Fatwa DSN MUI

Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 85/DSN-MUI/XII/2012
Tentang
Janji (Wa’d) dalam Transaksi Keuangan dan Bisnis Syariah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa janji (wa'd) sering digunakan dalam transaksi keuangan dan bisnis yang bersifat tunggal, pararel dan/atau dalam transaksi yang multi akad (al-'uqud al-murakkabah);
  2. bahwa fuqaha berbeda pendapat (ikhtilaf) tentang hukum menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd) sehingga kurang menjamin kepastian hukum;
  3. bahwa industri keuangan syariah dan masyarakat memerlukan kejelasan hukum syariah untuk menjamin kepastian hukum sebagai landasan operasional mengenai hukum menunaikan janji (al-wafa’ bi-al-wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, dan c, Dewan Syariah Nasional - Mejelis Ulama Indonesia, memandang perlu menetapkan fatwa tentang janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

      يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

      "Hai orang yang beriman! Tunaikanlah akad-akad itu …"

    2. QS. al-Isra' [17] : 34:

      ... وَأَوْفُوْا بِالعَهْدِ إِنَّ العَهْدَ كَانَ مَسئُوْلاً ...

      "… Dan tunaikanlah janji-janji itu, sesungguhnya janji itu akan dimintai pertanggung jawaban …"

    3. QS. al-Baqarah [2]: 275:

      ... وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ...

      "… dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba ..."

    4. QS. al-Baqarah [2]: 278:

      يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

      "Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba jika kamu orang yang beriman."

    5. QS. al-Nisa' [4] : 29:

      يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ...

      "Hai orang yang beriman!Janganlah kalian memakan (mengambil) harta orang lain secara batil, kecuali jika berupa perdagangan yang dilandasi atas sukarela di antara kalian ..."

    6. QS. al-Baqarah [2]: 283:

      ... فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِى اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ، وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ ...

      "… Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya …"

    7. QS. al-Nisa' [4]: 58:

      إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا اْلأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ ...

      "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkan hukum dengan adil …"

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan riwayat Imam Malik dari Yahya:

      أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (أخرجه ابن ماجه عن عبادة بن الصامت في سننه, الكتاب: الأحكام، الباب : من بنى في حقه مايضر بجاره، رقم الحديث : 2331، ورواه أحمد عن ابن عباس، ومالك عن يحي)

      "Rasulullah s.a.w. menetapkan: tidak boleh membahaya-kan/merugikan orang lain dan tidak boleh (pula) membalas bahaya (kerugian yang ditimbulkan oleh orang lain) dengan bahaya (perbuatan yang merugikannya)." (HR. Ibnu Majah dari Ubadah bin Shamit dalam Sunan-nya, kitab: Ahkam, bab: man bana bi haqqihi ma yadhurru bi jarihi, No: 2331; HR. Ahmad dari Ibnu Abbas, dan HR Malik dari Yahya)

    2. Hadis riwayat Imam Tirmidzi dalam Sunan Tirmidzi, kitab: Ahkam, bab: ma dzukira 'an Rasulillah, No: 1272:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

      "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    3. Hadits Riwayat Imam Bukhari:

      عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال: آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ وَإَذَا وَعَدَ أَخْلَفَ (صحيح البخاري، بيروت: دار ابن كثير، 1987، ج: 3، ص: 1010)

      "Dari Abi Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda, "Ciri-ciri munafik ada tiga: 1. jika berbicara, ia bohong; 2. jika dipercaya, ia khianat, dan 3. Jika berjanji, ia ingkar."" (Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987, juz III, hlm. 1010)

    4. Hadits Riwayat Imam Thabrani:

      عن عبد الله بن مسعود أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: اَلْعِدَةُ دَيْنٌ (المعجم الأوسط، أبو القاسم سليمان ابن أحمد الطبراني، قاهرة: دار الحرمين، 1415 هـ، جز 4، ص. 23)

      "Dari Abdullah Ibnu Mas'ud sesungguhnya Nabi SAW bersabda, "Janji adalah utang."" (al-Mu'jam al-Ausath, Abu al-Qasim Sulaiman Ibn Ahmad al-Thabrani, Kairo: Dar al-Haramain. 1415 H., juz IV, hlm. 23)

  3. Kaidah fikih, antara lain:
    1. الأَصْلُ فِي اْلأشْيَاءِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى التَّحْرِيْمِ. (الأشباه والنظائر في قواعد وفروع فقه الشافعية، لجلال الدين عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت: دار الكتاب العربي. 1987، ص. 133)

      "Pada dasarnya, segala sesuatu (bentuk mu'amalat) boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya." (al-Asybah wa al-Nazha'ir fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'iyyah, Jalal al-Din Abd al-Rahman Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi. 1987, hlm. 133)

    2. أَيْنَمَا وُجِدَتِ الْمَصْلَحَةُ فَثَمَّ حُكْمُ اللهِ

      "Di mana terdapat kemaslahatan, di sana terdapat hukum Allah."

    3. اَلْمَوَاعِيْدُ بِصُوَرِ التَّعَالِيْقِ تَكُوْنُ لاَزِمَةً (درر الحكام شرح مجلة الأحكام، بيروت: دار الكتب العلمية، 1991، ج. 1، ص. 77، المادة 83)؛ شرح القواعد الفقهية، للشيخ أحمد بن الشيخ محمد الزرقاء، دمشق: دار القلم، 1989، ص. 425) ؛ موسوعة القواعد الفقهية لعطية عدلان عطية رمضان، الاسكندرية: دار الإيمان، 2007، ص. 101)

      "Janji dengan bentuk bersyarat bersifat mengikat" (Durar al-Hukkam Syarh Majallat al-Ahkam, Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah. 1991, juz I, hlm. 77, pasal 83; Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Syekh Ahmad Ibnu Syekh Muhammad al-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam. 1989. hlm. 425; dan Mausu'ah al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 'Athiyah Adlan 'Athiyah Ramdhan, Iskandariyah: Dar al-Iman. 2007, hlm. 101)

    4. اَلْمُعَلَّقُ بِالشَّرْطِ يَجِبُ ثُبُوْتُهُ عِنْدَ ثُبُوْتِ الشَّرْطِ (شرح القواعد الفقهية، للشيخ أحمد بن الشيخ محمد الزرقا، دمشق: دار القلم، 1989، ص. 419)

      "(Janji) yang dikaitkan dengan syarat, wajib dipenuhi apabila syaratnya telah terpenuhi." (Syarh al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, Syekh Ahmad Ibnu Syekh Muhammad al-Zarqa, Damaskus: Dar al-Qalam. 1989. hlm. 419)

    5. تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى رَعِيَّةٍ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ (الأشباه والنظائر على مذهب أبي حنيفة النعمان لزين العابدين بن ابراهيم بن نجيم، القاهرة: مؤسسة الحلبي وشركاه، 1968، ص. 123)، (الأشباه والنظائر فى قواعد وفروع فقه الشافعية لجلال الدين عبد الرحمن بن أبي بكر السيوطي، بيروت: دار الكتاب العربي، 1987، ص. 233)

      "Kebijakan pemimpin terhadap rakyat harus mempertimbangkan mashlahat." (al-Asybah wa al-Nazha'ir 'ala Madzhab Abi Hanifah al-Nu'man, Zain al-Abidin Ibnu Ibrahim Ibn Nujaim, Kairo: Mu'assasah al-Halabi wa Syirkah. 1968, hlm. 123; dan al-Asybah wa al-Nazha'ir fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Syafi'iyyah, Jalal al-Din 'Abd al-Rahman Ibnu Abi Bakr al-Suyuthi, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi. 1987, hlm. 233)

Memperhatikan :
  1. Pendapat Ulama yang menetapkan bahwa menunaikan janji tidak wajib secara hukum, yaitu pendapat Imam Muhammad al-Sarakhsi (ulama Hanafiah), Ibn Abidin (ulama Hanafiah), Syekh 'Ilyas, Ibn Rusyd (ulama Malikiah), Imam Abu Hanifah, Imam al-Syafi'i, Ibn 'Allan (ulama Syafiiah), Ibn Hajar (ulama Syafi’iah), Imam al-Buhuti;
  2. Pendapat Ulama yang menetapkan bahwa menunaikan janji adalah wajib secara hukum, yaitu pendapat Imam Sa’id Ibn Umar, Samurah Ibn Jundub, Ibn Syubrumah Hanabilah), dan Imam Ibn Hazm (ulama Zhahiriah), Ibn al-Syath al-Maliki (Qasim Ibn Abd Allah), Muhammad Abd Allah Ibn al-'Arabi, Imam Ishaq Ibn Rahawaih, Imam Muhammad al-Ghazali, dan Imam Abu Bakr al-Razi al-Jash-shash;
  3. Pendapat Ulama Maliki yang menetapkan bahwa hukum menunaikan janji adalah wajib secara hukum apabila janji dikaitkan dengan sesuatu hal (syarat) dan pihak yang diberi janji telah mulai melakukan hal yang dipersyaratkan tersebut;
  4. Kesimpulan dan Rekomendasi Working Group Perbankan Syariah (Bank Indonesia/BI, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia/DSN-MUI, dan Ikatan Akuntan Indonesia/IAI), tanggal 20 Desember 2012;
  5. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia pada hari Jumat, tanggal 21 Desember 2012.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : JANJI (WA'D) DALAM TRANSAKSI KEUANGAN DAN BISNIS SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
  1. Janji (wa'd) adalah pernyataan kehendak dari seseorang atau satu pihak untuk melakukan sesuatu yang baik (atau tidak melakukan sesuatu yang buruk) kepada pihak lain (mau’ud) di masa yang akan datang;
  2. Wa’id adalah orang atau pihak yang menyatakan janji (berjanji);
  3. Mau’ud adalah pihak yang diberi janji oleh wa’id;
  4. Mau’ud bih adalah sesuatu yang dijanjikan oleh wa’id (isi wa’d); dan
  5. Mulzim adalah mengikat; dalam arti bahwa wa’id wajib menunaikan janjinya (melaksanakan mau’ud bih), serta boleh dipaksa oleh mau’ud dan/atau pihak otoritas untuk menunaikan janjinya.
Kedua : Ketentuan Hukum
Janji (wa'd) dalam transaksi keuangan dan bisnis syariah adalah mulzim dan wajib dipenuhi (ditunaikan) oleh wa'id dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Khusus terkait Pihak yang Berjanji (Wa'id)
        1. Wa'id harus cakap hukum (ahliyyat al-wujub wa al-ada');
        2. Dalam hal janji dilakukan oleh pihak yang belum cakap hukum, maka efektivitas/keberlakukan janji tersebut bergantung pada izin wali/pengampunya; dan
        3. Wa'id harus memiliki kemampuan dan kewenangan untuk mewujudkan mau'ud bih.
Keempat : Ketentuan Khusus terkait Pelaksanaan Wa'd
  1. Wa'd harus dinyatakan secara tertulis dalam akta/kontrak perjanjian;
  2. Wa’d harus dikaitkan dengan sesuatu (syarat) yang harus dipenuhi atau dilaksanakan mau’ud (wa’d bersyarat);
  3. Mau’ud bih tidak bertentangan dengan syariah;
  4. Syarat sebagaimana dimaksud angka 2 tidak bertentangan dengan syariah; dan
  5. Mau’ud sudah memenuhi atau melaksanakan syarat sebagaimana dimaksud angka 2.
Kelima : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keenam : Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 07 Shafar 1434 H

21 Desember 2012 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/