Fatwa DSN MUI

Musyarakah Mutanaqishah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 73/DSN-MUI/XI/2008
Tentang
Musyarakah Mutanaqishah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa pembiayaan musyarakah memiliki keunggulan dalam kebersamaan dan keadilan, baik dalam berbagi keuntungan maupun resiko kerugian, sehingga dapat menjadi alternatif dalam proses kepemilikan aset (barang) atau modal;
  2. bahwa kepemilikan aset (barang) atau modal sebagaimana dimaksud dalam butir a dapat dilakukan dengan cara menggunakan akad musyarakah Mutanaqishah;
  3. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Musyarakah Mutanaqishah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT:
    1. QS. Shad [38]: 24:

      … وَإِنَّ كَثِيْرًا مِنَ الْخُلَطَاءِ لَيَبْغِيْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ، إِلاَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيْلٌ مَا هُمْ …

      "… Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang bersyarikat itu sebagian dari mereka berbuat zalim kepada sebagian lain, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini …."

    2. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

      يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …."

  2. Hadis Nabi:
    1. Hadis riwayat Abu Daud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:

      إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.

      "Allah swt. berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka." (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah)

    2. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

  3. Taqrir Nabi terhadap kegiatan musyarakah yang dilakukan oleh masyarakat pada saat itu sebagaimana disebutkan oleh al-Sarakhsiy dalam al-Mabsuth, juz II, halaman 151.
  4. Ijma’ Ulama atas bolehnya musyarakah sebagaimana yang disebut oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz V, halaman 3 dan al-Susiy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz VI, halaman 153.
  5. Kaidah Fikih:

    الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ الدَلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

    "Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan :
  1. Pendapat para ulama; antara lain:
    1. Ibnu Qudamah, al-Mughni,(Bayrut: Dar al-Fikr, t.th),juz 5, hal. 173:

      وَلَوِ اشْتَرَى أَحَدُ الشَّرِيْكَيْنِ حِصَّةَ شَرِيْكِهِ مِنْهُ جَازَ، لأَنَّهُ يَشْتَرِيْ مِلْكَ غَيْرِهِ.

      "Apabila salah satu dari dua yang bermitra (syarik) membeli porsi (bagian, hishshah) dari syarik lainnya, maka hukumnya boleh, karena (sebenarnya) ia membeli milik pihak lain."

    2. Ibn Abidin dalam kitab Raddul Mukhtarjuz III halaman 365:

      لَوْ بَاعَ أَحَدُ الشَّرِيْكَيْنِ فِي الْبِنَاءِ حِصَّتَهُ لأَجْنَِبِيٍّ لاَ يَجُوْزُ، وَلِشَرِيْكِهِ جَازَ.

      "Apabila salah satu dari dua orang yang bermitra (syarik) dalam (kepemilikan) suatu bangunan menjual porsi (hishshah)-nya kepada pihak lain, maka hukumnya tidak boleh; sedangkan (jika menjual porsinya tersebut) kepada syarik-nya, maka hukumnya boleh."

    3. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Muamalah Al-Maliyah Al-Muasirah, hal. 436-437:

      هذِهِ الْمُشَارَكَةُ مَشْرُوَعَةٌ فِي الشَّرِيْعَةِ لاِعْتِمَادِهَا -كَاْلإِجَارَةِ الْمُنْتَهِيَةِ بِالتَّمْلِيْكِ_ عَلَى وَعْدٍ مِنَ الْبَنْكِ لِشَرِيْكِهِ بِأَنْ يَبِيْعَ لَهُ حِصَّتَهُ فِي الشِّرْكَةِ إِذَا سَدَّدَ لَهُ قِيْمَتَهَا.
      وَهِيَ فِيْ أَثْنَاءِ وُجُوْدِهَا تُعَدُّ شِرْكَةَ عِنَانٍ، حَيْثُ يُسَاهِمُ الطَّرَفَانِ بِرَأْسِ الْمَالِ، وَيًفَوِّضُ الْبَنْكُ عَمِيْلَهُ الشَّرِيْكَ بِإِدَارَةِ الْمَشْرُوْعِ.
      وَبَعْدَ انْتِهَاءِ الشِرْكَةِ يَبِيْعُ الْمَصْرَفُ حِصَّتَهُ للشَّرِيْكِ كُلِّيًّا أَوْ جُزْئِيًّا، بِاعْتِبَارِ هَذَا الْعَقْدِ عَقْدًا مُسْتَقِلاًّ، لاَ صِلَةَ لَهُ بِعَقْدِ الشِّرْكَةِ.

      "Musyarakah mutanaqishah ini dibenarkan dalam syariah, karena –sebagaimana Ijarah Muntahiyah bi-al-Tamlik—bersandar pada janji dari Bank kepada mitra (nasabah)-nya bahwa Bank akan menjual kepada mitra porsi kepemilikannya dalam Syirkah apabila mitra telah membayar kepada Bank harga porsi Bank tersebut.
      Di saat berlangsung, Musyarakah mutanaqishah tersebut dipandang sebagai Syirkah 'Inan, karena kedua belah pihak menyerahkan kontribusi ra'sul mal, dan Bank mendelegasikan kepada nasabah-mitranya untuk mengelola kegiatan usaha. Setelah selesai Syirkah Bank menjual seluruh atau sebagian porsinya kepada mitra, dengan ketentuan akad penjualan ini dilakukan secara terpisah yang tidak terkait dengan akad Syirkah."

    4. Kamal Taufiq Muhammad Hathab dalam Jurnal Dirasat Iqtishadiyyah Islamiyyah,Muharram 1434, jld. 10, volume 2, halaman 48:

      وَحَيْثُ إِنَّ الْمُشَارَكَةَ بِطَبِيْعَتِهَا هِيَ مِنْ جِنْسِ الْبُيُوْعِ، لِكَوْنِهَا تُعَبِّرُ عَنْ شِرَاءِ حِصَّةٍ عَلَى الْمُشَاعِ فِيْ أَصْلٍ مِنَ اْلأُصُوْلِ، فَإِنَّهُ إِذَا أَرَادَ أَحَدُ الشُّرَكَاءِ التَّخَارُجَ مِنَ الشِّرْكَةِ، فَهُوَ يَبِيْعُ حِصَّتَهُ الشَّائِعَةَ الَّتِيْ امْتَلَكَهَا إِمَّا لِلْغَيْرِ، وَإِمَّا إِلَى بَاقِي الشُّرَكَاءِ الْمُسْتَمِرِّيْنَ فِي الشِّرْكَةِ.

      "Mengingat bahwa sifat (tabiat) musyarakah merupakan jenis jual-beli --karena musyarakah dianggap sebagai pembelian suatu porsi (hishshah) secara musya' (tidak ditentukan batas-batasnya) dari sebuah pokok-- maka apabila salah satu mitra (syarik) ingin melepaskan haknya dari syirkah, maka ia menjual hishshah yang dimilikinya itu, baik kepada pihak ketiga maupun kepada syarik lainnya yang tetap melanjutkan musyarakah tersebut."

    5. Nuruddin Abdul Karim al-Kawamilah, dalam kitab al-Musyarakah al-Mutanaqishah wa Tathbiqatuha al-Mu’ashirah, (Yordan: Dar al-Nafa’is, 2008), hal. 133:

      تَوَصَّلَتِ الدِّرَاسَةُ إِلَى الْقَوْلِ بِأَنَّ الْمُشَارَكَةَ الْمُتَنَاقِصَةَ يُعْتَبَرُ أَحَدَ أَنْوَاعِ التَّمْوِيْلِ بِالْمُشَارَكَةِ بِشَكْلِهَا الْعَامِّ، حَيْثُ إِنَّ التَّمْوِيْلَ بِالْمُشَارَكَةِ بِشَكْلِهَا الْعَامِّ يَكُوْنُ بَأَنْوَاعٍ مُتَعَدِّدَةٍ وَمُخْتَلِفَةٍ، وَبِاعْتِبَارِ اسْتِمْرَارِيَّةِ التَّمْوِيْلِ فَهُوَ تُقْسَمُ إِلَى ثَلاَثَةِ أَنْوَاعٍ: تَمْوِيْلِ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ، وَتَمْوِيْلِ مُشَارَكَةٍ ثَابِتَةٍ، وَتَمْوِيْلِ مُشَارَكَةٍ مُتَنَاقِصَةٍ.

      "Studi ini sampai pada kesimpulan bahwa Musyarakah Mutanaqishah dipandang sebagai salah satu macam pembiayaan Musyarakah dengan bentuknya yang umum; hal itu mengingat bahwa pembiayaan musyarakah dengan bentuknya yang umum terdiri atas beberapa ragam dan macam yang berbeda-beda. Dilihat dari sudut "kesinambungan pembiayaan" (istimrariyah al-tamwil), musyarakah terbagi menjadi tiga macam: pembiayaan untuk satu kali transaksi, pembiayaan musyarakah permanen, dan pembaiayaan musyarakah mutanaqishah."

  2. Surat permohonan dari BMI, BTN, PKES dan lain-lain.
  3. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Jumat, tanggal 15 Zulqa’dah 1429 H./ 14 Nopember 2008.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA MUSYARAKAH MUTANAQISHAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
  1. Musyarakah Mutanaqishah adalah Musyarakah atau Syirkah yang kepemilikan asset (barang) atau modal salah satu pihak (syarik) berkurang disebabkan pembelian secara bertahap oleh pihak lainnya;
  2. Syarik adalah mitra, yakni pihak yang melakukan akad syirkah (musyarakah);
  3. Hishshah adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah yang bersifat musya’;
  4. Musya’ (مشاع)adalah porsi atau bagian syarik dalam kekayaan musyarakah (milik bersama) secara nilai dan tidak dapat ditentukan batas-batasnya secara fisik.
Kedua : Ketentuan Hukum
Hukum Musyarakah Mutanaqishah adalah boleh.
Ketiga : Ketentuan Akad
  1. Akad Musyarakah Mutanaqishah terdiri dari akad Musyarakah/ Syirkah dan Bai’ (jual-beli).
  2. Dalam Musyarakah Mutanaqishah berlaku hukum sebagaimana yang diatur dalam Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah, yang para mitranya memiliki hak dan kewajiban, di antaranya:
    1. Memberikan modal dan kerja berdasarkan kesepakatan pada saat akad.
    2. Memperoleh keuntungan berdasarkan nisbah yang disepakati  pada saat akad.
    3. Menanggung kerugian sesuai proporsi modal.
  3. Dalam akad Musyarakah Mutanaqishah, pihak pertama (salah satu syarik, LKS) wajib berjanji untuk menjual seluruh hishshah-nya secara bertahap dan pihak kedua (syarik yang lain, nasabah) wajib membelinya.
  4. Jual beli sebagaimana dimaksud dalam angka 3 dilaksanakan sesuai kesepakatan.
  5. Setelah selesai pelunasan penjualan, seluruh hishshah LKS –sebagai syarik-- beralih kepada syarik lainnya (nasabah).
Keempat : Ketentuan Khusus
  1. Aset Musyarakah Mutanaqishah dapat di-ijarah-kan kepada syarik atau pihak lain.
  2. Apabila aset Musyarakah menjadi obyek Ijarah, maka syarik (nasabah) dapat menyewa aset tersebut dengan nilai ujrah yang disepakati.
  3. Keuntungan yang diperoleh dari ujrah tersebut dibagi sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dalam akad, sedangkan kerugian harus berdasarkan proporsi kepemilikan. Nisbah keuntungan dapat mengikuti perubahan proporsi kepemilikan sesuai kesepakatan para syarik.
  4. Kadar/Ukuran bagian/porsi kepemilikan asset Musyarakah syarik (LKS) yang berkurang akibat pembayaran oleh syarik (nasabah),  harus jelas dan disepakati dalam akad.
  5. Biaya perolehan aset Musyarakah menjadi beban bersama sedangkan biaya peralihan kepemilikan menjadi beban pembeli.
Kelima : Penutup
  1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan sesuai kesepakatan berdasarkan prinsip syariah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 15 Dzulqa’dah 1429 H

14 Nopember 2008 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/