Surat Al-Ahzab Ayat 28

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا



Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.

Ingin rezeki berlimpah dengan berkah? Ketahui rahasianya dengan Klik disini!

(Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu) yang pada saat itu jumlah mereka ada sembilan orang; mereka meminta kepada Nabi saw. perhiasan duniawi yang tidak dipunyai oleh beliau: ("Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya diberikan kepada kalian mut`ah) yakni mut`ah talak (dan aku ceraikan kalian dengan cara yang baik) aku ceraikan kalian tanpa menimbulkan kemudaratan.

Wahai Nabi Muhammad, katakan kepada istri-istrimu, "Jika kalian benar-benar menghendaki kenikmatan dan kesenangan hidup duniawi, aku akan menyerahkan sebagian harta yang dapat meringankan beban penderitaan kalian akibat talak, sebagai bentuk kesenangan (mut'ah) bagi kalian. Tetapi aku akan menceraikan kalian dengan cara yang baik."

Anda harus untuk dapat menambahkan tafsir

Admin

Submit : 2015-04-01 02:13:32
Link sumber: http://tafsir.web.id/

Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Abdullah bin Abbas radhiyallahu 'anhu ia berkata, “Aku selalu ingin bertanya kepada Umar radhiyallahu 'anhu tentang dua wanita di antara istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana Allah Subhaanahu wa Ta'aala berfirman kepada kedua, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran); (terj. At Tahrim: 3), sampai saat ia (Umar) berhaji, dan aku pun ikut berhaji bersamanya, ia pun mencari jalan lain dan aku juga mencari jalan yang lain dengan membawa kantong kecil (berisi air), maka Umar buang air. Lalu ia datang, kemudian aku tuangkan ke kedua tangannya air (dari kantong itu), maka ia pun berwudhu’, lalu aku berkata kepadanya, “Wahai Amirul Mukminin! Siapakah dua wanita dari istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang Allah Ta’ala berfirman kepadanya, “Jika kamu berdua bertobat kepada Allah, maka sungguh, hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebenaran),” Umar berkata, “Adu anehnya engkau wahai Ibnu Abbas. Keduanya adalah Aisyah dan Hafshah.” Lalu Umar menyampaikan hadits itu. Ia berkata, “Aku dengan tetanggaku seorang Anshar berada di Bani Umayyah bin Zaid, sedangkan mereka berada di dataran tinggi Madinah. Kami turun bergiliran menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ia turun pada hari tertentu, dan aku pun turun pada hari tertentu. Apabila tiba giliranku yang turun, maka aku datang kepadanya memberitahukan berita pada hari itu tentang wahyu maupun lainnya, dan apabila tiba giliran dia yang turun, maka dia pun melakukan seperti itu. Kami kaum Quraisy, biasa lebih berkuasa terhadap istri, tetapi setelah kami mendatangi orang-orang Anshar, ternyata mereka adalah orang-orang yang kalah oleh istri, maka mulailah wanita-wanita kami mengikuti kebiasaan wanita Anshar, lalu aku berteriak (marah) kepada istriku, tetapi ia malah membantahku, maka aku pun mengingkari sikapnya itu. Ia pun berkata, “Mengapa kamu mengingkari bantahanku kepadamu. Demi Allah, sesungguhnya istri-istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam benar-benar membantah Beliau, bahkan salah seorang di antara mereka ada yang menjauhi Beliau pada hari ini sampai malam.” Aku pun menjadi kaget, dan berkata kepadanya, “Sungguh kecewa orang yang melakukan hal itu di antara mereka.” Lalu aku pakai bajuku seluruhnya, kemudian turun dan masuk menemui Hafshah dan berkata kepadanya, “Wahai Hafshah, apakah salah seorang di antara kamu ada yang membuat marah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pada hari ini sampai malam?” Hafshah menjawab, “Ya.” Aku (Umar) berkata, “Kamu sungguh kecewa dan rugi, apakah kamu merasa aman jika Allah murka karena murka Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam sehingga engkau pun menjadi binasa. Oleh karena itu, janganlah kamu meminta banyak darinya, membantahnya dalam segala sesuatu, dan menjauhinya. Mintalah kepadaku dalam hal yang tampak bagimu (kamu perlukan), dan janganlah kamu tergiur hanya karena tetanggamu lebih cantik darimu dan lebih dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –maksudnya adalah Aisyah-.” Umar melanjutkan kata-katanya, “(Saat) kami sedang berbincang-bincang tentang (Raja) Ghassan yang sedang memakaikan alas kaki ke kudanya untuk memerangi kami, lalu turun kawan saya seorang Anshar pada hari gilirannya, ia pun kembali kepada kami pada waktu Isya, kemudian menggedor pintuku dengan keras dan berkata, “Apa ada orang (di dalam) sana?” Maka aku kaget lalu keluar menemuinya, ia pun berkata, “Pada hari ini telah terjadi perkara besar.” Aku (Umar) berkata, “Apa itu, apakah (Raja) Ghassan datang?” Ia menjawab, “Bukan, bahkan lebih besar dan lebih parah lagi. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menalak istri-istrinya.” Aku (Umar) pun berkata, “Kecewa Hafshah dan rugilah dia. Sungguh aku telah mengira hal ini kemungkinan akan terjadi.” Maka aku pakai semua pakaianku, lalu aku shalat Fajar (Subuh) bersama Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk ke kamar atas dan mengasingkan diri di sana. Kemudian aku masuk menemui Hafshah dan ternyata ia menangis, lalu aku berkata, “Apa yang membuatmu menangis, bukankah aku telah memperingatkan kamu tentang hal ini? Apakah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menalakmu semua?” Hafshah berkata, “Aku tidak tahu, itu Beliau sedang mengasingkan diri di kamar atas.” Lalu aku keluar dan datang ke mimbar, ternyata di sekitarnya ada sekumpulan orang yang sebagiannya menangis, maka aku duduk sebentar bersama mereka. Kegelisahanku pun memuncak, lalu aku mendatangi kamar yang di sana terdapat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian aku berkata kepada budaknya yang berkulit hitam, “Mintakanlah izin untuk Umar.” Lalu budak itu masuk (menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) dan berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian kembali dan berkata, “Aku telah berbicara dengan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyebutkan dirimu kepadanya, namun Beliau diam.” Maka aku kembali dan duduk bersama orang-orang yang berada di dekat mimbar. Tetapi kegelisahanku memuncak, lalu aku mendatangi budak itu dan berkata, “Mintakanlah izin untuk Umar.” Lalu budak itu masuk (menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) kemudian kembali kepadaku dan berkata, “Aku telah menyebutkan dirimu kepadanya, namun ia tetap diam.” Ketika aku hendak kembali, tiba-tiba budak itu memanggilku dan berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengizinkanmu.” Maka aku masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, ternyata Beliau sedang berbaring di atas garis-garis tikar, di mana antara Beliau dengan tikar tidak ada kasur, sehingga garis-garis itu membekas ke lambung Beliau, sedangkan Beliau bersandar ke bantal yang terbuat dari kulit yang diisi sabut. Lalu aku mengucapkan salam kepadanya dan berkata sambil berdiri, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menalak istri-istrimu.” Lalu Beliau mengangkat pandangannya kepadaku dan berkata, “Tidak,” aku pun berkata, “Allahu akbar.” Kemudian aku berkata dalam keadaan berdiri meminta izin, “Wahai Rasulullah, jika sekiranya engkau memperhatikan keadaanku. Kami kaum Quraisy biasa berkuasa terhadap kaum wanita, tetapi setelah kami tiba di Madinah, ternyata mereka adalah orang-orang yang kalah oleh istri.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum. Kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah, jika sekiranya engkau memperhatikan keadaanku. Aku masuk menemui Hafshah dan berkata kepadanya, “Janganlah membuatmu terpedaya oleh karena tetanggamu lebih cantik darimu dan lebih dicintai Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam –maksudnya Aisyah-,” maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tersenyum lagi. Maka aku duduk ketika melihat Beliau tersenyum, lalu aku mengangkat pandanganku ke (sekeliling) rumah Beliau. Demi Allah, aku tidak melihat di rumah Beliau sesuatu yang mengembalikan pandangan (kurang enak dilihat) selain tiga kulit. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, berdoalah kepada Allah, agar Dia memperkaya umatmu. Karena bangsa Persia dan Romawi telah diberikan kekayaan dan diberikan dunia, padahal mereka tidak menyembah Allah.” Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam duduk sambil bersandar dan berkata, “Apakah engkau dalam keadaan (ragu) seperti ini wahai Ibnul Khathtahb. Mereka adalah orang-orang yang disegerakan kesenangan dalam kehidupan dunia.” Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, mohonkanlah ampunan untukku.” Oleh karena berita yang disampaikan Hafshah kepada Aisyah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengasingkan diri selama 29 hari. Ketika itu, Beliau berkata, “Aku tidak akan masuk menemui mereka selama sebulan.” Karena kesalnya Beliau kepada mereka saat Allah menegurnya. Setelah 29 hari berlalu, maka Beliau masuk menemui Aisyah dan memulai dengannya, lalu Aisyah berkata kepadanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau telah bersumpah untuk tidak menemui kami selama sebulan. Engkau di pagi hari baru saja berada di hari yang kedua puluh sembilan yang aku hitung dengan sebenarnya.” Beliau bersabda “Sebulan itu 29 hari.” Ternyata memang bulan ketika itu jumlahnya 29 hari. Aisyah berkata, “Selanjutnya Allah Subhaanahu wa Ta'aala menurunkan ayat pemberian pilihan, lalu Beliau memulai kepadaku sebagai orang yang pertama di antara istri-istrinya, maka aku pilih Beliau. Kemudian Beliau juga memberikan pilihan kepada semua istri-istrinya dan ternyata mereka mengatakan seperti yang dikatakan Aisyah.”

‘Ikrimah berkata, “Ketika itu istri Beliau ada sembilan orang; lima orang berasal dari Quraisy (Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Saudah, dan Ummu Salamah radhiyallahu 'anhun). Istri Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga adalah Shafiyyah binti Huyay An Nadhiiriyyah, Maimunah binti Al Harits Al Hilaaliyyah, Zainab binti Jahsy Al Asadiyyah, Juwairiyyah binti Al Harits Al Mushthaliqiyyah radhiyallahu 'anhun wa ardhaahunna ajma’iin.” Mereka semua berkumpul meminta kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam perhiasan dunia yang Beliau tidak memilikinya atau tidak sanggup memenuhinya.

Mut'ah yaitu suatu pemberian yang diberikan kepada perempuan yang telah diceraikan menurut kesanggupan suami.

Tanpa ada rasa marah dan mencaci-maki, bahkan dengan dada yang lapang dan hati yang senang daripada masalah rumah tangga semakin parah.