Fatwa DSN MUI

Ganti Rugi (Ta’widh)

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004
Tentang
Ganti Rugi (Ta’widh)

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syari'ah Nasional setelah

Menimbang :
  1. bahwa lembaga keuangan syari'ah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syari'ah untuk menghindarkan praktik riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional;
  2. bahwa para pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami risiko kerugian akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak lain yang melanggar perjanjian;
  3. bahwa syari'ah Islam melindungi kepentingan semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya;
  4. bahwa kerugian yang benar-benar dialami secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang menimbulkan kerugian tersebut;
  5. bahwa masyarakat, dalam hal ini para pihak yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu;
  6. bahwa dalam upaya melindungi para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang ganti rugi (ta'widh) untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Maidah [5]:1:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ …

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu …"

    2. QS. al-Isra' [17]: 34:

      … وَأَوْفُوْا بِالْعَهْدِ، إِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْئُوْلاً.

      "…Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggunganjawabannya."

    3. QS. al-Baqarah [2]: 194:

      … فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوْا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ، وَاتَّقُوا اللَّهَ، وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ.

      "… maka, barang siapa melakukan aniaya (kerugian) kepadamu, balaslah ia, seimbang dengan kerugian yang telah ia timpakan kepadamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa."

    4. QS. al-Baqarah [2]: 279-280:

      …لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ؛ وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

      "... Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya. Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

  2. Hadis-hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari 'Amr bin 'Auf:

      اَلصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    2. Hadis Nabi riwayat jama'ah (Bukhari dari Abu Hurairah, Muslim dari Abu Hurairah, Tirmizi dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Nasa'i dari Abu Hurairah, Abu Daud dari Abu Hurairah, Ibn Majah dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Ahmad dari Abu Hurairah dan Ibn Umar, Malik dari Abu Hurairah, dan Darami dari Abu Hurairah):

      مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ …

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman …"

    3. Hadis Nabi riwayat Nasa'i dari Syuraid bin Suwaid, Abu Dawud dari Syuraid bin Suwaid, Ibu Majah dari Syuraid bin Suwaid, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ.

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan pemberian sanksi kepadanya."

    4. d. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas, dan Malik dari Yahya:

      لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ.

      "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain."

  3. Kaidah Fiqh, antara lain:

    الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

    "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

    الضَّرَرُ يُزَالُ.

    "Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."

Memperhatikan :
  1. Pendapat Ibnu Qudamah dalam al-Mughni, juz IV, hlm 342, bahwa penundaan pembayaran kewajiban dapat menimbulkan kerugian (dharar) dan karenanya harus dihindarkan; ia menyatakan:

    مَنْ عَلَيْهِ الدَّيْنُ إِذَا أَرَادَ السَّفَرَ أَوْ أَرَادَ غَرِيْمُهُ مَنْعَهُ نَظَرْنَا: فَإِنْ كَانَ مَحِلُّ الدَّيْنِ قَبْلَ مَحِلِّ قُدُوْمِهِ مِنَ السَّفَرِ مِثْلُ أَنْ يَكُوْنَ سَفَرُهُ إِلَى الْحَجِّ لاَيَقُوْمُ إِلاَّ فِيْ سَفَرٍ وَدَيْنُهُ يَحِلُّ فِي الْمُحَرَّمِ أَوْ ذِي الْحِجَّةِ، فَلَهُ مَنْعُهُ مِنَ السَّفَرِ، لأَنَّ عَلَيْهِ ضَرَرًا فِيْ تَأْخِيْرِ حَقِّهِ عِنْدَ مَحِلِّهِ؛ فَإِنْ أَقَامَ ضَمِيْنًا أَوْ دَفَعَ رَهْنًا يَفِي بِالدَّيْنِ عِنْدَ الْمَحِلِّ، فَلَهُ السَّفَرُ، لأَنَّ الضَّرَرَ يَزُوْلُ بِذَلِكَ.

    "Jika orang berutang (debitur) bermaksud melakukan perjalanan, atau jika pihak berpiutang (kreditur) bermaksud melarang debitur (melakukan perjalanan), perlu kita perhatikan sebagai berikut. Apabila jatuh tempo utang ternyata sebelum masa kedatangannya dari perjalanan --misalnya, perjalanan untuk berhaji di mana debitur masih dalam perjalanan haji sedangkan jatuh tempo utang pada bulan Muharram atau Dzulhijjah-- maka kreditur boleh melarangnya melakukan perjalanan. Hal ini karena ia (kreditur) akan menderita kerugian (dharar) akibat keterlambatan (memperoleh) haknya pada saat jatuh tempo. Akan tetapi, apabila debitur menunjuk penjamin atau menyerahkan jaminan (qadai) yang cukup untuk membayar utangnya pada saat jatuh tempo, ia boleh melakukan perjalanan tersebut, karena dengan demikian, kerugian kreditur dapat dihindarkan."

  2. Pendapat beberapa ulama kontemporer tentang dhaman atau ta'widh; antara lain sebagai berikut:
    1. Pendapat Wahbah al-Zuhaili, Nazariyah al-Dhaman, Dimasyq: Dar al-Fikr, 1998:

      التَّعْوِيْضُ: هُوَ تَغْطِيَةُ الضَّرَرِ الْوَاقِعِ بِالتَّعَدِّيْ أَوِ الْخَطَأِ (87)
      اَلأَصْلُ الْعَامُّ فِي الضَّمَانِ أَوِ التَّعْوِيْضِ: هُوَ إِزَالَةُ الضَّرَرِ عَيْنًا، كَإِصْلاَحِ الْحَائِطِ ... أَوْ جَبْرُ الْمُتْلَفِ وَإِعَادَتُهُ صَحِيْحًا كَمَا كَانَ عِنْدَ اْلإِمْكَانِ كَإِعَادَةِ الْمَكْسُوْرِ صَحِيْحًا، فَإِنْ تَعَذَّرَ ذَلِكَ وَجَبَ التَّعْوِيْضُ الْمِثْلِيُّ أَوِ النَّقْدِيُّ (94)
      وَأَمَّا ضِيَاعُ الْمَصَالِحِ وَالْخَسَارَةُ الْمُنْتَظِرَةُ غَيْرُ الْمُؤَكَّدَةِ (أَيِ الْمُسْتَقْبَلَةُ) أَوِ اْلأَضْرَارُ اْلأَدَبِيَّةُ أَوِ الْمَعْنَوِيَّةُ فَلاَ يُعَوَّضُ عَنْهَا فِيْ أَصْلِ الْحُكْمِ الْفِقْهِيِّ , لأنَّ مَحَلّ التَّعْوِيْضِ هُوَ الْمَالُ الْمَوْجُوْدُ الْمُحَقَّقُ فِعْلاً وَالْمُتَقَوِّمُ شَرْعًا (96) (وهبة الزحيلي، نظرية الضمان، دار الفكر، دمشق، 1998)

      "Ta'widh (ganti rugi) adalah menutup kerugian yang terjadi akibat pelanggaran atau kekeliruan" (h. 87).
      "Ketentuan umum yang berlaku pada ganti rugi dapat berupa: (a) menutup kerugian dalam bentuk benda (dharar, bahaya), seperti memperbaiki dinding...
      (b) memperbaiki benda yang dirusak menjadi utuh kembali seperti semula selama dimungkinkan, seperti mengembalikan benda yang dipecahkan menjadi utuh kembali. Apabila hal tersebut sulit dilakukan, maka wajib menggantinya dengan benda yang sama (sejenis) atau dengan uang" (h. 93).
      Sementara itu, hilangnya keuntungan dan terjadinya kerugian yang belum pasti di masa akan datang atau kerugian immateriil, maka menurut ketentuan hukum fiqh hal tersebut tidak dapat diganti (dimintakan ganti rugi). Hal itu karena obyek ganti rugi adalah harta yang ada dan konkret serta berharga (diijinkan syariat untuk memanfaatkannya." (h. 96).

    2. Pendapat `Abd al-Hamid Mahmud al-Ba'li, Mafahim Asasiyyah fi al-Bunuk al-Islamiyah, al-Qahirah: al-Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1996:

      ضَمَانُ الْمَطْلِ مَدَارُهُ عَلَى الضَّرَرِ الْحَاصِلِ فِعْلاً مِنْ جَرَاءِ التَّأخِيْرِ فِي السَّدَادِ، وَكَانَ الضَّرَرُ نَتِيْجَةً طَبِيْعِيَّةً لِعَدَمِ السَّدَادِ (115)

      "Ganti rugi karena penundaan pembayaran oleh orang yang mampu didasarkan pada kerugian yang terjadi secara riil akibat penundaan pembayaran dan kerugian itu merupakan akibat logis dari keterlambatan pembayaran tersebut."

    3. Pendapat ulama yang membolehkan ta'widh sebagaimana dikutip oleh `Isham Anas al-Zaftawi, Hukm al-Gharamah al-Maliyah fi al-Fiqh al-Islami,al-Qahirah: al-Ma'had al-'Alami li-al-Fikr al-Islami, 1997:

      الضَّرَرُ يُزَالُ حَسَبَ قَوَاعِدِ الشَّريْعَةِ، وَلاَ إِزَالَةَ إِلاَّ بِالتَّعْوِيْضِ، وَمُعَاقَبَةُ الْمَدِيْنِ الْمُمَاطِلِ لاَ تُفِيْدُ الدَّائِنَ الْمَضْرُوْرَ.
      تَأْخِيْرُ أَدَاءِ الْحَقِّ يُشْبِهُ الْغَصْبَ، وَيَنْبَغِي أَنْ يَأخُذَ حُكْمَهُ، وَهُوَ أَنَّ الْغَاصِبَ يَضْمَنُ مَنَافِعَ الْمَغْصُوْبِ مُدَّةَ الْغَصْبِ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ، إِلَى جَنْبِ ضَمَانِهِ قِيْمَةَ الْمَغْصُوْبِ لَوْ هَلَكَ (15-16)

      "Kerugian harus dihilangkan berdasarkan kaidah syari'ah dan kerugian itu tidak akan hilang kecuali jika diganti; sedangkan penjatuhan sanksi atas debitur mampu yang menunda-nunda pembayaran tidak akan memberikan manfaaat bagi kreditur yang dirugikan.
      Penundaan pembayaran hak sama dengan ghashab; karena itu, seyogyanya stastus hukumnya pun sama, yaitu bahwa pelaku ghashab bertanggung jawab atas manfaat benda yang di-ghasab selama masa ghashab, menurut mayoritas ulama, di samping ia pun harus menanggung harga (nilai) barang tersebut bila rusak."

  3. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran.
  4. Fatwa DSN No 18/DSN-MUI/IX/2000 tentang Pencadangan Penghapusan Aktiva Produktif dalam LKS
  5. Rapat BPH DSN MUI – BI – Perbankan Syari'ah, 18 Juli 2004 di Lippo Karawaci-Tangerang.
  6. Rapat Pleno DSN-MUI, hari Rabu, 24 Jumadil Akhir 1325 H/11 Agustus 2004.

Dengan memohon taufiq dan ridho Allah SWT

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG GANTI RUGI (TA'WIDH)
Pertama : Ketentuan Umum
  1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian pada pihak lain.
  2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
  3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
  4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang (opportunity loss atau al-furshah al-dha-i'ah).
  5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan ijarah.
  6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Kedua : Ketentuan Khusus
  1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak (pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
  2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.
  3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.
  4. Pihak yang cedera janji bertanggungjawab atas biaya perkara dan biaya lainnya yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.
Ketiga : Penyelesaian Perselisihan
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
Keempat : Ketentuan Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan, jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 24 Jumadil Akhir 1425 H

11 Agustus 2004 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Prof. Dr. H. M Din Syamsuddin
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/