شَرْعًا إِلاَّ إِذَا وَافَقَهَا، فَإِنْ خَالَفَهَا لَمْ يَنْفُذْ.
"Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnnya mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut adalah menjual sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hukum Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah maka kebijakan tersebut tidak sah." lihat Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha'ir, tahqiq: 'Abd al-'Aziz Muhammad al-Wakil, [al-Qahirah: Mu'assasah al-Halabi, 1968], h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, al-Madkhal ila al-Maliyah al-'Ammah al-Islamiyah, [Yordan: Dar al-Nafa'is, 2005], h. 201-202).
يَجُوْزُ لِلسُّلْطَانِ بَيْعُ أَرَاضِيْ بَيْتِ الْمَال ِ... لأَنَّ لِلإِمَامِ وِلاَيَةً عَامَّةً، وَلَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ،
"Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah baitul mal… karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan umum; dan ia boleh melakukan kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam." (lihat Ibn 'Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar, [Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003], jilid 6, h. 298).
- Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional MUI pada hari Kamis, 22 Jumadil Akhir 1429 H / 26 Juni 2008.
|