عَسَىٰ رَبُّهُ إِنْ طَلَّقَكُنَّ أَنْ يُبْدِلَهُ أَزْوَاجًا خَيْرًا مِنْكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَارًا
Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.
Ingin rezeki berlimpah dengan berkah? Ketahui rahasianya dengan Klik disini!
(Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Rabbnya) maksudnya, jika nabi menceraikan istri-istrinya (akan memberi ganti kepadanya) dapat dibaca yubdilahu dan yubaddilahu (dengan istri-istri yang lebih baik daripada kalian) lafal azwaajan ini menjadi khabar dari lafal 'asaa sedangkan jumlah an yubdilahu dan seterusnya menjadi jawab syarath. Di sini tidak ada badal karena apa yang disebutkan pada syarat tidak terjadi, yakni perceraian itu tidak pernah terjadi (yang patuh) artinya mengakui Islam (yang beriman) yakni ikhlas hatinya kepada Islam (yang taat) mereka taat (yang bertobat, rajin beribadat, rajin berpuasa) yakni gemar melakukan puasa atau yang berhijrah (yang janda dan yang perawan)
Wahai para istri Nabi, jika ia menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan mengawinkannya, sebagai pengganti kalian, dengan istri-istri yang taat kepada Allah, beriman dengan tulus, khusyuk kepada Allah, bertobat kepada-Nya, tunduk mengerjakan ibadah, selalu bepergian dalam rangka taat kepada-Nya, yang janda maupun yang perawan.
Admin
Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dari Umar bin Khaththab, ia berkata, "Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjauhi istri-istrinya, aku pun masuk ke masjid ternyata orang-orang sedang melempari kerikil dan berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mentalak istri-istrinya." Hal itu terjadi ketika mereka belum diperintahkan berhijab. Umar berkata, "Saya akan beritahukan hal itu hari ini." Maka saya menemui Aisyah dan berkata, "Wahai puteri Abu Bakar, apakah engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?" Aisyah menjawab, "Apa urusanmu terhadapku wahai Ibnul Khaththab, urusilah aibmu sendiri." Umar berkata, "Maka saya menemui Hafshah binti Umar dan berkata kepadanya, "Wahai Hafshah! Apakah engkau sampai menyakiti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Demi Allah, sesungguhnya saya tahu bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyukaimu. Kalau bukan karena saya, tentu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sudah mentalakmu." Hafshah pun menangis dengan tangisan yang begitu serius. Saya pun bertanya kepadanya, "Di mana Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam?" Ia menjawab, "Dia sedang berada di dekat lemarinya di kamar." Saya pun masuk, ternyata saya menemui Ribah pelayan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sedang duduk di palang (kayu bawah) pintu kamar sambil memanjangkan kakinya di atas kayu berlubang, yaitu batang pohon kurma yang dipakai tangga oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam untuk naik dan turun. Ribah melihat ke kamar, lalu melihatku dan tidak berkata apa-apa, kemudian saya keraskan suara sambil berkata, "Wahai Ribah, izinkan saya di bersamamu untuk menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, karena saya mengira bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengira bahwa saya datang karena Hafshah. Demi Allah, jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan aku memenggal lehernya, tentu saya penggal lehernya." Saya keraskan suara saya. Ia pun berisyarat kepadaku agar masuk kepadanya, maka saya masuk menemui Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata Beliau sedang berbaring di atas tikar, saya pun duduk, lalu Beliau mendekatkan kainnya dan Beliau tidak mengenakan apa-apa selain itu. Ketika itu, tikarnya membekas pada rusuk Beliau. Saya melihat dengan mata saya lemari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata di sana terdapat segenggam gandum seukuran satu shaa' (4 mud/kaupan), demikian juga daun salam di pojok kamar serta ada kulit yang digantungkan. Saya pun meneteskan air mata, lalu Beliau bertanya, "Apa yang membuatmu menangis, wahai Ibnul Khaththab?" Aku menjawab, "Wahai Nabi Allah, mengapa saya tidak menangis, sedangkan tikar ini membekas pada rusukmu. Sedangkan lemarimu tidak menyimpan apa-apa selain yang saya lihat. Berbeda dengan Kaisar dan Kisra yang memperoleh banyak buah dan berada di dekat sungai yang mengalir. Sedangkan engkau utusan Allah dan pilihan-Nya dengan keadaan lemari seperti ini." Beliau bersabda, "Wahai Ibnul Khaththab, tidakkah kamu ridha, untuk kita akhirat dan untuk mereka dunia?" Saya menjawab, "Ya." Ketika saya masuk menemuinya, saya melihat tampak marah di mukanya, maka saya berkata, "Wahai Rasulullah, para istri tidak akan menyusahkan dirimu. Jika engkau mentalak mereka, maka sesungguhnya Allah bersamamu, demikian pula, malaikat-Nya, Jibril, Mikail, saya, Abu Bakar, dan kaum mukmin bersamamu. " Saya tidaklah berbicara âwal hamdulillah- kecuali saya berharap agar dibenarkan oleh Allah. Ketika itu turunlah ayat takhyir (pemberian pilihan),
Yaitu melaksanakan syariat Islam yang tampak.
Yaitu yang melaksanakan syariat Islam yang tidak tampak (batin) berupa âaqidah (keyakinan) dan amalan hati.
Yaitu yang selalu taat.
Dari apa yang dibenci Allah Subhaanahu wa Ta'aala. Allah menyifati mereka dengan mengerjakan apa yang dicintai Allah dan bertobat dari apa yang dibenci-Nya.
Ketika istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mendengar peringatan ini, maka segeralah mereka mencari keridhaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan sifat mulia pun menjadi melekat pada diri mereka sehingga mereka menjadi wanita mukminah paling utama. Dalam ayat ini terdapat dalil bahwa Allah Subhaanahu wa Ta'aala tidaklah memilih untuk Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali wanita yang keadaannya yang paling utama dan bahwa istri-istri Beliau adalah wanita paling baik dan paling utama.