Fatwa DSN MUI

Surat Berharga Syariah Negara

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 69/DSN-MUI/VI/2008
Tentang
Surat Berharga Syariah Negara

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka mendorong pengembangan ekonomi dan pasar keuangan syariah dalam negeri diperlukan adanya instrumen investasi berbasis syariah untuk mengoptimalkan pemanfaatan dana-dana masyarakat;
  2. bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Pemerintah dapat menerbitkan surat berharga berbasis syariah dalam rangka menunjang kesinambungan fiskal dan memperluas sumber pembiayaan negara;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam haruf a dan huruf b, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) memandang perlu menetapkan fatwa tentang Surat Berharga Syariah Negara untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Nisa' [4]: 29:

      يَآ أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَتَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ...

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu …".

    2. QS. al-Baqarah [2]: 275:

      الَّذِيْنَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ، وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ

      "Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

    3. QS. al-Baqarah [2]: 278:

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

      "Hai orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman."

    4. QS. al-Ma-idah [5]: 1:

      يَآأَيُّهَا الَّذِيْنَ أمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ ...

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"

  2. Hadis-hadis Nabi shallallahu alaihi wa sallam, antara lain:
    1. Hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daraquthni dari Sa`d Ibn Abi Waqqash (teks Abu Dawud), ia berkata:

      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.

      "Dulu kami menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."

    2. Hadits Nabi riwayat Thabarani dari Ibnu Abbas:

      كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكَ بِهِ بَحْرًا، وَلاَ يَنْزِلَ بِهِ وَادِيًا، وَلاَ يَشْتَرِيَ بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدٍ رَطْبَةٍ، فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمِنَ، فَبَلَغَ شَرْطُهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ (رواه الطبراني فى الأوسط عن ابن عباس).

      "Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya."

    3. Hadis Qudsi riwayat Abu Dawud dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW berkata:

      إِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُوْلُ: أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيْكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ، فَإِذَا خَانَ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا.

      "Allah SWT berfirman: 'Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka."

    4. Hadis Nabi riwayat Tirmidzi dan Ibnu Majah dari 'Amr bin 'Auf:

      الصُلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

  3. Kaidah Fikih:
    1. الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ الدَلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا

      "Pada dasarnya, segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang mengharamkannya."

    2. تَصَرُّفُ اْلإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوْطٌ بِالْمَصْلَحَةِ

      "Tindakan Imam [pemegang otoritas] terhadap rakyat harus mengikuti mashlahat."
      (Al-Suyuthi, Al-Asybah wa al-Nazha'ir, tahqiq: Muhammad al-Mu'tashim bi Allah al-Baghdadi, [Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1987], 233)

Memperhatikan :
  1. Fatwa-fatwa DSN-MUI tentang Ijarah, Mudharabah, Istishna’ dan Musyarakah;
  2. Pendapat para ulama tentang kebijakan pemerintah; antara lain:

    يَجُوْزُ لِلإِمَامِ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ أَمْوَالِ الدَّوْلَةِ فِيْمَا يَرَى فِيْهِ الْمَصْلَحَةَ لَهُمْ؛ وَمِنْ هذِهِ الْمَصَالِحِ بَيْعُهُ لِبَعْضِ أَمْلاَكِ بَيْتِ مَالِ الْمُسْلِمِيْنَ لِتَوْفِيْرِ الْلأَمْوَالِ الْكَافِيَةِ لِلإِنْفَاقِ عَلَى مَصَالِحِهِمْ وَحَاجَاتِهِمِ الْعَامَّةِ، ِلأَنَّ فِعْلَ اْلإِمَامِ إِذَا كَانَ مَبْنِيًّا عَلَى الْمَصْلَحَةِ فِيْمَا يَتَعَلَّقُ بِاْلأُمُوْرِ الْعَامَّةِ لَمْ يَنْفُذْ شَرْعًا إِلاَّ إِذَا وَافَقَهَا، فَإِنْ خَالَفَهَا لَمْ يَنْفُذْ.

    "Imam (kepala negara, pemegang otoritas) boleh melakukan kebijakan terhadap kekayaan negara untuk hal-hal yang dipandangnnya mengandung maslahat bagi mereka (warga negara); di antara kemaslahatan tersebut adalah menjual sebagian kekayaan baitul mal (perbendaharaan negara) guna menghimpun dana yang cukup untuk membiayai kemaslahatan dan kebutuhan umum mereka. Hal itu mengingat bahwa kebijakan Imam, apabila didasarkan pada maslahat yang berhubungan dengan urusan umum, dipandang tidak sah menurut hukum Syariah kecuali jika sesuai dengan maslahah; jika tidak sesuai dengan maslahah maka kebijakan tersebut tidak sah."
    (lihat Ibn Nujaim, al-Asybah wa al-Nazha'ir, tahqiq: 'Abd al-'Aziz Muhammad al-Wakil, [al-Qahirah: Mu'assasah al-Halabi, 1968], h. 124; Walid Khalid al-Syayiji, al-Madkhal ila al-Maliyah al-'Ammah al-Islamiyah, [Yordan: Dar al-Nafa'is, 2005], h. 201-202).

    يَجُوْزُ لِلسُّلْطَانِ بَيْعُ أَرَاضِيْ بَيْتِ الْمَالِ... لأَنَّ لِلإِمَامِ وِلاَيَةً عَامَّةً، وَلَهُ أَنْ يَتَصَرَّفَ فِيْ مَصَالِحِ الْمُسْلِمِيْنَ،

    "Sultan (kepala negara) boleh menjual tanah baitul mal… karena imam (kepala negara, pemegang otoritas) memiliki kekuasaan umum; dan ia boleh melakukan kebijakan untuk kemaslahatan umat Islam."
    (lihat Ibn 'Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar, [Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 2003], jilid 6, h. 298).

  3. Pendapat para ulama tentang mobilisasi dana untuk menutup defisit anggaran pemerintah (lihat, antara lain, Mundzir Qahf,  al-Siyasah al-Maliyah Dawruha wa Dhawabithuha fi al-Iqtishad al-Islami, [Damsyiq: Dar al-Fikr, 2006], h. 60-92);
  4. Surat dari Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Republik Indonesia No. S-158/PU/2008 tanggal 11 Pebruari 2008 tentang Permohonan Fatwa SBSN - Ijarah Sale and Lease Back;
  5. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Kamis, 22 Jumadil Akhir 1429 H. / 26 Juni 2008.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG SURAT BERHARGA SYARIAH NEGARA
Pertama : Ketentuan Umum
  1. Surat Berharga Syariah Negara atau dapat disebut Sukuk Negara adalah Surat Berharga Negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti kepemilikan atas bagian (حصة) dari aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
  2. Aset SBSN adalah obyek pembiayaan SBSN dan/atau Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis, berupa tanah dan/atau bangunan, maupun selain tanah dan/atau bangunan yang dalam rangka penerbitan SBSN dijadikan dasar penerbitan SBSN.
  3. Imbalan adalah semua pembayaran yang diberikan kepada Pemegang SBSN yang dapat berupa ujrah (uang sewa), bagi hasil, atau bentuk pembayaran lain sesuai dengan akad yang digunakan sampai dengan jatuh tempo SBSN.
  4. Perusahaan Penerbit SBSN adalah badan hukum yang didirikan untuk melaksanakan kegiatan penerbitan SBSN.
Kedua : Ketentuan Khusus
  1. Akad yang digunakan dalam penerbitan SBSN dapat berupa:
    1. Ijarah;
    2. Mudharabah;
    3. Musyarakah;
    4. Istishna’;
  2. Penggunaan akad-akad sebagaimana dimaksud dalam angka 1 butir a s.d. butir e, harus memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI terkait dengan masing-masing akad.
  3. SBSN dapat diterbitkan secara langsung oleh Pemerintah atau melalui Perusahaan Penerbit SBSN.
  4. Penggunaan Aset SBSN  harus sesuai dengan prinsip syariah.
  5. Penggunaan dana hasil penerbitan SBSN tidak boleh bertentangan dengan prinsip syariah.
  6. Pemindahan kepemilikan SBSN oleh pemegang SBSN di pasar sekunder harus mengikuti kaidah yang sesuai dengan sifat akad yang digunakan pada saat penerbitan.
  7. Pemerintah wajib membayar imbalan serta nilai nominal atau dana SBSN kepada pemegang SBSN pada saat jatuh tempo sesuai akad yang digunakan.
  8. Pemerintah boleh membeli sebagian atau seluruh SBSN sebelum jatuh tempo dengan mengikuti ketentuan dalam akad yang digunakan pada saat penerbitan.
  9. Pemerintah atau Perusahaan Penerbit SBSN boleh menerbitkan kembali suatu seri SBSN.
Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai prinsip syariah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 22 Jumadil Akhir 1429 H

26 Juni 2008 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/