Fatwa DSN MUI

Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 109/DSN-MUI/II/2017
Tentang
Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan upaya pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan oleh Bank Indonesia sebagai lender of the last resort (al-muqridhal-akhir) sebagaimana diamanahkan oleh undang-undang;
  2. bahwa dalam rangka memitigasi risiko atas kesulitan likuiditas Bank Syariah diperlukan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip syariah;
  3. bahwa dhawabith (ketentuan) dan hudud (batasan) terkait Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan Prinsip Syariah belum diatur dalam fatwa DSN-MUI;
  4. bahwa atas dasar pertimbangan pada huruf a, huruf b, dan huruf c, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan Prinsip Syariah untuk dijadikan pedoman;
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. al-Ma`idah (5): 1:

      يٰأَيُّهَا الَّذينَ ءامَنوا أَوفوا بِالعُقودِ ...

      "Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu ..."

    2. QS. al-Isra` (17): 34:

      وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً …

      "... Dan penuhilah janji, karena janji itu pasti diminta pertanggungjawabannya."

    3. QS. an-Nisa` (4): 29:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِّنْكُمْ وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.

      “Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu.”

    4. QS. al-Baqarah (2): 278:

      يَا أَيُّهَا َالَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَذَرُوْا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ.

      “Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut), jika kamu orang beriman.”

    5. QS. al-Nisa` (4): 58:

      إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّواْ الْأَمَنَاتِ اِلَى اَهْلِهَا وَإِذاَ حَكَمْتُمْ بَيْنَ النّاَسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ...

      “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah dengan adil …”

    6. QS. al-Hasyr (59): 18:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ.

      “Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dibuat untuk hari esok (masa depan). Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

    7. QS. Luqman (31): 34:

      إِنَّ اللهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِيْ نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوْتُ إِنَّ اللهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ.

      “Sesungguhnya Allah, hanya di sisi-Nya sajalah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.”

  2. Hadis Nabi SAW:
    1. Hadis riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidzi:

      أَدِّ اْلأمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.

      “Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu.”

    2. Hadis riwayat al-Tirmidzi:

      عَنْ عَمْرٍو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيِّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا. وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ، إلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا، أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      “Dari ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali sulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.”

    3. Hadis riwayat Ibnu Majah:

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسلَّمَ قَالَ: ثَلاَثٌ فِيهِنَّ الْبَرَكَةُ: الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقاَرَضَةُ وَخَلْطُ البُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.

      Sesungguhnya Nabi Muhammad saw. bersabda, “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli secara tidak tunai, muqaradhah, dan mencampur gandum halus dengan gandum kasar (jewawut) untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.”

    4. Hadis riwayat Thabarani:

      كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا وَلَا يَنْزِلَ بِهِ وَادِياً وَلَا يَشْتَرِي بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ وسَلَّمَ فَأَجَازَهُ.

      “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.”

    5. Hadis riwayat Muslim:

      مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ.

      “Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya.”

    6. Hadis riwayat al-Syafi’i, al-Daraquthni, dan Ibn Majah:

      لَا يُغْلَقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِيْ رَهَنَهُ، لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.

      “Tidak terlepas kepemilikan agunan dari pemilik yang mengagunkannya. Ia memperoleh manfaat dan menanggung risikonya.”

  3. Kaidah fikih:

    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلَاتِ الإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَّدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    “Pada dasarnya, segala bentuk muamalat itu boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

    تَصَرُّفُ الْإمَامِ عَلَى الرَّعِيَةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ.

    “Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat.”

    اَلْحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ.

    “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”

    الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الْإِمْكَانِ.

    “Segala madharat (bahaya, kerugian) harus dihindarkan sedapat mungkin."

    اَلضَّرَرُ يُزَالُ.

    “Segala madharat (bahaya, kerugian) harus dihilangkan.”

    دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.

    “Mencegah mafsadah (kerusakan) harus didahulukan dari mengambil kemaslahatan.”

    كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبَا.

    “Setiap utang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi yang berpiutang, muqridh) adalah riba.

    مَنْ شَرَطَ عَلَى نَفْسِهِ طَائِعًا غَيْرَ مُكْرَهٍ فَهُوَ عَلَيْهِ.

    “Siapa saja yang membebankan sesuatu kepada dirinya secara sukarela tanpa paksaan, maka sesuatu itu menjadi kewajibannya.”

    مَنِ الْتَزَمَ مَعْرُوْفًا لَزِمَهُ.

    “Siapa yang berkomitmen melaksanakan suatu kebaikan, maka ia wajib menunaikannya.”

Memperhatikan :
  1. Pendapat Imam Ahmad:

    عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ شَرْطِ ضَمَانِ مَا لَا يَجِبُ ضَمَانُهُ، هَلْ يُصَيِّرُهُ الشَّرْطُ مَضْمُوْنًا؟ فَقَالَ: اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ. وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى نَفْيِ الضَّمَانِ بِشَرْطِهِ وَوُجُوْبِهِ بِشَرْطِهِ، لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: اَلْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ.

    “Dari Ahmad, ia (Ahmad) ditanya tentang syarat menjamin sesuatu yang tidak wajib menjaminnya, apakah syarat tersebut menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib dijamin? Ahmad menjawab, ‘Umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.’ Jawaban ini menunjukkan bahwa tidak wajib menjamin karena ada syarat yang tidak mewajibkannya, dan wajib menjamin karena ada syarat yang mewajibkannya; karena Rasulullah Saw bersabda: ‘umat Islam terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat.’”

    (Ibn Qudamah, al-Mughni [8/115]).

  2. Pendapat Abu Yusuf:

    ذَهَبَ اَبُوْ يُوْسُفَ وَمُحَمَّدٌ بْنُ الْحَسَنِ إِلَى أَنَّ الْمُضَارِبَ يَضْمَنُ مَالَ الْمُضَارَبَةِ فِي حَال فَسَادِهَا وَلَوْ لَمْ يَتَعَدَّ عَلى الْمَالِ اَوْ يُفَرِّطْ فِيْهِ.

    “Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan berpendapat bahwa pengelola (mudharib) bertanggung jawab terhadap modal mudharabah apabila mudharabah tersebut fasid (rusak), meskipun ia tidak melakukan perbuatan yang melampaui batas atau melakukan kelalaian atas modal.”

    (Ahmad Hafizh Musa Musa, al-Dhaman fi `Uqud al-Amanat fi al-Fiqh al-Islami wa Tathbiqathuhu al-Mu`ashirah [Yordania: Universitas Yordania. 2005; h. 145; Ibn Abidin, Hasyiyah Ibn Abidin (8/316), dan al-Kasani, Bada`i al-Shana`i (6/108).

  3. Pendapat Imam al-Syaukani tentang mudharib dan pemegang amanah yang lain:

    وَلاَ يُضَمَّنُوْنَ إِلاَّ لِجِنَايَةٍ أَوْ تَفْرِيْطٍ، وَإِذَا ضَمِنُوْا ضُمِّنُوْا، لِأَنَّهُمْ قَدْ اخْتَارُوْا ذَالِكَ لِأَنْفُسِهِمْ وَالتَّرَاضِي هُوَ الْمَنَاطُ فِيْ تَحْلِيْلِ أَمْوَالِ اْلعِبَادِ.

    “Mereka (mudharib dan pemegang amanah yang lain) tidak boleh diminta bertanggung jawab untuk menanggung risiko kecuali (risiko itu terjadi) akibat pelanggaran atau kelalaian; (namun) jika mereka menanggung risiko (atas kemauan sendiri), mereka wajib menanggung risiko, hal itu karena mereka dengan suka rela telah memilih pilihan (menanggung risiko) tersebut. Dan kerelaan (untuk menanggung risiko) menjadi sebab menghalalkan harta hamba.”

    (As-Sail al-Jarrar al -Mutadaffiq ‘ala Hada'iq al-Azhar, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1405 H, 3/217)

  4. Ibnu Taimiyah menjelaskan:

    فَأَمَّا اشْتِرَاطُ عَوْدِ مِثْلِ رَأْسِ الْمَالِ (أَيْ فِي الْمُضَارَبَةِ) فَهُوَ مِثْلُ اشْتِرَاطِ عَوْدِ الشَّجَرِ وَالْأَرْضِ (أَيْ لِصَاحِبِهِمَا فِي الْمُزَارَعَةِ وَالْمُسَاقَاةِ).

    “Adapun mensyaratkan kembalinya modal (dalam akad mudharabah), maka hal itu sama dengan mensyaratkan kembalinya pohon dan tanah (kepada pemiliknya dalam akad muzara’ah dan musaqah)”

    (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, 30/105)

  5. Pendapat Nazih Hammad:

    لَقَدْ ظَهَرَ لِيْ بَعْدَ عَرْضِ خِلَافِ الْفُقَهَاءِ وَأَدِلَّتِهِمْ فِي مَسْأَلَةِ تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ رَأْسَ مَالِ الْمُضَارَبَةِ بِالشَّرْطِ (فِي حَالَاتِ التَّلَفِ وَالنُّقْصَانِ وَالْخَسَارَةِ وَغَيْرِهَا)، ثُمَّ مَنَاقَشَتِهَا بِمَوْضُوْعِيَّةٍ وَأَمَانَةٍ عِلْمِيَّةٍ، بَعِيْدَةٍ عَنِ التَّعَصُّبِ الْمَذْهَبِيِّ أَوِ اتِّبَاعِ الْهَوَاءِ، رَجْحَانُ الْقَوْلِ بِصِحَّةِ تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ ذَلِكَ بِالشَّرطِ، نَظَراً لِوُجُوْدِ كَثِيْرٍ مِنَ الْاِعْتِرَاضَاتِ الْوَجِيْهَةِ عَلَى أَدِلَّةِ الْمَانِعِيْنَ، وَاعْتِبَارًا لِقُوَّةِ حُجَجِ وَبَرَاهِيْنِ الْمُجِيْزِيْنَ، وَسَلَامَتِهَا مِنَ الْإِيْرَادَاتِ الْمَقْبُوْلَةِ عَلَيْهَا، حَيْثُ ثَبَتَ لَنَا أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ مَا يَمْنَعُ مِنْ جَوَازِ ذَلِكَ الْاِشْتِرَاطِ، وَأَنَّ الْقَوْلَ بِصِحَّتِهِ لَا يَقْتَضِي مُخَالَفَةً لِقَاعِدَةٍ مِنْ قَوَاعِدِ الشَّرْعِ الْمُتَّفَقِ عَلَيْهَا، وَلَا وُقُوْعًا فِيْ مَحْظُوْرٍ، مِنْ رِبَا أَوْ قِمَارٍ أَوْ بَيْعِ غَرَرٍ، وَلَا جَلْبًا لِمَفْسَدَةٍ رَاجِحَةٍ. وَهُوَ بِلَا رَيْبٍ خَيْرٌ وَأَوْلَى مِنَ التَّشْدِيْدِ بِالْمَنْعِ ثُمَ اللُّجُوْءِ إِلَى تَضْمِيْنِ الْمُضَارِبِ عَنْ طَرِيْقِ الْحِيَلِ... وَاللهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.

    “Sudah jelas bagiku --setelah memaparkan perbedaan pendapat ulama berikut dalil-dalil yang digunakannya tentang hukum mensyaratkan pengelola (mudharib) agar menjamin pengembalian pokok modal mudharabah dalam seluruh kondisi, baik karena rusak, berkurang, rugi atau karena hal lain, kemudian mengujinya secara objektif, berdasarkan kejujuran ilmiah, jauh dari sikap fanatik madzhab atau mengikuti hawa nafsu-- bahwa pendapat yang kuat adalah pendapat yang menyatakan sahnya syarat agar pengelola (mudharib) menjamin modal; hal itu karena memperhatikan banyaknya bantahan yang bermutu terhadap dalil-dalil yang disampaikan oleh ulama yang melarangnya; kuatnya argumen dan alasan yang disampaikan ulama yang membolehkannya, dan argumen-argumen tersebut terbebas dari kritikan-kritikan yang dapat diterima. Atas dasar demikian, bagi kami telah terbukti tidak terdapat dalil syar`i yang melarang adanya syarat penjaminan modal; pendapat yang membolehkannya ini tidak melanggar ketentuan syariah (dalam mudharabah) yang disepakati, juga tidak menjerumuskan ke dalam perbuatan yang dilarang seperti riba, judi, atau jual-beli gharar, serta tidak mendatangkan kesulitan yang nyata (mafsadah rajihah). Tidak diragukan bahwa (pendapat yang membolehkan syarat menjamin modal) ini merupakan pendapat yang lebih baik dan lebih utama dari pada pendapat yang bersifat ketat (tasyaddud) melarangnya, kemudian mencari-cari celah untuk (membolehkan) pengelola agar menjamin modal dengan berbagai cara hilah … Allah Maha Mengetahui.”

    (Dr. Nazih Hammad, Fi Fiqh al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mashrafiyah al-Mu’ashirah: Qira`ah Jadidah. Damaskus: Dar al-Qalam. 2007, h. 284-285)

  6. Pendapat Syeikh Yusuf al-Syubaili:

    فَاِذَا احْتَاجَتْ مُؤَسَّسَةٌ لِلسُّيُوْلَةِ فَإِنَّهَا تَبِيْعُ أَوْراَقاً كَصُكُوْكٍ إِسْلَامِيَّةٍ أَوْ أَسْهُمٍ بِثَمَنٍ نَقْدِيٍّ، وَتَنْقُلُ مِلْكِيَّتَهاَ تَامَّةً، بِمَا لَهَا ومَا عَلَيْهَا مِنْ حُقوْقٍ، بِمَا فِى ذلِكَ قَبْضُ الاَرْبَاحِ وَحُضُوْرُ الْجَمْعِيَّاتِ العُمُوْمِيَّةِ فِى الاَسْهُمِ وَالتَّصْوِيْتُ والْمُشَارَكَةُ فِى زِيَادَةِ رَأسِ الْمَالِ، وَتَعْدِيْلُ عَقْدِ التَّأسِيْسِ وَالنِّظَامِ الأَسَاسِيِّ لِلشِّرْكَةِ مُصْدِرَةِ الأَسْهُمِ، وَكَافَّةُ التَّصَرُّفَاتِ القَانُوْنِيَّةِ النَّاشِئَةِ عَنْ مِلْكِيَّةِ هَذِهِ الاَوْرَاقِ. وَيَقْتَرِنُ عَقْدُ البَيْعِ بِوَعْدٍ مِنْ قِبَلِ الْمُشْتَرِيْ بِبَيْعِ هَذِهِ الاَوْرَاقِ لِلْمَالِكِ الاَوَّلِ البَائِعِ خِلَالَ فَتْرَةٍ مُحَدَّدَةٍ.

    “Jika lembaga keuangan perlu likuiditas, maka lembaga tersebut dapat menjual surat berharga seperti sukuk atau saham secara tunai. Dengan jual beli ini, maka kepemilikan surat berharga tersebut berpindah (ke tangan pembeli) secara penuh berikut berbagai akibat hukumnya, seperti mendapatkan keuntungan, menanggung risiko kerugian, hak menghadiri RUPS (rapat umum pemegang saham), hak suara, hak dalam penambahan modal, pengubahan akta (anggaran dasar/anggaran rumah tangga) perusahaan penerbit saham, serta seluruh hak dan perbuatan hukum lain yang melekat pada surat berharga tersebut sesuai peraturan perundang-undangan. Transaksi jual ini disertai dengan janji dari pembeli untuk menjual kembali surat berharga tersebut kepada penjual pertama selama periode tertentu.”

    (Dr. Yusuf bin Abdullah asy-Syubaili’, Adawat Idarat al-Makhathir al-Suyulah wa Bada’il Ittifaqiyati I`adati al-Syira’ fi al-Mu`assasati al-Maliyah al-Islamiyah, h.15)

  7. Substansi Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No:19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al-Qardh; Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh); Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 105/DSN-MUI/X/2016  tentang Penjaminan Pengembalian Modal Pembiayaan Mudharabah, Musyarakah, dan Wakalah bil Istitsmar;  dan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 94/DSN-MUI/IV/2014 tentang Repo Surat Berharga Syariah (SBS) Berdasarkan Prinsip Syariah.
  8. Surat dari Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia kepada DSN-MUI No. 18/162/DEKS/Srt/B tanggal 08 Desember 2016 Perihal Permohonan Pernyataan Kesesuaian Syariah; dan No. 19/4/DEKS/Srt/B tanggal 10 Januari 2017 Perihal Permohonan Fatwa PLJPS;
  9. Pembahasan dalam Focus Group Discussion antara Bank Indonesia dengan BPH DSN-MUI pada tanggal 6-7 Desember 2016 di Jakarta; 4-6 Januari 2017 di Bogor;  dan 31 Januari 2017 di Jakarta;
  10. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Jum'at, tanggal 17 Februari 2017 di  Jakarta;

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PEMBIAYAAN LIKUIDITAS JANGKA PENDEK SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek, yang selanjutnya disebut PLJP, adalah pinjaman jangka pendek dari Bank Indonesia kepada Bank Umum Konvensional untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek.
  2. PLJP Syariah, yang selanjutnya disebut PLJPS, adalah pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah untuk mengatasi kesulitan likuiditas jangka pendek.
  3. Muqaradhah bi Dhaman Ra's al-Mal (الْمُقَارَضَةُ بِضَمَانِ رَأْسِ الْمَالِ) adalah akad PLJPS dalam bentuk pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah untuk digunakan dalam kegiatan operasional usaha dengan berbagi keuntungan sesuai dengan nisbah disertai agunan, dan Bank Syariah wajib mengembalikan dana tersebut sesuai dengan komitmen (iltizam)-nyapada waktu yang ditentukan.
  4. Al-Bai' ma'a al-Wa'd bi al-Syira` (البَيْعُ مَعَ اْلوَعْدِ بِالشِّرَاءِ) adalah akad PLJPS dalam bentuk pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah dengan cara penjualan surat berharga syariah oleh Bank Syariah kepada Bank Indonesia, yang wajib dikembalikan berdasarkan pembelian kembali (atas dasar wa`d sebelumnya) Surat Berharga Syariah oleh Bank Syariah pada waktu yang ditentukan.
  5. Al-Tas-hilat bi al-Tautsiq (اَلتَّسْهِيْلَاتُ بِالتَّوْثِيْق) adalah akad PLJPS dalam bentuk pembiayaan dari Bank Indonesia kepada Bank Syariah yang wajib dikembalikan oleh Bank Syariah pada waktu yang telah ditentukan  disertai dengan agunan.
  6. Gharamah Maliyah adalah sanksi berupa sejumlah dana yang ditentukan oleh Bank Indonesia atas pelanggaran akad yang dilakukan Bank Syariah penerima PLJPS.
Kedua : Ketentuan Hukum
  1. Pemberian PLJPS oleh Bank Indonesia ke Bank Syariah dibolehkan dengan syarat sesuai dengan prinsip syariah.
  2. Pelaksanaan Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah wajib mengikuti ketentuan yang terdapat dalam fatwa ini.
Ketiga : Akad PLJPS

Akad yang dapat digunakan untuk mendapatkan fasilitas PLJPS adalah akad:

  1. Al-Muqaradhah bi Dhaman Ra's al-Mal
  2. Al-Bai' ma'a al-Wa'd bi al-Syira'
  3. Al-Tas-hilat bi al-Tautsiq
Keempat : Ketentuan Akad al-Muqaradhah bi Dhaman Ra's al-Mal
  1. Bank Indonesia sebagai penyedia dana memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah dan Bank Syariah berdasarkan komitmen (iltizam)-nyawajib mengembalikan dana tersebut pada waktu yang ditentukan.
  2. Bank Syariah menyerahkan kepada Bank Indonesia agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan berupa Surat Berharga Syariah dan/atau Aset Pembiayaan.
  3. Pembagian hasil dari kegiatan usaha Bank Syariah dinyatakan dalam nisbah.
  4. Besaran nisbah dan waktu pembayaran bagi hasil didasarkan pada ketentuan yang berlaku.
  5. Bank Indonesia dapat memberikan batasan khusus kepada Bank Syariah selaku penerima dana (muqaradhah muqayyadah).
  6. Bank  Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi (al-taklifat al- idariyah) atas fasilitas PLJPS.
  7. Bank Indonesia dapat meminta kepada Bank Syariah yang mengajukan permohonan PLJPS untuk:
    1. membuat komitmen atau kesanggupan (iltizam) mengembalikan seluruh dana yang diterimanya, dan
    2. menyampaikan perkiraan keuntungan pembiayaan yang sedang berjalan selama masa PLJPS.
Kelima : Ketentuan Akad  Al-Bai' ma'a al-Wa'd bi al-Syira'
  1. Bank Indonesia sebagai penyedia dana memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah dengan cara membeli Surat Berharga Syariah yang dimiliki Bank Syariah, dan Bank Syariah menjual Surat Berharga Syariah tersebut kepada Bank Indonesia.
  2. Keuntungan atau kerugian serta hak dan akibat hukum lain yang melekat pada SBS menjadi hak Bank Indonesia sebagai pemilik SBS.
  3. Bank  Syariah berjanji (wa'd) akan membeli kembali Surat Berharga Syariah tersebut pada waktu yang ditentukan.
  4. Bank Indonesia berjanji (wa'd) akan menjual kembali Surat Berharga Syariah tersebut pada waktu yang ditentukan.
  5. Harga jual beli Surat Berharga Syariah didasarkan pada kesepakatan para pihak atau ketentuan yang berlaku.
  6. Bank  Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi (al-taklifat al-idariyah) atas proses fasilitas PLJPS.
  7. Besaran biaya dan waktu pembayaran didasarkan pada ketentuan yang berlaku.
Keenam : Ketentuan Akad Al-Tas-hilat bi al-Tautsiq
  1. Bank Indonesia sebagai penyedia dana memberikan pembiayaan kepada Bank Syariah dan Bank Syariah wajib mengembalikan dana tersebut pada waktu yang ditentukan.
  2. Atas penerimaan pendanaan tersebut, Bank Syariah menyerahkan kepada Bank Indonesia agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan berupa Surat Berharga Syariah  dan/atau Aset Pembiayaan.
  3. Bank Indonesia tidak boleh mensyaratkan adanya imbalan atas pembiayaan yang diberikannya.
  4. Bank  Indonesia dapat mengenakan biaya administrasi (al-taklifat al-idariyah) atas fasilitas PLJPS.
  5. Bank Indonesia dapat mengenakan jasa penatausahaan dan penyimpanan agunan (taklifat al-idarah wa khadamat al-hifzh).
  6. Besaran biaya dan jasa pada angka 4 dan angka 5, serta waktu pembayarannya didasarkan pada ketentuan yang berlaku.
Ketujuh : Ketentuan Khusus Terkait PLJPS
  1. Bank Indonesia boleh menetapkan syarat-syarat PLJPS kepada Bank Syariah.
  2. Dalam hal PLJPS menggunakan akad yang disertai agunan, Bank Indonesia dapat meminta agunan tambahan.
  3. Apabila agunan tidak mencukupi untuk memenuhi kewajibannya, Bank Syariah penerima PLJPS tetap harus memenuhi kewajiban tersebut secara penuh.
  4. Surat Berharga Syariah dan Aset Pembiayaan milik Unit Usaha Syariah dapat digunakan sebagai agunan oleh Bank Umum Konvensional atas fasilitas PLJP dengan ketentuan bahwa kedudukannya sebagai alternatif agunan terakhir sesuai klasifikasi aset.
  5. Dalam hal Bank Syariah penerima PLJPS tidak melaksanakan kewajibannya, Bank Indonesia dapat memberikan sanksi berupa gharamah maliyah sesuai ketentuan yang berlaku.
Kedelapan : Penutup
  1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 20 Jumadil Akhir 1438 H

17 Februari 2017 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
DR. KH. Ma'ruf Amin
Sekretaris
Dr. H. Anwar Abbas, M.M., M.Ag.
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/