Fatwa DSN MUI

Syari'ah Charge Card

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 42/DSN-MUI/V/2004
Tentang
Syari'ah Charge Card

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syari’ah Nasional setelah

Menimbang :
  1. bahwa untuk memberikan kemudahan, keamanan, dan kenyamanan bagi nasabah dalam melakukan transaksi dan penarikan tunai diperlukan charge card;
  2. bahwa fasilitas charge card yang ada dewasa ini masih belum sesuai dengan prinsip-prinsip syariah;
  3. bahwa agar fasilitas tersebut dilaksanakan sesuai dengan Syari'ah, Dewan Syari'ah Nasional memandang perlu menetapkan fatwa mengenai hal tersebut untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Maidah [5]:1:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"

    2. QS.Yusuf [12]: 72:

      قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ.

      "Penyeru-penyeru itu berseru, "Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.""

    3. QS. al-Ma'idah [5]: 2:

      …وَتَعَاوَنُوْا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى، وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ …

      "… Dan tolong-menolonglah dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam (mengerjakan) dosa dan pelanggaran …"

    4. QS. al-Furqan [25]: 67:

      وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا.

      "Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian."

    5. QS. Al-Isra' [17]: 26-27:

      … وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا، إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا.

      "… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya."

    6. QS. al-Isra' [17]: 34:

      … وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ، إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً.

      "…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya."

    7. QS. al-Qashash [28]: 26:

      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.

      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.""

    8. QS. al-Baqarah [2]: 275:

      الَّذِيْنَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لاَ يَقُومُونَ إِلاَّ كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ، ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا، وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا، فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ، وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ، وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُوْنَ.

      "Orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya."

    9. QS. al-Baqarah [2]: 282:

      يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ ...

      "Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis …"

    10. QS. al-Baqarah [2]: 280:

      وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ …

      "Dan jika ia (orang yang berutang itu) dalam kesulitan, berilah tangguh sampai ia berkelapangan …"

  2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi s.a.w. bersabda:

      اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    2. Hadis Nabi riwayat Imam Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

      لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ .

      "Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain."

    3. Hadis Nabi riwayat Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَارَسُوْلَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.

      "Telah dihadapkan kepada Rasulullah s.a.w. jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Tidak'. Maka, beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah pun bertanya, 'Apakah ia mempunyai utang?' Mereka menjawab, 'Ya'. Rasulullah berkata, 'Salatkanlah temanmu itu' (beliau sendiri tidak mau mensalatkannya). Lalu Abu Qatadah berkata, 'Saya menjamin utangnya, ya Rasulullah'. Maka Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."

    4. Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Hibban:

      عَنْ أَبِيْ أُمَامَةَ الْبَاهِلِيِّ وَعَنْ أَنَسٍ بْنِ مَالِكٍ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: اَلزَّعِيْمُ غَارِمٌ.

      "Za'im (penjamin) adalah gharim (orang yang menanggung)."

    5. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِي مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.

      "Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."

    6. Hadis riwayat 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

    7. Hadis Nabi riwayat Muslim, Nabi bersabda:

      مَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَاللهُ فِيْ عَوْنِ الْعَبْدِ مَادَامَ الْعَبْدُ فِيْ عَوْنِ أَخِيْهِ.

      "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya."

    8. Hadis Nabi riwayat Jama'ah, Nabi bersabda:

      مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ …

      "Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman…"

    9. Hadis Nabi riwayat Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad, Nabi bersabda:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.

      "Penundaan (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya."

    10. Hadis Nabi riwayat Bukhari, Nabi bersabda:

      إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً .

      "Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya."

  3. Kaidah Fiqh, antara lain:
    1. الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

      "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

    2. المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ.

      "Kesulitan dapat menarik kemudahan."

    3. الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ.

      "Keperluan dapat menduduki posisi darurat."

    4. الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ.

      "Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)."

    5. دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ.

      "Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan."

Memperhatikan :
  1. Pendapat fuqaha', antara lain dalam:
    1. KitabI'anah al-Thalibin,jilid III/77-78:

      (لاَ بِمَا سَيَجِبُ كَدَيْنِ قَرْضٍ) سَيَقَعُ ... وَذلِكَ كَأَنْ قَالَ: أَقْرِضْ هذَا مِائَةً وَأَنَا ضَامِنُهَا، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُهُ لأَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ. وَقَدْ تَقَدَّمَ لِلشَّارِحِ فِيْ فَصْلِ الْقَرْضِ ذِكْرُ هذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَأَنَّهُ يَكُوْنُ ضَامِنًا فِيْهَا. وَعِبَارَتُهُ هُنَاكَ: وَلَوْ قَالَ : أَقْرِضْ هذَا مِائَةً... وَأَنَا لَهَا ضَامِنٌ فَأَقْرَضَهُ الْمِائَةَ أَوْ بَعْضَهَا كَانَ ضَامِنًا عَلَى اْلأَوْجَهِ. فَيَكُوْنُ مَا هُنَا مِنْ عَدَمِ صِحَّةِ الضَّمَانِ مُنَافِيًا لِمَا مَرَّ عَنْهُ مِنْ أَنَّ اْلأَوْجَهَ الضَّمَانُ.

      "(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban, seperti utang dari akad qardh) yang akan dilakukan … Misalnya ia berkata: 'Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku menja-minnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena utang orang itu belum terjadi. Dalam pasal tentang Qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu kewajiban (utang) yang belum terjadi -- dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: 'Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini utang sebanyak seratus … dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang tersebut menjadi penjamin menurut pendapat yang paling kuat (awjah).' Dengan demikian, per-nyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap sesuatu yang akan menjadi kewajiban) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa hal tersebut adalah (sah sebagai) dhaman."

    2. KitabMughni al-Muhtaj,jilid II: 201-202:

      (وَيُشْتَرَطُ فِى الْمَضْمُوْنِ) وَهُوَ الدَّيْنُ … (كَوْنُهُ) حَقًّا (ثَابِتًا) حَالَ الْعَقْدِ، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُ مَالَمْ يَجِبْ … (وَصَحَّحَ الْقَدِيْمُ ضَمَانَ مَا سَيَجِبُ) كَثَمَنِ مَاسَيَبِيْعُهُ أَوْ مَاسَيُقْرِضُهُ، لأَنَّ الْحَاجَةَ قَدْ تَدْعُوْ إِلَيْهِ.

      "(Hal yang dijamin) yaitu utang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin utang yang belum menjadi kewajiban… (Qaul qadim --Imam al-Syafi'i-- menyatakan sah pen-jaminan terhadap utang yang akan menjadi kewajiban), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut."

    3. Kitabal-Muhadzdzab, juz I Kitab al-Ijarah hal. 394:

      يَجُوْزُ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ الْمُبَاحَةِ ... وَلأنَّ الْحَاجَةَ إِلَى الْمَنَافِعِ كَالْحَاجَةِ إِلَى اْلأعْيَانِ، فَلَمَّا جَازَ عَقْدُ الْبَيْعِ عَلَى اْلأعْيَانِ وَجَبَ أَنْ يَجُوْزَ عَقْدُ اْلإِجَارَةِ عَلَى الْمَنَافِعِ.

      "Boleh melakukan akad ijarah (sewa menyewa) atas manfaat yang dibolehkan… karena keperluan terhadap manfaat sama dengan keperluan terhadap benda. Manakala akad jual beli atas benda dibolehkan, maka sudah seharusnya dibolehkan pula akad ijarah atas manfaat."

    4. KitabFiqh al-Sunnah, Sayyid Sabiq:

      وَاْلكَفَالَةُ باِلمْاَلِ هِيَ الَّتيِ يَلْتَزِمُ فِيْهَا اْلكَفِيْلُ اِلتِزَامًا مَالِيًّا

      "Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajiban memberikan jaminan dalam bentuk harta."

    5. Hai'ah al-Muhasabah wa al-Muraja'ah li-al-Mu'assasah al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain,al-Ma'ayir al-Syar'iyah,Mei 2001:al-Mi'yar al-Syar'iy,nomor 2 tentangBithaqah al-Hasm wa Bithaqah al-I'timan.
  2. Substansi Fatwa DSN No. 9/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Ijarah;
    Substansi Fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah;
    Substansi Fatwa DSN No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh.
  3. Surat-surat masuk dari BII Syariah, BNI Syariah, Bank Danamon Syariah, perihal permohonan fatwa kartu syariah (Islamic Card).
  4. Pendapat Rapat Pleno Dewan Syari'ah Nasional pada hari Kamis, 07 Rabi'ul Akhir 1425 H. / 27 Mei 2004.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG SYARIAH CHARGE CARD
Pertama : Hukum
Penggunaan charge card secara syariah dibolehkan, dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
Kedua : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. Syariah Charge Card adalah fasilitas kartu talangan yang dipergunakan oleh pemegang kartu (hamil al-bithaqah) sebagai alat bayar atau pengambilan uang tunai pada tempat-tempat tertentu yang harus dibayar lunas kepada pihak yang memberikan talangan (mushdir al-bithaqah) pada waktu yang telah ditetapkan.
  2. Membership fee (rusum al-'udhwiyah) adalah iuran keanggotaan, termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izin menggunakan fasilitas kartu;
  3. Merchant fee adalahfee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahsil al-dayn);
  4. Fee Penarikan Uang Tunai adalahfee atas penggunaan fasilitas untuk penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud).
  5. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
  6. Denda karena melampaui pagu (overlimit charge) adalah denda yang dikenakan karena melampaui pagu yang diberikan (overlimit charge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang dapat digunakan untuk Syariah Charge Card adalah:
  1. Untuk transaksi pemegang kartu (hamil al-bithaqah) melalui merchant (qabil al-bithaqah/penerima kartu), akad yang digunakan adalah akad Kafalah wal ijarah.
  2. Untuk transaksi pengambilan uang tunai digunakan akad al-Qardh wal ijarah.
Keempat :
  1. Ketentuan dan batasan (dhawabith wa hudud) Syariah Charge Card :
    1. Tidak boleh menimbulkan riba.
    2. Tidak digunakan untuk transaksi objek yang haram atau maksiat.
    3. Tidak mendorongisraf (pengeluaran yang berlebihan) antara lain dengan cara menetapkan pagu.
    4. Tidak mengakibatkan utang yang tidak pernah lunas (ghalabah al-dayn).
    5. Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
  2. Ketentuan Fee:
    1. Iuran keanggotaan (Membership fee)
      Penerbit kartu boleh menerima iuran keanggotaan (rusum al-’udhwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai imbalan izinpenggunaan fasilitas kartu.
    2. Merchant Fee (ujrah)
      Penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah samsarah), pemasaran (taswiq) dan penagihan (tahshil al-dayn).
    3. Fee Penarikan Uang Tunai
      Penerbit kartu boleh menerima fee penarikan uang tunai (rusum sahb al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan dengan jumlah penarikan.
Kelima : Denda-denda
  1. Denda Keterlambatan (Late Charge)
    Penerbit kartu boleh mengenakan denda keterlambatan pembayaran yang akan diakui sebagai dana sosial.
  2. Denda karena melampaui pagu (Overlimit Charge)
    Penerbit kartu boleh mengenakan denda karena pemegang kartu melampaui pagu yang diberikan (overlimitcharge) tanpa persetujuan penerbit kartu dan akan diakui sebagai dana sosial.
Keenam : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara pihak-pihak terkait, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 07 Rabi’ul Akhir 1425 H

27 Mei 2004 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Prof. Dr. H. M Din Syamsuddin
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/