Fatwa DSN MUI

Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 102/DSN-MUI/X/2016
Tentang
Akad Al-Ijarah Al-Maushufah fi Al-Dzimmah untuk Produk Pembiayaan Pemilikan Rumah (PPR)-Indent

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa sekarang ini di masyarakat telah banyak dipraktikan sewa inden, yang mekanismenya menggunakan pola pemesanan manfaat barang dan/atau jasa berdasarkan spesifikasi yang disepakati;
  2. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut, Lembaga Keuangan Syariah (LKS) memerlukan panduan syariah mengenai pola pemesanan manfaat barang dan/atau jasa berdasarkan spesifikasi yang disepakati untuk produk pembiayaan pemilikan rumah (PPR) inden;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-ijarah al-maushufah fi al-dzimmah untuk pengembangan produk PPR inden agar dijadikan pedoman;
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. al-Ma`idah (5): 1:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا أَوفوا بِالعُقودِ ...

      “Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ...”

    2. QS. al-Baqarah (2): 233:

      ... وَإِن أَرَدتُم أَن تَستَرضِعوا أَولٰدَكُم فَلا جُناحَ عَلَيكُم إِذا سَلَّمتُم ما ءاتَيتُم بِالمَعروفِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعلَموا أَنَّ اللَّهَ بِما تَعمَلونَ بَصيرٌ.

      “… Dan jika kalian ingin anak-anak kalian disusukan oleh orang lain, tidak dosa bagi kalian apabila kalian memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan.”

    3. QS. al-Qashash (28): 26:

      قالَت إِحدىٰهُما يٰأَبَتِ استَـٔجِرهُ إِنَّ خَيرَ مَنِ استَـٔجَرتَ القَوِىُّ الأَمينُ

      “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, ‘Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.”

    4. QS. al-Baqarah (2): 282:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا إِذا تَدايَنتُم بِدَينٍ إِلىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكتُبوهُ ...

      “Hai orang yang beriman, jika kamu bermuamalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis ...”

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis riwayat Ibn Majah:

      عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أعْطُوا الْأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.

      Diriwayatkan dari Ibnu Umar RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering.”

    2. Hadis riwayat ‘Abd al-Razzaq:

      وَعَنْ أبي سَعِيْد رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُسَمِّ أُجْرَتَهُ.

      Dari Abi Sa‘id RA, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”

    3. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah::

      عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنِّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ.

      Dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya jual beli itu hanya sah apabila dilakukan atas dasar suka sama suka.”

    4. Hadis Nabi riwayat al-Bukhari:

      عَنْ ابن عباس رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ فَفِيْ كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ.

      Dari Ibnu Abbas RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang diketahui.”

    5. Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah:

      عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ.

      Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah.”

    6. Hadis Nabi riwayat Nasa`i, Abu Dawud, Ibu Majah, dan Ahmad:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.

      “Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya.”

    7. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah:

      عَنْ عَمرو بن عَوف الْمُزَنِي رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      Dari Amr bin Auf al-Muzani bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

  3. Kaidah fikih:

    الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

  4. Pendapat ulama terkait akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah:
    1. Ulama Malikiyyah sebagaimana terdapat dalam kitab Hasyiyah al-Dusuqi 'ala al-Syarh al-Kabir (12/336), kitab Syarh Muntaha al-Iradat (2/252), kitab Asna al-Mathalib (2), dan kitab Bidayah al-Mujtahid (2/182) karya Ibn Rusyd, berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wajib dibayar di awal pada saat akad (majelis akad); agar terhindar dari  jual-beli piutang dengan piutang.
    2. Ulama Syafi'iyyah sebagaimana dijelaskan dalam kitab Syarh Muntaha al-Iradat (2/360) dan kitab Tuhfat al-Muhtaj Syarh al-Minhaj (6), berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wajib dibayar di awal pada saat akad (majelis akad) sebagaimana wajibnya membayar harga (tsaman) dalam akad jual-beli salam.
    3. Ulama Hanabilah sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Kafi fi Fiqh Ibn Hanbal (2/169) karya Ibn Qudamah, memiliki dua pendapat terkait waktu pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah, yaitu:
      1. Ujrah boleh dibayar  di akhir akad (tidak mesti dibayar di awal dalam majelis akad); sebagaimana dibolehkan mengakhirkan pembayaran ujrah dalam akad ijarah atas barang atas dasar kesepakatan; dan
      2. Ujrah harus dibayar di muka dalam majelis akad; sebagaimana harusnya membayar harga (tsaman) di awal dalam akad jual-beli salam.
    4. Badr al-Hasan al-Qasimi dalam al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah menjelaskan sebagai berikut:

      أَمَّا الْإِجَارَةُ الْمَوْصُوْفَةُ فِي الذِّمَّةِ فَهِيَ تَكُوْنُ مُضَافَةً إِلَى الْمُسْتَقْبَلِ وَهِيَ تَجُوْزُ إِذَا كَانَ الْوَصْفُ مُنْضَبِطًا فَيَتِمُّ تَسْلِيْمُ الْعَيْنِ الْمَوْصُوْفَةِ خِلَالَ مَوْعِدِ سَرَيَانِ الْعَقْدِ.

      ”Adapun al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah bersifat ke depan (forward ijarah), boleh dilakukan dengan syarat kriteria obyeknya dapat digambarkan secara terukur dan diserahkan pada waktu tertentu sesuai kesepakatan saat akad.”

    5. Ahmad Muhammad Mahmud Nashar dalam Fiqh al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wa Tathbiqatuha fi al-Muntajat al-Maliyyah al-Islamiyyah li Tamwil al-Khadamat (2009), menjelaskan sebagai berikut:

      اخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ فِيْ مَشْرُوْعِيَّةِ الْإجَارَةِ الْمَوْصُوْفَةِ فِيْ الذِمَّةِ فَذَهَبَ الْحَنَفِيَةُ إِلَى مَنْعِ إِجَارَةِ الْمَنَافِعِ الْأَعْيَانِ الْمَوْصُوْفَةِ فِيْ الذِمَّةِ وَاشْتَرَطُوْا أَنْ تَكُوْنَ الْعَيْنُ الْمُؤْجَرَةُ مُعَيَّنَةً؛ وَذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ وَالشَافِعِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى جَوَازِ إِجَارَةِ الْعَيْنِ الْمَوْصُوْفَةِ فِيْ الذِمَّةِ وَعَدُّوْهَا مِنْ بَابِ السَّلَمِ فِيْ الْمَنَافِعِ.

      “Ahli fikih berbeda pendapat tentang status hukum al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah; pertama, ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa akad ijarah atas manfaat barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah adalah akad yang dilarang (baca: tidak sah); mereka berpendapat bahwa bahwa barang sewa (mahall al-manfa’ah) harus sudah ditentukan pada saat akad atau perjanjian dilakukan; dan kedua, jumhur ulama dari kalangan Malikiyyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah membolehkan akad ijarah atas barang yang termasuk maushufah fi al-dzimmah; mereka menganggap akad ijarah maushufah fi al-dzimmah ini bagian dari bentuk akad jual-beli salam atas manfaat.”

    6. Al-Ma'ayir al-Syar'iyyah Nomor 9 tentang parameter (dhawabith) al-Ijarah wa al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik, yaitu dalam kitab tersebut ditetapkan hal-hal berikut:

      يَجُوْزُ أَنْ تَقَعَ الْإِجَارَةُ عَلَى مَوْصُوْفٍ فِي الذَّمَّةِ وَصْفًا مُنْضَبِطًا وَلَوْ لَمْ يَكُنْ مَمْلُوْكًا لِلْمُؤْجِرِ (الْإِجَارَةُ الْمَوْصُوْفَةُ فِيْ الذِمَّةِ) حَيْثُ يَتَّفِقُ عَلَى تَسْلِيْمِ الْعَيْنِ الْمَوْصُوْفَةِ فِيْ مَوْعِدِ سَرَيَانِ الْعَقْدِ، وَيُرَاعَى فِيْ ذَلِكَ إِمْكَانُ تَمَلُّكِ الْمُؤْجِرِ لَهَا أَوْ صَنْعِهَا، وَلَايُشْتَرَطُ فِيْهَا تَعْجِيْلُ الْأُجْرَةِ مَالَمْ تَكُنْ بِلَفْظِ السَلَمِ أَوْ السَلَفِ. وَإِذَا سَلَّمَ الْمُؤْجِرُ غَيْرَ مَا تَمَّ وَصْفُهُ فَلِلْمُسْتَأْجِرِ رَفْضُهُ وَطَلَبُ مَا تَتَحَقَّقُ فِيْهِ الْمُوَاصَفَاتُ.

      “Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh dilakukan dengan syarat kriteria barang sewa dapat terukur meskipun obyek tersebut belum menjadi milik pemberi sewa (pada saat ijab-qabul dilakukan); waktu penyerahan barang sewa disepakati pada saat akad, barang sewa tersebut harus diyakini dapat menjadi milik pemberi sewa baik dengan cara memperolehnya dari pihak lain maupun membuatnya sendiri; tidak disyaratkan pembayan ujrah didahulukan (dilakukan pada saat akad) selama ijab-qabul yang dilakukan tidak menggunakan kata salam atau salaf; apabila barang sewa diterima penyewa tidak sesuai dengan kriteria yang disepakati, pihak penyewa berhak menolak dan meminta gantinya yang sesuai dengan kriteria yang disepakati pada saat akad.”

  5. Pendapat ulama kontemporer terkait waktu pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah, adalah:
    1. Muhammad Sa'id al-Buthi dalam "al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah" yang disampaikan dalam Muktamar Keuangan dan Perbankan  Syariah tahun 2007 di Bahrain, berpendapat bahwa ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah wajib dibayar di awal pada majelis akad sebagaimana dalam akad jual-beli salam.
    2. 'Abd al-Sattar Abu Ghuddah berpendapat bahwa pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh tidak tunai meskipun dalam perjanjiannya menggunakan  kata jual-beli salam.
    3. \Nazih Hammad berpendapat bahwa pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah boleh tidak tunai apabila menggunakan kata ijarah, bukan kata salam.
    4. Ali al-Qaradaghi dalam "al-Ijarah 'ala Manafi' al-Asykhash" yang disampaikan pada acara Majelis Fatwa Eropa tahun 2008 di Paris (Perancis), membolehkan ujrah tidak dibayar tunai pada saat akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah apabila perjanjiannya menggunakan kata ijarah; dan ujrah wajib dibayar tunai apabila menggunakan kata salam..
  6. Dewan Akuntansi dan Standar Keuangan Islam (AAOIFI [Accounting and Auditing Organization of Islamic Financial Institution]) yang berpusat di Bahrain, menetapkan standar nomor 9 paragraf (3/5), tentang bolehnya mengakhirkan pembayaran ujrah dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmahjika tidak menggunakan kata salam atau salaf;
  7. Majma' al-Fiqh al-Islami pada ketentuan nomor 72 (3/8), menetapkan boleh diminta uang panjar (uang muka) sebagai tanda jadi dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah;
  8. Dalam kitab al-Fiqh 'ala al-Madzahib al-Arba'ah (2/220) karya 'Abd al-Rahman al-Jaziri, dijelaskan tentang bolehnya adanya jaminan (al-rahn) dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah;
  9. Dalam kitab al-Siraj al Wahhaj 'ala Matn al-Minhaj (1/294) karya al-Ghamarawi dijelaskan bahwa ujrah harus dinyatakan dengan jelas (ma'lum) kuantitas atau kualitasnya pada saat dilaksanakan akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah;
  10. Dalam kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiyah (2/206), dijelaskan tentang bolehnya ujrah dalam bentuk uang (al-nuqud) maupun selain uang;
Memperhatikan :
  1. Hasil pembahasan Working Group Perbankan Syariah (WGPS) bersama Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO) tanggal 07-09 Februari 2013, tanggal 05 Juni 2013, tanggal 20-22 Juni 2013, tanggal 30 Agustus 2013, tanggal 27-29 September 2013, dan tanggal 31 Oktober - 2 November 2013;
  2. Rekomendasi Ijtima' Sanawi (Annual Meeting) Dewan Pengawas Syariah pada tanggal 16-18 Desember 2015 di Bandung;
  3. Hasil Rapat Kerja DSN-MUI pada tanggal 11-13 Pebruari 2016 di Bogor;
  4. Hasil Working Group Perbankan Syariah (WGPS) bersama Asosiasi Bank Syariah Indonesia (ASBISINDO), Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), dan Mahkamah Agung pada tanggal 23 Agustus 2016;
  5. Pembahasan Working Group Perbankan Syariah (WGPS) tentang  Subrogasi Berdasarkan Prinsip Syariah tanggal 24 September 2016 di Yogyakarta;
  6. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Sabtu, tanggal   01 Oktober 2016 di Bogor;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD AL-IJARAH AL-MAUSHUFAH FI AL-DZIMMAH UNTUK PRODUK PEMBIAYAAN PEMILIKAN RUMAH (PPR)-INDEN.
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran sewa (ujrah).
  2. Al-Ijarah al-Muntahiyyah bi al-Tamlik adalah akad sewa-menyewa barang yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas barang yang disewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa.
  3. Al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah adalah akad sewa-menyewa atas manfaat suatu barang  (manfaat 'ain) dan/atau jasa ('amal) yang pada saat akad hanya disebutkan sifat-sifat dan spesifikasinya (kuantitas dan kualitas).
  4. Al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah PPR Inden adalah produk PPR Inden yang menggunakan akad Al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dalam MMQ atau IMBT.
Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dalam rangka kepemilikan rumah yang menggunakan akad Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) atau al-Ijarah al-Muntahiyah bi al-Tamlik (IMBT) boleh dilakukan dengan mengikuti ketentuan dalam fatwa ini.
  2. Akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah  sebagaimana angka 1 berlaku secara efektif dan menimbulkan akibat hukum, baik berupa akibat hukum khusus (tujuan akad) maupun akibat hukum umum, yaitu lahirnya hak dan kewajiban, sejak akad dilangsungkan.
Ketiga : Ketentuan terkait Manfaat Barang (Manfaat 'Ain)
  1. Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diketahui spesifikasinya (ma'lum) supaya terhindar dari perselisihan dan sengketa (al-niza');
  2. Manfaat harus berupa manfaat yang dapat diserah-terimakan baik secara hakiki maupun secara hukum;
  3. Jangka waktu penggunaan manfaat (masa ijarah) harus disepakati pada saat akad;
  4. Manfaat harus berupa manfaat yang boleh berdasarkan syariah; dan
  5. Manfaat yang diharapkan adalah manfaat yang dimaksud dalam akad yang dapat dicapai melalui akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah.
Keempat : Ketentuan terkait Barang Sewa Inden (PPR-Inden)
  1. Kriteria barang sewa yang dideskripsikan harus terukur spesifikasinya;
  2. Barang sewa yang dideskripsikan boleh belum menjadi milik pemberi sewa pada saat akad dilakukan;
  3. Ketersediaan barang sewa wajib diketahui dengan jelas serta sebagian barang sewa sudah wujud  pada saat akad dilakukan;
  4. Wujud barang sewa yang dimaksud pada angka 3, harus jelas, siap dibangun, milik pemberi sewa atau pengembang yang bekerjasama dengan pemberi sewa, dan bebas sengketa;
  5. Pemberi sewa harus memiliki kemampuan yang cukup untuk mewujudkan barang sewa;
  6. Para pihak harus meyakini bahwa  barang sewa dapat diwujudkan  pada waktu yang disepakati;
  7. Para pihak harus sepakat terkait waktu serah-terima barang sewa; dan
  8. Apabila pemberi sewa menyerahkan barang sewa namun tidak sesuai dengan spesifikasi yang disepakati atau gagal serah pada waktu yang disepakati, maka penyewa berhak:
    1. Melanjutkan akad dengan atau tanpa meminta kompensasi dari pemberi sewa, atau
    2. Membatalkan akad dengan meminta pengembalian dana sesuai dengan jumlah yang telah diserahkan.
Kelima : Ketentuan terkait Ujrah
  1. Ujrah boleh dalam bentuk uang  dan selain uang;
  2. Jumlah ujrah dan mekanisme perubahannya harus ditentukan berdasarkan kesepakatan;
  3. Ujrah boleh dibayar secara tunai, tangguh, atau bertahap (angsur) sesuai perjanjian sejak akad dilakukan; dan
  4. Ujrah yang dibayar oleh penyewa setelah akad, diakui sebagai milik pemberi sewa.
Keenam : Ketentuan terkait Uang Muka dan Jaminan
  1. Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya uang muka (uang kesungguhan [hamisy jiddiyah]) yang diserahkan oleh penyewa kepada pemberi sewa.
  2. Uang muka dapat dijadikan ganti rugi (al-ta'widh) oleh pemberi sewa karena proses upaya untuk mewujudkan barang sewa (apabila penyewa melakukan pembatalan sewa), dan menjadi pembayaran sewa (ujrah)  apabila akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dilaksanakan sesuai kesepakatan.
  3. Apabila jumlah uang muka lebih besar dari jumlah kerugian maka uang muka tersebut harus dikembalikan kepada penyewa.
  4. Dalam akad al-Ijarah al-Maushufah fi al-Dzimmah dibolehkan adanya jaminan (al-rahn) dari pemberi sewa baik secara hakiki (qabdh haqiqi)maupun secara hukum  (qabdh hukmi).
Ketujuh : Penyelesaian Perselisihan

Penyelesaian sengketa di antara para pihak dapat dilakukan melalui musyawarah mufakat. Apabila musyawarah mufakat tidak tercapai, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kedelapan : Penutup
  1. ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dan akan diubah serta disempurnakan sebagaimana mestinya jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan.
  2. Fatwa dan keputusan DSN-MUI sebelumnya yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam fatwa ini dinyatakan tidak berlaku.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 29 Dzulhijjah 1437 H

01 Oktober 2016 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
DR. KH. Ma'ruf Amin
Sekretaris
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/