Fatwa DSN MUI

Penjaminan Syariah

FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
Nomor 74/DSN-MUI/I/2009
Tentang
Penjaminan Syariah

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), setelah

Menimbang :
  1. bahwa masyarakat memerlukan penjaminan dalam berbagai macam transaksi;
  2. bahwa penjaminan berdasarkan prinsip Syariah belum ada fatwanya;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, DSN-MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang Penjaminan Syariah.
Mengingat :
  1. Firman Allah SWT, antara lain:
    1. QS. al-Ma'idah [5]: 1:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الأَنْعَامِ إِلاَّ مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ.

      "Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya."

    2. QS.Yusuf [12]: 72:

      قَالُوْا نَفْقِدُ صُوَاعَ الْمَلِكِ وَلِمَنْ جَاءَ بِهِ حِمْلُ بَعِيْرٍ وَأَنَا بِهِ زَعِيْمٌ.

      "Penyeru-penyeru itu berseru, "Kami kehilangan piala Raja; dan barang siapa yang dapat mengembalikannya, akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.""

    3. QS. al-Ma'idah [5]: 2:

      ... وَتَعَاوَنُواْ عَلَى الْبرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُواْ عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.

      "… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya."

    4. QS. al-Qashash [28]: 26:

      قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَآأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ، إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ.

      "Salah seorang dari kedua wanita itu berkata, "Hai ayahku! Ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang paling baik yang engkau pekerjakan (pada kita) adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.""

    5. QS. al-Nisa' [4]: 29:

      يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لاَ تَأْكُلُوْا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُوْنَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ، وَلاَ تَقْتُلُوْا أَنْفُسَكُمْ، إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيْمًا.

      "Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu."

    6. QS. al-Baqarah [2]: 282:

      يأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوْهُ ...

      "Hai orang yang beriman! Jika kamu bermu'amalah tidak secara tunai sampai waktu tertentu, buatlah secara tertulis …"

    7. QS. al-Baqarah [2]: 280:

      وَإِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ، وَأَنْ تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ.

      "Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui."

  2. Hadis Nabi SAW, antara lain::
    1. Hadis Nabi riwayat al-Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf al-Muzani, Nabi SAW bersabda:

      الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.

      "Shulh (penyelesaian sengketa melalui musyawarah untuk mufakat) dapat dilakukan di antara kaum muslimin, kecuali shulh yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

    2. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah, al-Daraquthni, dan yang lain, dari Abu Sa'id al-Khudri, Nabi SAW bersabda:

      لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ .

      "Tidak boleh membahayakan/merugikan (orang lain) dan tidak boleh membalas bahaya dengan bahaya."

    3. Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dari Salamah bin al-Akwa':

      أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهَا، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالَ: هَلْ عَلَيْهِ مِنْ دَيْنٍ؟ قَالُوْا: نَعَمْ، قَالَ: صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ، قَالَ أَبُوْ قَتَادَةَ: عَلَيَّ دَيْنُهُ يَا رَسُوْلَ اللهِ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.

      "Telah dihadapkan kepada Rasulullah SAW jenazah seorang laki-laki untuk disalatkan. Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?" Sahabat menjawab, "Tidak." Lalu beliau mensalatkannya. Kemudian dihadapkan lagi jenazah lain, Rasulullah bertanya, "Apakah ia mempunyai hutang?" Mereka menjawab, "Ya." Rasulullah berkata, "Salatkanlah teman kalian itu!" (beliau enggan mensalatkannya. Red). Abu Qatadah berkata, "Saya menjamin utangnya, Rasulullah." Lalu Rasulullah pun menshalatkan jenazah tersebut."

    4. Hadis Nabi riwayat Abu Daud, Tirmizi dan Ibn Hibban dari Abu Umamah al-Bahili, Anas bin Malik, dan Abdullah bin Abbas, Nabi SAW bersabda:

      الزَّعِيْمُ غَارِمٌ.

      "Za'im (penjamin) adalah gharim (orang yang menang-gung utang)."

    5. Hadis Nabi riwayat Abu Daud dari Sa`d Ibn Abi Waqqash, ia berkata:

      كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَا سَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.

      "Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertanian (tanaman) yang tumbuh di ujung kali dan di tanah yang teraliri air kali tersebut; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak."

    6. Hadis Nabi riwayat al-Baihaqi dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

      ... وَمَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.

      "… Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

    7. Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

      مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَاللَّهُ فِى عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِى عَوْنِ أَخِيهِ ...

      "Orang yang melepaskan seorang muslim dari kesulitannya di dunia, Allah akan melepaskan kesulitannya di hari kiamat; dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama ia (suka) menolong saudaranya …"

    8. Hadis Nabi riwayat Jama'ah, (Al-Bukhari, Muslim, Al-Tirmizi, Al-Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, Ahmad, Malik, dan Ad-Darami dari Abu Hurairah), Nabi SAW bersabda:

      ... مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ …

      "… Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu adalah suatu kezaliman …"

    9. Hadis Nabi riwayat Al-Nasa'i, Abu Daud, Ibn Majah, dan Ahmad dari Syuraid bin Suwaid, Nabi SAW bersabda:

      لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوْبَتَهُ

      "Menunda-nunda (pembayaran) yang dilakukan oleh orang mampu menghalalkan harga diri dan memberikan sanksi kepadanya."

    10. Hadis Nabi riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda:

      إِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً .

      "Orang yang terbaik di antara kamu adalah orang yang paling baik dalam pembayaran utangnya."

  3. Kaidah Fikih, antara lain::
    1. Kaidah:

      الأَصْلُ فِي الْمُعَامَلاَتِ اْلإِبَاحَةُ إِلاَّ أَنْ يَدُلَّ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا.

      "Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya."

    2. Kaidah:

      المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ.

      "Kesulitan dapat menarik kemudahan."

    3. Kaidah:

      الحَاجَةُ قَدْ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُوْرَةِ.

      "Keperluan dapat menduduki posisi darurat."

    4. Kaidah:

      الثَّابِتُ بِالْعُرْفِ كَالثَّابِتِ بِالشَّرْعِ.

      "Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara' (selama tidak bertentangan dengan syari'at)."

    5. Kaidah:

      دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ

      "Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan."

Memperhatikan :
  1. Pendapat fuqaha', antara lain:
    1. Imam al-Dimyathi dalam kitab I'anah al-Thalibin, jilid III, h. 77-78:

      (لاَ بِمَا سَيَجِبُ كَدَيْنِ قَرْضٍ) سَيَقَعُ... وَذلِكَ كَأَنْ قَالَ: أَقْرِضْ هذَا مِائَةً وَأَنَا ضَامِنُهَا، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُهُ لأَنَّهُ غَيْرُ ثَابِتٍ. وَقَدْ تَقَدَّمَ لِلشَّارِحِ فِيْ فَصْلِ الْقَرْضِ ذِكْرُ هذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَأَنَّهُ يَكُوْنُ ضَامِنًا فِيْهَا. وَعِبَارَتُهُ هُنَاكَ: وَلَوْ قَالَ : أَقْرِضْ هذَا مِائَةً... وَأَنَا لَهَا ضَامِنٌ فَأَقْرَضَهُ الْمِائَةَ أَوْ بَعْضَهَا كَانَ ضَامِنًا عَلَى اْلأَوْجَهِ. فَيَكُوْنُ مَا هُنَا مِنْ عَدَمِ صِحَّةِ الضَّمَانِ مُنَافِيًا لِمَا مَرَّ عَنْهُ مِنْ أَنَّ اْلأَوْجَهَ الضَّمَانُ.

      "(Tidak sah akad penjaminan [dhaman] terhadap sesuatu [hak] yang akan terjadi [muncul], seperti piutang dari akad qardh) yang akan dilakukan…. Misalnya ia berkata: 'Berilah orang ini utang sebanyak seratus dan aku menjaminnya.' Penjaminan tersebut tidak sah, karena piutang orang itu belum terjadi (muncul).
      Dalam pasal tentang qardh, pensyarah telah menuturkan masalah ini --penjaminan terhadap suatu hak (piutang) yang belum terjadi -- dan menyatakan bahwa ia sah menjadi penjamin. Redaksi dalam pasal tersebut adalah sebagai berikut: 'Seandainya seseorang berkata, Berilah orang ini utang sebanyak seratus… dan aku menjaminnya. Kemudian orang yang diajak bicara memberikan utang kepada orang dimaksud sebanyak seratus atau sebagiannya, maka orang (yang memerintahkan) tersebut adalah penjamin menurut pendapat yang paling kuat (awjah).' Dengan demikian, pernyataan pensyarah di sini (dalam pasal tentang dhaman) yang menyatakan dhaman (terhadap suatu hak yang akan muncul [terjadi]) itu tidak sah bertentangan dengan pernyataannya sendiri dalam pasal tentang qardh di atas yang menegaskan bahwa yang paling kuat (awjah) adalah (sah sebagai) dhaman."

    2. al-Khathib Syirbaini dalam kitab Mughni al-Muhtaj, jilid III, h. 202:

      (وَيُشْتَرَطُ فِى الْمَضْمُوْنِ) وَهُوَ الدَّيْنُ… (كَوْنُهُ) حَقًّا (ثَابِتًا) حَالَ الْعَقْدِ، فَلاَ يَصِحُّ ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ… (وَصَحَّحَ الْقَدِيْمُ ضَمَانَ مَا سَيَجِبُ) كَثَمَنِ مَا سَيَبِيْعُهُ أَوْ مَا سَيُقْرِضُهُ، لأَنَّ الْحَاجَةَ قَدْ تَدْعُوْ إِلَيْهِ.

      "(Hal yang dijamin) yaitu piutang (disyaratkan harus berupa hak yang telah terjadi) pada saat akad. Oleh karena itu, tidak sah menjamin piutang yang belum terjadi … (Qaul qadim --Imam al-Syafi'i-- menyatakan sah penjaminan terhadap piutang yang akan terjadi), seperti harga barang yang akan dijual atau sesuatu yang akan diutangkan. Hal itu karena hajat --kebutuhan orang-- terkadang mendorong adanya penjaminan tersebut."

    3. Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh al-Sunnah, jilid 4, h. 221-222 :

      وَالْكَفَالَةُ بِالْمَالِ هِيَ الَّتِى يَلْتَزِمُ فِيْهَا الْكَفِيْلُ اِلْتِزَامًا مَالِيًا.

      "Kafalah (jaminan) harta yaitu kafil (penjamin) berkewajib-an memberikan jaminan dalam bentuk harta."

    4. Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari sebagaimana dikutip oleh Syaikh 'Athiyah Shaqr, dalam kitab Ahsan al-Kalam fi al-Fatawa wa al-Ahkam, jilid 5, h. 542-543:

      إِنَّ اْلإِعْتِمَادَاتِ الْمُسْتَنَدِيَّةَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ لِلْمُصَدِّرِ بِدَفْعِ الْمُسْتَحَقَّاتِ لَهُ عَلَى الْمُسْتَوْرِدِ جَائِزَةٌ، وَاْلأَجْرُ الَّذِيْ يُؤْخَذُ فِيْ مُقَابِلِهَا جَائِزٌ. وَخَرَّجَ الْجَوَازَ عَلَى أَنَّ طَبِيْعَةَ هَذَا التَّعَامُلِ تَدُوْرُ بَيْنَ الْوَكَالَةِ وَالْحَوَالَةِ وَالضَّمَانِ. وَالْوَكَالَةُ بِأَجْرٍ لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا، وَكَذَلِكَ الْحَوَالَةُ بِأَجْرٍ. وَالضَّمَانُ بِأَجْرٍ خَرَّجَهُ عَلَى ثَمَنِ الْجَاهِ الَّذِيْ قِيْلَ فِيْهِ بِالْحُرْمَةِ وَبِالْكَرَاهَةِ، وَقَالَ بِجَوَازِهِ الشَّافِعِيَّةُ، كَمَا خَرَّجَهُ عَلَى الْجُعَالَةِ الَّتِيْ أَجَازَهَا الشَّافِعِيَّةُ أَيْضًا.
      وَتَحَدَّثَ عَنْ خِطَابَاتِ الضَّمَانِ وَأَنْوَاعِهَا، وَهِيَ الَّتِيْ يَتَعَهَّدُ فِيْهَا الْبَنْكُ بِمَكْتُوْبٍ يُرْسِلُهُ --بِنَاءً عَلَى طَلَبِ عَمِيْلِهِ-- إِلَى دَائِنِ الْعَمِيْلِ يَضْمَنُ فِيْهِ تَنْفِيْذَ الْعَمِيْلِ لاِلْتِزَامَاتِهِ، وَقَالَ إِنَّهَا جَائِزَةٌ. وَخَرَّجَ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهَا وَكَالَةٌ أَوْ كَفَالَةٌ، وَهُمَا جَائِزَتَانِ، وَالْعُمُوْلَةُ عَلَيْهِمَا لاَ حُرْمَةَ فِيْهَا. وَاعْتَمَدَ فِيْ دِرَاسَتِهِ عَلَى الْمَرَاجِعِ وَالْمَصَادِرِ الاِقْتِصَادِيَّةِ وَعَلَى كُتُبِ الْفِقْهِ فِي الْمَذََاهِبِ الْمُخْتَلِفَةِ.

      "Letter of Credit (L/C) yang berisi ketetapan bahwa bank berjanji kepada eksportir untuk membayar hak-haknya (eksportir) atas importir adalah boleh. Upah yang diterima oleh bank sebagai imbalan atas penerbitan L/C adalah boleh. Hukum "boleh" ini oleh Muhsthafa al-Hamsyari didasarkan pada karakteristik muamalah L/C tersebut yang berkisar pada akad wakalah, hawalah dan dhaman (kafalah). Wakalah dengan imbalan (fee) tidak haram; demikian juga (tidak haram) hawalah dengan imbalan.
      Adapun dhaman (kafalah) dengan imbalan oleh Musthafa al-Hamsyari disandarkan pada imbalan atas jasa jah (dignity, kewibawaan) yang menurut mazhab Syafi'i, hukumnya boleh (jawaz) walaupun menurut beberapa pendapat yang lain hukumnya haram atau makruh. Musthafa al-Hamsyari juga menyandarkan dhaman (kafalah) dengan imbalan pada ju'alah yang dibolehkan oleh madzhab Syafi'i.
      Mushthafa 'Abdullah al-Hamsyari juga berpendapat tentang bank garansi dan berbagai jenisnya. Bank garansi adalah dokumen yang diberikan oleh bank --atas permohonan nasabahnya-- yang berisi jaminan bank bahwa bank akan memenuhi kewajiban-kewajiban nasabahnya terhadap rekanan nasabah. Musthafa menyatakan bahwa bank garansi hukumnya boleh. Bank garansi tersebut oleh Musthafa disejajarkan dengan wakalah atau kafalah; dan kedua akad ini hukumnya boleh. Demikian juga pengambilan imbalan (fee) atas kedua akad itu tidak diharamkan.

  2. Fatwa-fatwa DSN-MUI :
    1. Fatwa DSN No.11/DSN-MUI/IV/2000 tentang Kafalah
    2. Fatwa DSN No.17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda Pembayaran
    3. Fatwa DSN No.19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Qardh;
    4. Fatwa DSN No.43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ta’widh

MEMUTUSKAN

Menetapkan : FATWA TENTANG PENJAMINAN SYARIAH
Pertama : Ketentuan Umum
Dalam fatwa ini yang dimaksud dengan :
  1. Penjaminan Syariah adalah penjaminan antara para pihak berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
  2. Imbal Jasa Kafalah adalah fee atas penggunaan fasilitas penjaminan untuk penjaminan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah (kafalah bil ujrah).
  3. Ta’widh adalah ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak penerima jaminan akibat keterlambatan pihak terjamin dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo.
  4. Denda keterlambatan (late charge) adalah denda akibat keterlambatan pembayaran kewajiban yang akan diakui seluruhnya sebagai dana sosial.
Kedua : Hukum
Penjaminan syariah dibolehkan, dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam fatwa ini.
Ketiga : Ketentuan Akad
Akad yang dapat digunakan dalam Penjaminan Syariah adalah Kafalah bil ujrah dengan ketentuan:
  1. Obyek yang dijamin dapat seluruh atau sebagian dari :
    1. kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi syariah;
    2. hal lain yang dapat dijamin berdasarkan prinsip Syariah.
  2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
  3. Besaran fee harus ditetapkan dalam akad berdasarkan kesepakatan.
  4. Kafalah bil ujrah bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.
Keempat : Ketentuan dan Batasan (Dhawabith wa Hudud) Penjaminan Syariah
  1. Penjaminan Syariah tidak boleh digunakan untuk menjamin transaksi dan obyek yang tidak sesuai dengan syariah.
  2. Pihak terjamin harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya.
  3. Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
  4. Dalam hal penjaminan dilakukan oleh bank syariah, maka bank dapat meminta jaminan secara keseluruhan, sebagian, atau menggunakan wa’ad line facility.
  5. Dalam hal penjaminan dilakukan oleh perusahaan asuransi syariah, maka pembayaran klaim penjaminan tidak boleh diambil dari dana tabarru’ karena bukan kegiatan asuransi syariah.
  6. Dalam hal terjadi pembayaran klaim penjaminan, maka pihak penjamin berhak menagih kepada pihak terjamin sebesar pembayaran klaim atau melepaskan haknya.
  7. Tidak boleh memperjualbelikan hak tagih yang timbul dari poin f.
  8. Penjaminan pada pembiayaan atau akad yang berbasis bagi hasil hanya boleh dilakukan pada nilai pokok (ra’sul maal).
  9. Penjaminan syariah boleh dilakukan oleh bank syariah, asuransi syariah, lembaga penjaminan syariah, dan LKS lainnya.
  10. Penjaminan dapat dilakukan -antara lain- atas: kemampuan bayar, kemampuan penyelesaian kualitas dan kuantitas obyek pembiayaan atau pekerjaan.
Kelima : Ketentuan Ta'widh dan Denda
  1. Ta'widh
    Pihak terjamin dapat dikenakan ta'widh, sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh).
  2. Ta'zir
    Pihak terjamin dapat dikenakan ta'zir, sebagaimana diatur dalam fatwa DSN-MUI No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi (Ta'widh).
Keenam : Ketentuan Penutup
  1. Jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sesuai dengan prinsip syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
  2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

Ditetapkan di : Jakarta
Tanggal : 18 Muharram 1430 H

15 Januari 2009 M

DEWAN SYARI'AH NASIONAL
MAJELIS ULAMA INDONESIA

Ketua
K.H. MA Sahal Mahfudh
Sekretaris
Drs. H. M Ichwan Sam
Konten diambil dari situs http://www.dsnmui.or.id/