Fatwa DSN MUI

Syariah Card

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 54/DSN-MUI/X/2006
Tentang
Syariah Card

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa dalam rangka memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai, Bank Syariah dipandang perlu menyediakan sejenis Kartu Kredit, yaitu alat pembayaran dengan menggunakan kartu yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi, termasuk transaksi pembelanjaan dan atau untuk melakukan penarikan tunai, di mana kewajiban pembayaran pemegang kartu dijamin dan dipenuhi terlebih dahulu oleh acquirer atau penerbit, dan pemegang kartu berkewajiban melakukan pelunasan kewajiban pembayaran tersebut kepada penerbit pada waktu yang disepakati secara angsuran;
  2. bahwa Kartu Kredit yang ada menggunakan sistem bunga (interest) sehingga tidak sesuai dengan prinsip syariah;
  3. bahwa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas kartu yang sesuai syariah, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Syariah Card ( بطاقة الائتمان) yang fungsinya seperti Kartu Kredit untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Ma-idah [5]:1:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُوْدِ، أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ، إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ.

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."

    2. QS. al-Isra' [17]: 34:

      وَلاَ تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ إِلاَّ بِالَّتِيْ هِيَ أَحْسَنُ حَتَّى يَبْلُغَ أَشُدَّهُ، وَأَوْفُواْ بِالْعَهْدِ، إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْؤُولاً.

      "Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa; dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya."

    3. QS.Yusuf [12]: 72:

      قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ.

      "Penyeru-penyeru itu berseru: 'Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.'"

    4. QS. al-Ma`idah [5]: 2:

      يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُحِلُّواْ شَعَآئِرَ اللّهِ وَلاَ الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلاَ الْهَدْيَ وَلاَ الْقَلآئِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلاً مِّن رَّبِّهِمْ وَرِضْوَاناً، وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُواْ، وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَن تَعْتَدُواْ وَتَعَاوَنُواْ، عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى، وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ، وَاتَّقُواْ اللّهَ، إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang hadyu, dan binatang-binatang qala'id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya; dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, men-dorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

    5. QS. al-Furqan [25]: 67:

      وَالَّذِيْنَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوْا وَلَمْ يَقْتُرُوْا، وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا.

      "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."

    6. QS. al-Isra' [17]: 26-27:

      …وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا إِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ، وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا.

      "…Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."

    7. QS. al-Qashash [28]: 26:

      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.

      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, 'Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.'"

    8. QS. al-Baqarah [2]: 275:

      الَّذِيْنَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ، وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ.

      "Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

    9. QS. al-Nisa' [4]: 29:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُوْنَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ، وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ، إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."

    10. QS. al-Baqarah [2]: 282:

      يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ ...

      "Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis …"

    11. QS. al-Baqarah [2]: 280:

      وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ، وَأَنْ تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

      "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

  2. Hadis Nabi SAW antara lain:
    1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    2. Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

      لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ .

      "Tidak boleh membahayakan/merugikan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya."

    3. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.

      "Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk dishalatkan. Rasulullah bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadap-kan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Mereka menjawab, 'Ya'. Rasulullah berkata, 'Shalatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri tidak mau menshalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, 'Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."

    4. Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmidzi dan Ibn Hibban dari Abu Umamah al-Bahili, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas, Nabi SAW bersabda:

      الزَّعِيْمُ غَارِمٌ.

      "Za'im (penjamin) adalah gharim (orang yang menang-gung utang)."

    5. Hadis riwayat Ahmad, Abu Dawud, dan Ad-Daruquthni dari Sa`d Ibn Abi Waqqash (teks Abu Dawud), ia berkata:

      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.

      "Dulu kami menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian yang tumbuh di pinggir selokan dan yang tumbuh di bagian yang dialiri air; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."

    6. Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

    7. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

      مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ.

      "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya."

    8. Hadis Nabi riwayat Jama'ah, (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar, Nasa'i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibnu Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibnu Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah), Nabi SAW bersabda:

      مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ …

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman …"

    9. Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid, Nabi SAW bersabda:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu, menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya."

    10. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

      إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً.

      "Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya."

  3. Kaidah Fikih, antara lain:
    1. Kaidah:

      الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

      "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

    2. Kaidah:

      المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ.

      "Kesulitan dapat menarik kemudahan."

    3. Kaidah:

      الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ.

      "Keperluan dapat menduduki posisi darurat."

    4. Kaidah:

      الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ.

      "Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syariat)."

    5. Kaidah:

      دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

      "Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan."

Memperhatikan :
  1. Pendapat fuqaha'; antara lain:
    1. Imam al-Dimyathi dalam kitab I'anah al-Thalibin, jilid III, h. 77-78:

      (لاَ بِمَا سَيَجِبُ كَدَيْنِ قَرْضٍ) سَيَقَعُ... وَذلِكَ كَأَنْ قَالَ: أَقْرِضْ هذَا مِائَةً وَأَنَا ضَامِنُهَا، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُهُ لأَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ. وَقَدْ تَقَدَّمَ لِلشَّارِحِ فِيْ فَصْلِ الْقَرْضِ ذِكْرُ هذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَأَنَّهُ يَكُوْنُ ضَامِنًا فِيْهَا. وَعِبَارَتُهُ هُنَاكَ: وَلَوْ قَالَ : أَقْرِضْ هذَا مِائَةً... وَأَنَا لَهَا ضَامِنٌ فَأَقْرَضَهُ الْمِائَةَ أَوْ بَعْضَهَا كَانَ ضَامِنًا عَلَى اْلأَوْجَهِ. فَيَكُوْنُ مَا هُنَا مِنْ عَدَمِ صِحَّةِ الضَّمَانِ مُنَافِيًا لِمَا مَرَّ عَنْهُ مِنْ أَنَّ اْلأَوْجَهَ الضَّمَانُ.

      "(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu [hak] yang akan terjadi [muncul], seperti piutang dari akad qardh) yang akan dilakukan…. Misalnya ia berkata: 'Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena piutang orang itu belum terjadi (muncul).
      Dalam pasal tentang qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu hak (piutang) yang belum terjadi -- dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: 'Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini utang sebanyak seratus… dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang (yang memerintahkan) tersebut adalah penjamin menurut pendapat yang paling kuat (awjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap suatu hak yang akan muncul [terjadi]) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."

    2. b. Khatib Syarbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, h. 202:

      (وَيُشْتَرَطُ فِى الْمَضْمُوْنِ) وَهُوَ الدَّيْنُ…(كَوْنُهُ) حَقًّا (ثَابِتًا) حَالَ الْعَقْدِ، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ…(وَصَحَّحَ الْقَدِيْمُ ضَمَانَ مَا سَيَجِبُ) كَثَمَنِ مَا سَيَبِيْعُهُ أَوْ مَا سَيُقْرِضُهُ، لأَنَّ الْحَاجَةَ قَدْ تَدْعُوْ إِلَيْهِ.

      "(Hal yang dijamin) yaitu piutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin piutang yang belum terjadi … (Qaul qadim --Imam al-Syafi'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap piutang yang akan terjadi), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut."

    3. As-Syirazi dalam kitab al-Muhadzdzab, juz I, Kitab al-Ijarah, h. 394:

      يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ... وَلأنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.

      "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."

    4. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, h. 221-222 :

      وَالْكَفَالَةُ بِالْمَالِ هِيَ الَّتِى يَلْتَزِمُ فِيْهَا الْكَفِيْلُ اِلْتِزَامًا مَالِيًا.

      "Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajib-an memberikan jaminan dalam bentuk harta."

    5. Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh 'Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, h. 542-543:

      إِنَّ اْلإِعْتِمَادَاتِ الْمُسْتَنَدِيَّةَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ لِلْمُصَدِّرِ بِدَفْعِ الْمُسْتَحَقَّاتِ لَهُ عَلَى الْمُسْتَوْرِدِ جَائِزَةٌ، وَاْلأَجْرُ الَّذِيْ يُؤْخَذُ فِيْ مُقَابِلِهَا جَائِزٌ. وَخَرَّجَ الْجَوَازَ عَلَى أَنَّ طَبِيْعَةَ هَذَا التَّعَامُلِ تَدُوْرُ بَيْنَ الْوَكَالَةِ وَالْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ. وَالْوَكَالَةُ بِأَجْرٍ لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا، وَكَذَلِكَ الْحَوَالَةُ بِأَجْرٍ. وَالضَّمَانُ بِأَجْرٍ خَرَّجَهُ عَلَى ثَمَنِ الْجَاهِ الَّذِيْ قِيْلَ فِيْهِ بِالْحُرْمَةِ وَبِالْكَرَاهَةِ، وَقَالَ بِجَوَازِهِ الشَّافِعِيَّةُ، كَمَا خَرَّجَهُ عَلَى الْجُعَالَةِ الَّتِيْ أَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا.
      وَتَحَدَّثَ عَنْ خِطَابَاتِ الضَّمَانِ وَأَنْوَاعِهَا، وَهِيَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا
      الْبَنْكُ بِمَكْتُوْبٍ يُرْسِلُهُ --بِنَاءً عَلَى طَلَبِ عَمِيْلِهِ-- إِلَى دَائِنِ الْعَمِيْلِ يَضْمَنُ فِيْهِ تَنْفِيْذَ الْعَمِيْلِ لاِلْتِزَامَاتِهِ، وَقَالَ إِنَّهَا جَائِزَةٌ. وَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهَا وَكَالَةٌ أَوْ كَفَالَةٌ، وَهُمَا جَائِزَتَانِ، وَالْعُمُوْلَةُ عَلَيْهِمَا لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا. وَاعْتَمَدَ فِيْ دِرَاسَتِهِ عَلَى الْمَرَاجِعِ وَالْمَصَادِرِ الاِقْتِصَادِيَّةِ وَعَلَى كُتُبِ الْفِقْهِ فِي الْمَذََاهِبِ الْمُخْتَلِفَةِ.

      "Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada eksportir untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum "boleh" ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
      Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi'i, hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi'i.
      Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.

  2. Keputusan Hai’ah al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li-al-Mu’assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, al-Ma’ayir al-Syar’iyah Mei 2004: al-Mi’yar al-Syar’i, nomor 2 tentang Bithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I’timan.
  3. Fatwa-fatwa DSN-MUI :
    1. Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
    2. Fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah;
    3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran;
    4. Fatwa DSN No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh;
    5. Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh.
  4. Surat-surat permohonan fatwa perihal kartu kredit yang sesuai dengan prinsip syariah dari bank-bank syariah, antara lain dari:
    1. Bank Danamon Syariah;
    2. Bank BNI Syariah; dan
    3. Bank HSBC Syariah.
  5. Hasil Workshop DSN-MUI bekerjasama dengan DPbS-BI, dan Bank Danamon Syariah yang diikuti pula oleh beberapa bank Syariah, di Ciawi Bogor, pada Mei 2005.
  6. Pendapat Rapat Pleno pada hari Rabu, 18 Ramadhan 1427 H / 11 Oktober 2006.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CARD
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti Kartu Kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
  2. Para pihak sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir atau qabil al-bithaqah).
  3. Membership Fee (rusum al-’udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu, sebagai imbalan izin menggunakan kartu yang pembayarannya berdasarkan kesepakatan.
  4. Merchant Fee adalah fee yang diberikan oleh merchant kepada penerbit kartu sehubungan dengan transaksi yang menggunakan kartu sebagai upah/imbalan (ujrah) atas jasa perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
  5. Fee Penarikan Uang Tunai adalah fee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
  6. Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh penerbit kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
  7. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Kedua : Ketentuan Hukum
Syariah Card dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang digunakan dalam Syariah Cardadalah
  1. Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah).
  2. Qardh; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah pemberi pinjaman (muqridh) kepada Pemegang Kartu(muqtaridh) melalui penarikan tunai dari bank atau ATM bank Penerbit Kartu.
  3. Ijarah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penyedia jasa sistem pembayaran dan pelayanan terhadap Pemegang Kartu. Atas Ijarah ini, Pemegang Kartu dikenakan membership fee.
Keempat : Ketentuan tentang Batasan (Dhawabith wa Hudud) Syariah Card
  1. Tidak menimbulkan riba.
  2. Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah.
  3. Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan.
  4. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
  5. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah
Kelima : Ketentuan Fee
  1. Iuran keanggotaan (membership fee)
    Penerbit Kartu berhak menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang Kartu sebagai imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
  2. Merchant fee
    Penerbit Kartuboleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn).
  3. Fee penarikan uang tunai
    Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
  4. Fee Kafalah
    Penerbit kartu boleh menerima fee dari Pemegang Kartu atas pemberian Kafalah.
  5. Semua bentuk fee tersebut di atas (a sampai dengan d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.
Keenam : Ketentuan Ta’widh dan Denda
  1. Ta’widh
    Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
  2. Denda keterlambatan (late charge)
    Penerbit kartu dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Ketujuh : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dapat dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah atau melalui Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 11 Oktober 2006 M

18 Ramadhan 1427 H

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/