Fatwa DSN MUI

Hawalah bil Ujrah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 58/DSN-MUI/V/2007
Tentang
Hawalah bil Ujrah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa fatwa DSN No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah belum mengatur hawalah muthlaqah dan ketentuan ujrah/fee dalam hawalah;
  2. bahwa akad Hawalah bil ujrah diperlukan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) guna memenuhi kebutuhan objektif dalam rangka memberikan  pelayanan terhadap nasabah;
  3. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan prinsip syariah, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Hawalah bil Ujrah untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ أَوْفُواْ بِالْعُقُوْدِ ...

      "Hai orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu …"

    2. QS.al-Baqarah [2]: 282:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُواْ إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلاَ يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِيْ عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللّهَ رَبَّهُ وَلاَ يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ...

      "Hai orang yang beriman! Apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya …"

  2. Hadis Nabi SAW, antara lain:
    1. Hadis Nabi riwayat Imam al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda:

      مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِيْءٍ فَلْيَتْبَعْ.

      "Menunda-nunda pembayaran utang yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman. Maka, jika seseorang di antara kamu dialihkan hak penagihan piutangnya (dihawalahkan) kepada pihak yang mampu, terimalah"(HR. Bukhari).

    2. Hadis Nabi riwayat Imam al-Tirmidzi dan Ibnu Majah dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    3. Hadis Nabi riwayat Imam Ahmad dan al-Baihaqi dari Ibnu Umar, Nabi SAW bersabda:

      مَنْ أُحِيْلَ بِحَقِّهِ عَلَى مَلِيءٍ فَلْيَحْتَلْ.

      "Siapa saja yang dialihkan hak-nya pada yang mampu maka dia harus menerima pengalihan itu."

    4. Hadis Nabi riwayat Imam Baihaqi dari Abu Hurairah serta 'Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

      مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

  3. Ijma'. Para ulama sepakat atas kebolehan akad hawalah.
  4. Kaidah Fikih:
    1. الأَصْلُ فِى الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

      "Pada dasarnya, segala bentuk mu'amalah boleh dilakukan sepanjang tidak ada dalil yang mengharamkannya."

    2. الضَّرَرُ يُزَالُ

      "Bahaya (beban berat) harus dihilangkan."

Memperhatikan :
  1. Pendapat para ulama, antara lain Mushthafa ‘Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh ‘Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam,jilid 5, hal. 542-543:

    إِنَّ اْلإِعْتِمَادَاتِ الْمُسْتَنَدِيَّةَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ لِلْمُصَدِّرِ بِدَفْعِ الْمُسْتَحَقَّاتِ لَهُ عَلَى الْمُسْتَوْرِدِ جَائِزَةٌ، وَاْلأَجْرُ الَّذِيْ يُؤْخَذُ فِيْ مُقَابِلِهَا جَائِزٌ. وَخَرَّجَ الْجَوَازَ عَلَى أَنَّ طَبِيْعَةَ هَذَا التَّعَامُلِ تَدُوْرُ بَيْنَ الْوَكَالَةِ وَالْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ. وَالْوَكَالَةُ بِأَجْرٍ لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا، وَكَذَلِكَ الْحَوَالَةُ بِأَجْرٍ. وَالضَّمَانُ بِأَجْرٍ خَرَّجَهُ عَلَى ثَمَنِ الْجَاهِ الَّذِيْ قِيْلَ فِيْهِ بِالْحُرْمَةِ وَبِالْكَرَاهَةِ، وَقَالَ بِجَوَازِهِ الشَّافِعِيَّةُ، كَمَا خَرَّجَهُ عَلَى الْجُعَالَةِ الَّتِيْ أَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا.
    وَتَحَدَّثَ عَنْ خِطَابَاتِ الضَّمَانِ وَأَنْوَاعِهَا، وَهِيَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ بِمَكْتُوْبٍ يُرْسِلُهُ --بِنَاءً عَلَى طَلَبِ عَمِيْلِهِ-- إِلَى دَائِنِ الْعَمِيْلِ يَضْمَنُ فِيْهِ تَنْفِيْذَ الْعَمِيْلِ لاِلْتِزَامَاتِهِ، وَقَالَ إِنَّهَا جَائِزَةٌ. وَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهَا وَكَالَةٌ أَوْ كَفَالَةٌ، وَهُمَا جَائِزَتَانِ، وَالْعُمُوْلَةُ عَلَيْهِمَا لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا. وَاعْتَمَدَ فِيْ دِرَاسَتِهِ عَلَى الْمَرَاجِعِ وَالْمَصَادِرِ الاِقْتِصَادِيَّةِ وَعَلَى كُتُبِ الْفِقْهِ فِي الْمَذََاهِبِ الْمُخْتَلِفَةِ.

    "Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada eksportir untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum "boleh" ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
    Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi'i, hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi'i.
    Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.

  2. Pendapat peserta Rapat Pleno DSN-MUI pada hari Rabu, 13 Jumadil Awal 1428 H / 30 Mei  2007.

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG HAWALAH BIL UJRAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan
  1. Hawalah adalah pengalihan utang dari satu pihak ke pihak lain, terdiri atas hawalah muqayyadah dan hawalah muthlaqah.
  2. Hawalah muqayyadah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang kepada muhal sekaligus berpiutang kepada muhal ’alaih sebagaimana dimaksud dalam Fatwa No.12/DSN-MUI/IV/2000 tentang Hawalah.
  3. Hawalah muthlaqah adalah hawalah di mana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ’alaih;
  4. Hawalah bil ujrah adalah hawalah dengan pengenaan ujrah/fee.
Kedua : Ketentuan Akad
  1. Hawalah bil ujrah hanya berlaku pada hawalah muthlaqah.
  2. Dalam hawalah muthlaqah, muhal ’alaih boleh menerima ujrah/fee atas kesediaan dan komitmennya untuk membayar utang muhil.
  3. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
  4. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  5. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau menggunakan cara-cara komunikasi modern;
  6. Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak yang terkait.
  7. Kedudukan dan kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
  8. Jika transaksi hawalah telah dilakukan, hak penagihan muhal berpindah kepada muhal ‘alaih.
  9. LKS yang melakukan akad Hawalah bil Ujrah boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibul mal.
Ketiga : Ketentuan Penutup
  1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah atau Pengadilan Agama setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 13 Jumadil Awal 1428 H

30 Mei 2007 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/