Fatwa DSN MUI

SBSN Ijarah Asset to be Leased

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 76/DSN-MUI/VI/2010
Tentang
SBSN Ijarah Asset to be Leased

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka mendukung percepatan pembangunan proyek infrastruktur dan proyek-proyek lainnya, diperlukan sumber pembiayaan melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara;
  2. bahwa dalam pembiayaan proyek infrastruktur dan proyek-proyek lainnya melalui penerbitan Surat Berharga Syariah Negara sebagaimana dimaksud dalam huruf a, diperlukan akad ijarah yang obyek ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek ijarah sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek ijarah dilakukan di masa yang akan datang sesuai kesepakatan;
  3. bahwa fatwa DSN-MUI terkait dengan Pembiayaan Ijarah belum mencakup akad Ijarah sebagaimana disebut dalam huruf b;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang SBSN Ijarah Asset To Be Leased untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Ma`idah [5]: 1:

      يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ ...

      "Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …"

    2. QS. al-Qashash [28]: 26:

      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.

      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.""

    3. QS. al-Kahfi [18]: 77:

      قَالَ لَوْ شِئْتَ لَاتَّخَذْتَ عَلَيْهِ أَجْراً

      Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."

    4. QS. al-Baqarah [2]: 275:

      وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا

      "Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."

    5. QS. al-Nisa' [4]: 29:

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

      "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu."

  2. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, antara lain:
    1. Hadis Qudsi riwayat Imam al-Bukhari, Ahmad, Ibnu Majah dari Abu Hurairah (teks al-Bukhari), Nabi bersabda:

      قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: ثَلاَثَةٌ أَنَا خَصْمُهُمْ يَوْمَ الْقِيامة: رَجُلٌ أَعْطَى بِى (أي حَلَفَ بِاسْمِى) ثُمَّ غَدَرَ، ورَجُلٌ بَاعَ حُرًّا فَأَكَلَ ثَمَنَهُ، ورَجُلٌ اِسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَاسْتَوْفَى مِنْهُ ولَمْ يُعْطِهِ أَجْرَهُ (رواه مسلم)

      "Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Ada tiga kelompok yang Aku memusuhi mereka pada Hari Kiamat nanti. Pertama, orang yang bersumpah atas nama-Ku lalu ia mengkhianatinya. Kedua, orang yang menjual orang merdeka (bukan budak belian), lalu ia memakan (mengambil) keuntungannya. Ketiga, orang yang memperkerjakan seseorang, lalu ia meminta pekerja itu memenuhi kewajibannya, sedangkan ia tidak membayarkan upahnya."

    2. Hadis Riwayat Ibn Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda:

      أَعْطُوا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.

      "Berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering."

    3. Hadits riwayat Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

    4. Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni dari Sa`d Ibnu Abi Waqqash (teks Abu Dawud), ia berkata:

      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.

      "Dulu kami menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."

    5. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

  3. Ijma' ulama tentang kebolehan melakukan akad sewa menyewa.
  4. Kaidah Fikih:

    الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ الدَلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

    "Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."

Memperhatikan :
  1. Pendapat para ulama tentang kebijakan pemerintah; antara lain:
    1. Ibnu Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha'ir, tahqiq: 'Abd al-'Aziz Muhammad al-Wakil, [al-Qahirah: Mu'assasah al-Halabi, 1968], h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, al-Madkhal ila al-Maliyah al-'Ammah al-Islamiyah,[Yordan: Dar al-Nafa'is, 2005], h. 201-202:

      يَجُوْزُ لِلإِمَامِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ أَمْوَالِ الدَّوْلَةِ فِيْمَا يَرَى فِيْهِ الْمَصْلَحَةَ لَهُمْ؛ وَمِنْ هذِهِ الْمَصَالِحِ بَيْعُهُ لِبَعْضِ أَمْلاَكِ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِيْنَ لِتَوْفِيْرِ اْلأَمْوَالِ الْكَافِيَةِ لِلإِنْفَاقِ عَلَى مَصَالِحِهِمْ وَحَاجَاتِهِمِ الْعَامَّةِ، ِلأَنَّ فِعْلَ اْلإِمَامِ إِذَا كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى الْمَصْلَحَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِاْلأُمُوْرِ الْعَامَّةِ لَمْ يَنْفُذْ شَرْعًا إِلاَّ إِذَا وَافَقَهَا، فَإِنْ خَالَفَهَا لَمْ يَنْفُذْ.

      "Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnya mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut adalah menjual sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hukum Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah maka kebijakan tersebut tidak sah."

    2. Ibnu 'Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar, [Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003], jilid VI, h. 298:

      يَجُوْزُ لِلسُّلْطَانِ بَيْعُ أَرَاضِيْ بَيْتِ الْمَالِ ... لأَنَّ لِلإِمَامِ وِلاَيَةً عَامَّةً، وَلَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ،

      "Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah baitul mal… karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan umum; dan ia boleh melakukan kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam."

  2. Pendapat para ulama tentang Ijarah; antara lain:
    1. Al-Syairazi, al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah, h. 394:

      يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ... وَلأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأَعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأَعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.

      "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Oleh karena akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya boleh pula akad ijarah atas manfaat."

    2. Ibnu Qudamah, al-Mughni, VIII /7:

      فَهِيَ (الإِجَارَةُ) بَيْعُ الْمَنَافِعِ، وَالْمَنَافِعُ بِمَنْزِلَةِ اْلأَعْيَانِ.

      "Ijarah adalah jual beli manfaat; dan manfaat berkedudukan sama dengan benda."

    3. Imam al-Nawawi, al-Majmu' Syarah al-Muhadzdzab, XV/308; al-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, II/332; al-Dimyathi, I'anah al-Thalibin,III/108:

      ... وَأَنَّ الْحَاجَةَ إِلَيْهَا [الإِجَارَةِ] دَاعِيَةٌ؛ فَلَيْسَ لِكُلِّ وَاحِدٍ مَرْكُوْبٌ وَمَسْكَنٌ وَخَادِمٌ فَجُوِّزَتْ لِذَلِكَ كَمَا جُوِّزَتْ بَيْعُ اْلأَعْيَانِ.

      "Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti)."

    4. Ibnu Qudamah, al-Mughni,VIII, 113:

      وَالْعَيْنُ الْمُسْتَأْجَرَةُ أَمَانَةٌ فِيْ يَدِ الْمُسْتَأْجِرِ، إِنْ تَلِفَتْ بِغَيْرِ تَفْرِيْطٍ لَمْ يَضْمَنْهَا.

      "Benda yang disewa adalah amanah di tangan penyewa; jika rusak bukan disebabkan kelalaian, penyewa tidak diminta harus bertanggung jawab (mengganti)."

       

  3. Ketentuan AAOIFI dalam al-Ma'ayir al-Syar'iyah, Mi'yar no. 17 tentang Sukuk al-Istitsmar, bagian penerbitan, perdagangan, dan penarikan kembali (redemption) Sukuk Milkiyah al-Maujudat:

    يَجُوْزُ تَصْكِيْكُ (تَوْرِيْقُ) الْمَوْجُوْدَاتِ مِنَ اْلأَعْيَانِ وَالْمَنَافِعِ وَالْخَدَمَاتِ، وَذَلِكَ بِتَقْسِيْمِهَا إِلَى حَصَصٍ مُتَسَاوِيَةٍ وَإِصْدَارِ صُّكُوْكٍ بِقِيْمَتِهَا. أَمَّا الدُّيُوْنُ فِي الذِّمَمِ فَلاَ يَجُوْزُ تَصْكِيْكُهَا (تَوْرِيْقُهَا) لِغَرَضِ تَدَاوُلِهَا (5/1/2).

    "Boleh melakukan sekuritisasi (menerbitkan sukuk yang mewakili kepemilikan atas) asset, baik barang (tangible assets), manfaat (usufructs) maupun jasa (services); dengan cara membagi/memecah asset tersebut menjadi beberapa bagian yang sama dan menerbitkan sukuk sesuai dengan nilainya. Sedangkan piutang yang masih menjadi tanggung jawab orang lain tidak boleh disekuritisasi dengan tujuan untuk diperdagangkan (5/1/2)."

    يَجُوْزُ تَدَاوُلُ صُّكُوْكِ مِلْكِيَّةِ الْمَوْجُوْدَاتِ المُْؤْجَرَةِ أَوِ الْمَوْعُوْدِ بِاسْتِئْجَارِهَا مُنْذُ لَحْظَةِ اصْدَارِهَا بَعْدَ تَمَلُّكِ حَمَلَةِ الصُّكُوْكِ لِلْمَوْجُوْدَاتِ وَحَتَّى نِهَايَةِ أَجَلِهَا (5/2/4).

    "Sejak diterbitkan sampai dengan jatuh tempo, boleh memindahtangankan (memperdagangkan) Sukuk Milkiyah al-Maujudat al-Mu'jarah au al-Mau'ud Bisti'jariha (sukuk yang mewakili kepemilikan atas asset yang disewakan atau asset yang akan disewakan) setelah pemegang sukuk tersebut memilikinya (5/2/4)."

    يَجُوْزُ اسْتِرْدَادُ صُّكُوْكِ مِلْكِيَّةِ الْمَوْجُوْدَاتِ المْؤْجَرَةِ مِنْ مُصْدِرِهَا قَبْلَ أَجَلِهَا بِسِعْرِ السُّوْقِ، أَوْ بِالسِّعْرِ الَّذِيْ يَتَرَاضَى عَلَيْهِ حَامِلُ الصَّكِّ وَمُصْدِرُهُ حِيْنَ الاِسْتِرْدَادِ (5/2/5).

    "Penerbit Sukuk Milkiyah al-Maujudat al-Mu'jarah au al-Mau'ud Bisti'jariha boleh menarik kembali (redeem) Sukuk tersebut sebelum jatuh tempo, dengan harga pasar atau harga yang disepakati oleh penerbit dan pemegang Sukuk pada saat penarikan (at the date of redemption) (5/2/5)."

  4. Pendapat Nazih Hammad tentang penjualan Sukuk Ijarah yang didasarkan pada pendapat mayoritas fuqaha mengenai kebolehan menjual hishshah sya'i`ah (bagian atau porsi yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya), menjual barang yang sedang disewakan, dan menyewakan musya` (bagian atau porsi yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya) dalam bukunya Fi Fiqh al-Mu`amalat al-Maliyah wa al-Mashrafiyah al-Mu`ashirah Qira'ah Jadidah,Dimasyq: Dar al-Qalam, 2007, h. 324:

    يَجُوْزُ لِصَاحِبِ الصَّكِّ –أَوِ الصُّكُوْكِ—بَيْعُهَا فِي السُّوْقِ لأَيِّ مُشْتَرٍ بِالسِّعْرِ الَّذِيْ يَتَّفِقَانِ عَلَيْهِ، سَوَاءٌ سَاوَى أَوْ زَادَ أَوْ نَقَصَ عَنِ الثَّمَنِ الَّذِيْ اشْتَرَى بِهِ، حَيْثُ نَصَّ جَمَاهِيْرُ الْفُقَهَاءِ عَلَى جَوَازِ بَيْعِ الْحِصَّةِ الشَّائِعَةِ فِي الْمِلْكِ الْمُشْتَرَكِ (المغني 6/209؛ كشاف القناع 3/157، بدائع الصنائع 4/187، حاشية القليوبي 2/161، مغني المحتاج 2/13، المجلة العدلية م 214)، وَعَلَى جَوَازِ بَيْعِ اْلأَعْيَانِ الْمُؤْجَرَةِ لِطَرَفٍ ثَالِثٍ، وَاسْتِحْقَاقِ الْمُشْتَرِي اْلأُجْرَةَ مِنْ حَيْثُ الشِّرَاءُ (المغني 8/48، البدائع 4/207-208، المحلي على المنهاج مع حاشية القليوبي 3/87)، وَكَذَا جَوَازِِ إِجَارَةِ المُشَاعِ إِذَا أَجَّرَ الشُّرَكَاءُ كُلُّهُمْ حصَصَهُمْ لِشَخْصٍ آخَرَ (بداية المجْتَهد 2/227، بدائع الصنائع 4/187).

    "Pemegang sukuk boleh menjualnya kepada siapa saja dengan harga yang mereka sepakati, baik harga tersebut sama, lebih tinggi maupun lebih rendah dari harga belinya. Hal ini mengingat bahwa mayoritas ahli fiqih menegaskan boleh menjual hishshah sya'i`ah (bagian atau porsi yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya) dalam kepemilikan bersama (al-Mughni, 6/209; Kasyyaf al-Qina`, 3/175; Bada'i` al-Shana'i`, 4/187; Hasyiyah al-Qalyubi, 2/161; Mughni al-Muhtaj, 2/13; dan al-Majallah al-`Adliyyah, maddah 214), boleh pula menjual ke pihak ketiga barang yang sedang disewakan dan pembelinya berhak atas ujrah (uang sewa) barang tersebut karena ia telah membelinya (al-Mughni, 8/48; al-Bada'i`, 4/207-298; al-Mahalli 'ala al-inhaj ma`a Hasyiyah al-Qalyubi, 3/87); demikian juga boleh menyewakan musya` (bagian atau porsi masing-masing yang tidak dapat ditentukan batas-batasnya) apabila para mitra pemilik/para pihak yang berkongsi menyewakan bagiannya ke pihak lain" (Bidayah al-Mujtahid, 2/227, dan Bada'i` al-Shana'i`, 4/187)."

  5. Surat Direktur Jenderal Pengelolaan Utang No. S-888/PU/2009 tanggal 23 Nopember 2009 tentang Permohonan Fatwa SBSN untuk Pembiayaan Proyek.
  6. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Kamis, 20 Jumadil Akhir 1431 H. / 03 Juni 2010 M.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG SBSN IJARAH ASSET TO BE LEASED
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan:
  1. Ijarah Asset To Be Leased (Ijarah al Maujudat al-Mau'ud Bisti'jariha) adalah akad ijarah yang obyek ijarahnya sudah ditentukan spesifikasinya, dan sebagian obyek ijarah sudah ada pada saat akad dilakukan, tetapi penyerahan keseluruhan obyek ijarah dilakukan pada masa yang akan datang sesuai kesepakatan.
  2. Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Ijarah Asset To Be Leased adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas bagian (حصة) dari Asset SBSN yang menjadi obyek ijarah, baik yang sudah ada maupun akan ada.
Kedua : Ketentuan Hukum
Penerbitan SBSN Ijarah Asset To Be Leased boleh dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah, sebagaimana ditetapkan dalam Fatwa DSN Nomor 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah berlaku pula dalam akad Ijarah Asset To Be Leased.
  2. Hak dan kewajiban para pihak harus dijelaskan dalam akad.
  3. Memuat ketentuan khusus dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Khusus
  1. Pemerintah boleh melakukan transaksi yang terkait dengan penerbitan SBSN dengan Perusahaan Penerbit SBSN yang didirikan oleh Pemerintah atau dengan pihak lain yang ditunjuk oleh Pemerintah.
  2. Pemerintah dapat mengalihkan kepemilikan hak atas sebagian asset yang akan dijadikan Obyek Ijarah Asset To Be Leased kepada Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk.
  3. Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN menerbitkan SBSN sebagai bukti kepemilikan atas bagian (حصة) dari Obyek Ijarah Asset To Be Leased, yang dibeli oleh investor pada harga tertentu sesuai kesepakatan.
  4. Perusahaan Penerbit SBSN atau pihak lain melalui wakilnya yang ditunjuk, wajib menyediakan Obyek Ijarah Asset To Be Leased sesuai dengan kesepakatan. Pemerintah dapat bertindak sebagai wakil untuk menyediakan objek ijarah termasuk untuk menggunakan aset yang dimilikinya sendiri.
  5. Pemerintah atau pihak lainnya menyewa Obyek Ijarah Asset To Be Leased dengan memberikan imbalan (ujrah) kepada Pemegang SBSN secara periodik maupun sekaligus sesuai kesepakatan selama jangka waktu SBSN berdasarkan masa sewa.
  6. Pemerintah atau pihak lainnya sebagai Penyewa wajib memelihara dan menjaga Obyek Ijarah Asset To Be Leased sampai dengan berakhirnya masa sewa.
  7. Pemerintah dapat membeli Obyek Ijarah Asset To Be Leased pada saat SBSN jatuh tempo dengan harga yang disepakati.
  8. Pemerintah dapat membeli sebagian atau seluruh Obyek Ijarah Asset To Be Leased sebelum jatuh tempo SBSN dan/atau sebelum berakhirnya masa sewa Obyek Ijarah Asset To Be Leased, dengan membayar harga sesuai kesepakatan
  9. Untuk pembelian Obyek Ijarah Asset To Be Leased sebelum jatuh tempo sebagaimana dimaksud pada angka 8, para pihak melakukan perubahan atau pengakhiran terhadap akad SBSN.
  10. Pemegang SBSN dapat mengalihkan kepemilikan SBSN Ijarah Asset To Be Leased kepada pihak lain dengan harga yang disepakati.
Keempat : Ketentuan Penutup
  1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah;
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkannya dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 20 Jumadil Akhir 1431 H

03 Juni 2010 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/